ISSN 2477-1686

Vol. 7 No. 17 Sep 2021

Risk-Averse Attitudes Dan Peningkatan Perilaku Berbelanja Online Selama Pandemi COVID-19: Perspektif Psikologi Sosial

 

Oleh: 

Isha Afwani Putri 

Fakultas Psikologi, Universitas YARSI

 

Pandemi COVID-19 telah memberikan banyak perubahan terhadap kehidupan manusia, salah satunya adalah peningkatan perilaku berbelanja online. Hal tersebut diperkuat dengan banyaknya survei yang menyatakan bahwa kegiatan berbelanja di toko telah mengalami penurunan, sedangkan frekuensi berbelanja secara onlinemengalami peningkatan selama pandemi COVID-19 berlangsung, seperti survei yang dilakukan oleh Netcomm Suisse Observation dan UNCTAD pada awal Juni 2020 serta survei yang dilakukan oleh tim riset Bank DBS Indonesia pada pertengahan Juni 2020. Peningkatan tersebut terjadi karena setiap individu diharuskan untuk melakukan physical distancing sehingga kegiatan berbelanja online dianggap menjadi pilihan yang paling tepat untuk dilakukan. Selain hal tersebut, penulis juga menilai bahwa terjadinya peningkatan perilaku berbelanja online muncul karena adanya sikap menghindari risiko (risk-averse attitudes) yang mampu mempengaruhi mobilitas dan pola perilaku individu selama pandemi. 

 

Pada masa pandemi seperti sekarang, sikap menghindari risiko (risk-averse attitudes) dianggap sebagai elemen penting dalam pengambilan keputusan dan perilaku. Sikap menghindari risiko (risk-averse attitudes) sendiri merupakan suatu sikap preventif yang diambil seseorang ketika ia menghadapi suatu kondisi yang dianggap berisiko sehingga ia tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat menyebabkan risiko tersebut terjadi. Banyak hal yang mendasari mengapa sikap tersebut perlu diterapkan, baik dinilai dari aspek kognitif ataupun afektif. Namun, pada dasarnya, sikap tersebut diterapkan dalam rangka bertahan hidup dan meminimalisir risiko tertular COVID-19. Oleh karena itu, dalam esai ini, penulis akan membahas dan memberikan argumen terkait pandemi COVID-19 yang berpengaruh terhadap peningkatan tren berbelanja online karena adanya risk-averse attitudes, yang mana hal tersebut akan dibahas melalui perspektif Psikologi Sosial. Selain itu, penulis juga akan membahas apakah tren berbelanja online akan tetap meningkat meskipun nantinya, penerapan physical distancing tidak diterapkan lagi. 

 

Sebelum penulis membahas dan memberikan argumen terkait hal tersebut, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu apa itu perilaku berbelanja online. Menurut Liang & Lai (2002, dalam Harahap, 2018), perilaku berbelanja online merupakan sebuah proses transaksi untuk membeli produk atau jasa yang dilakukan dengan cara menggunakan perantara atau media internet. Kegiatan berbelanja online menggunakan media internet sendiri telah menjadi kebiasaan bagi sebagian individu karena banyaknya keuntungan dan kemudahan yang ditawarkan. Social Research & Monitoring Soclab.co (2015, dikutip dalam Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, 2016) menyatakan bahwa pada tahun 2015, sebanyak 77% dari total 93,4 juta jumlah pengguna intenet di Indonesia menggunakan internet untuk mencari informasi produk dan berbelanja online. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tren berbelanja online sudah banyak dilakukan oleh beberapa individu untuk memenuhi kebutuhan dan keperluannya. 

 

Meskipun demikian, tidak sedikit pula individu yang memilih untuk tetap berbelanja offline atau langsung berbelanja di tokoHal tersebut terlihat dari masih banyaknya pembukaan beberapa toko baru di mal-mal di Jakarta yang menandakan bahwa bisnis retail di Indonesia masih terus berkembang dan konsumen masih gemar berbelanja langsung di toko. Misalnya saja, Pada akhir tahun 2018, PT. Trans Retail Indonesia telah membuka 120 gerai baru dan terus bertambah hingga pada bulan Mei 2019, Transmart Carrefour membuka gerai yang ke-130 di Jambi (Deloitte Indonesia Perspectives, 2019). Menurut hasil survei oleh tim konsumen ritel Deloitte Asia Tenggara di lima kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makassar, tiga faktor yang menjadi alasan mengapa konsumen enggan berbelanja secara online dan lebih memilih untuk berbelanja langsung ke toko adalah karena faktor keamanan yang tidak terjamin, ketidaktahuan bentuk fisik barang, dan keterbatasan produk (Deloitte Indonesia Perspectives, 2019).

 

Hal-hal tersebut juga menjadi pertimbangan bagi salah satu kerabat penulis. Sebelum datangnya pandemi COVID-19, ia sangat jarang berbelanja online karena keraguannya terhadap keaslian barang. Akan tetapi, semenjak pandemi COVID-19 berlangsung, situasi yang ada mengharuskan ia melakukan physical distancing. Semenjak itu, ia pun menjadi lebih sering berbelanja secara online daripada berbelanja secara offline. Dirinya pun mengakui bahwa berbelanja online dinilai lebih aman dari bahaya penularan coronavirus sehingga ia tetap dapat memenuhi kebutuhannya meskipun pandemi COVID-19 berlangsung.

 

Hal tersebut sejalan dengan hasil survei daring yang dilakukan oleh tim riset Bank DBS Indonesia pada pertengahan Juni 2020. Dari data yang diperoleh melalui survei bertema Indonesia Consumption Basket, DBS Group (2020) menyatakan bahwa sebelum pandemi COVID-19 berlangsung, sebanyak 72% responden survei lebih  memilih untuk berbelanja di toko daripada berbelanja secara online. Akan tetapi, hal tersebut berubah pada saat pandemi berlangsung. DBS Group (2020) menyebutkan bahwa terjadi peningkatan sebanyak 14%pada kegiatan berbelanja online di Indonesia, sedangkan kegiatan berbelanja di pusat perbelanjaan sendiri turun mencapai 24%. Selain itu, DBS Group (2020) juga mengungkapkan bahwa pembelian kebutuhan sehari-hari secara online telah mengakibatkan kegiatan berbelanja di pasar tradisional menurun drastis menjadi 30% dari sebelumnya sebanyak 52%.

 

Bukan hanya di Indonesia, kondisi tersebut juga terjadi di sembilan negara lainnya. Pada awal Juni 2020, Netcomm Suisse Observation dan UNCTAD melakukan survei kepada 1819 responden, di mana respondennya 50% adalah wanita dan 50% lainnya adalah pria.  Dalam survei tersebut, Netcomm Suisse Observation dan UNCTAD (2020) menyebutkan bahwa pandemi COVID-19 telah mempercepat pergeseran menuju dunia yang lebih digital dan memicu terjadinya perubahan pada kegiatan berbelanja online. Hal itu terlihat dari adanya kenaikan pada kegiatan berbelanja online, di mana 52% responden sangat setuju ataupun setuju dengan pernyataan yang menyebutkan bahwa selama pandemi COVID-19 berlangsung, mereka lebih sering melakukan kegiatan berbelanja online daripada sebelumnya. Kenaikan terkuat tercatat di China, yakni sebanyak 31% responden sangat setuju dan 41%  responden setuju dengan pernyataan tersebut. Adapun kenaikan terlemah terjadi di Swiss, yakni sebanyak 9% responden sangat setuju dan 21% responden setuju dengan pernyataan tersebut. Hal tersebut pun terjadi lantaran sudah banyak individu di Swiss yang terlibat dalam e-commerce sebelum pandemi berlangsung.

 

Menurut penulis sendiri, terjadinya peningkatan belanja online pada masa pandemi terjadi karena munculnya sikap menghindari risiko (risk-averse attitudes) yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi mobilitas dan pola perilaku individu. Dalam sudut pandang Psikologi Sosial, suatu sikap (attitudes) dapat terbentuk karena adanya pemrosesan informasi  mengenai suatu objek tertentu hingga akhirnya membentuk suatu sikap yang berbasis pada komponen kognitif, seperti pikiran dan keyakinan tentang objek tersebut (Baron, 2019). Pada kasus ini, bahaya akan penyebaran virus COVID-19 yang berlangsung lama mampu memicu adanya kecenderungan pemrosesan informasi dan evaluasi ulang tentang bagaimana individu memandang situasi yang terjadi pada saat pandemi COVID-19 (Chan et al., 2020; Mehta et al., 2020). Proses evaluasi dan pemrosesan informasi tersebutlah yang mendorong individu untuk memilih sikap yang paling tepat dalam menanggapi situasi tersebut. Oleh karena itu, pada akhirnya, sikap menghindari risiko (risk-averse attitudes)pun muncul sebagai hasil dari evaluasi ulang dan pemrosesan informasi yang telah dilakukan oleh individu karena ia yakin bahwa sikap yang telah diambilnya merupakan hal yang paling tepat dan menguntungkan dalam menghadapi pandemi yang sedang terjadi.

 

Akan tetapi, munculnya sikap, dalam hal ini berupa sikap menghindari risiko (risk-averse attitudes), bukan berbasis pada komponen kognitif saja, melainkan juga karena adanya komponen afektif, seperti reaksi emosional terhadap objek sikap (Baron, 2019). Dalam kasus ini, ketakutan akan terinfeksi dan keinginan untuk terlihat kooperatif terhadap aturan yang diberikan oleh pemerintah juga menjadi alasan mengapa sikap menghindari risiko (risk-averse attitudes) tersebut muncul. Dengan munculnya sikap menghindari risiko (risk-averse attitudes), perilaku menjaga jarak dan tetap melakukan kegiatan di rumah pun muncul sebagai bentuk realisasi atas sikap tersebut (Chan et al., 2020). Dengan demikian, dalam kasus ini, pengurangan ataupun penurunan kunjungan ke supermarket, toko, dan pusat perbelanjaan serta meningkatnya tren berbelanja online pun sangat mungkin terjadi.

 

Peningkatan berbelanja online yang terjadi selama pandemi COVID-19 pun diprediksi akan terus berlanjut hingga pascapandemi meskipun nantinya penerapan physical distancing tidak diterapkan lagi. Hal tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan Netcomm Suisse Observation dan UNCTAD (2020) dalam hasil survei yang diselenggarakan pada Juni 2020 lalu. Dalam hasil survei tersebut, mereka juga menyebutkan bahwa keputusan untuk tetap melanjutkan kebiasaan belanja secara online kebanyakan diambil oleh responden yang berusia 25–45 tahun. Sejalan dengan hal yang telah disampaikan sebelumnya, penulis berpendapat bahwa alasan diambilnya keputusan tersebut diperkirakan muncul karena mereka menyadari bahwa berbelanja online dapat memberikan banyak keuntungan, seperti kemudahan layanan transaksi dan segala macam hal yang ditawarkan.

 

Dari pemaparan di atas, penulis menegaskan kembali bahwa pandemi COVID-19 mampu memberikan pengaruh terhadap peningkatan tren berbelanja online karena adanya risk-averse attitudes. Hal tersebut terjadi lantaran kepedulian individu terhadap kesehatan telah meningkat hingga dapat  memunculkan sikap menghindari risiko (risk-averse attitudes). Banyak pertimbangan, baik dilihat dari aspek kognitif ataupun afektif, yang mendasari mengapa sikap menghindari risiko tersebut diterapkan. Hingga pada akhirnya, muncullah sikap tersebut yang mendorong individu untuk tetap melakukan segala aktivitas dan kegiatannya dari rumah serta mengandalkan kegiatan berbelanja online selama pandemi berlangsung dalam rangka pemenuhan kebutuhannya. Bukan hanya itu, peningkatan belanja online yang terjadi selama pandemi COVID-19 pun diprediksi akan terus berlanjut hingga pascapandemi karena adanya kemudahan layanan transaksi dan segala macam yang ditawarkan oleh berbagai platform belanja online

 

Sejalan dengan hal tersebut, penulis berpendapat bahwa peluang yang muncul dari adanya peningkatan berbelanja online perlu dimanfaatkan dalam rangka pemulihan ekonomi selama pandemi berlangsung. Pembuat kebijakan, baik pemerintah ataupun pegiat bisnis di dunia e-commerce, perlu mengadopsi langkah-langkah konkret untuk memfasilitasi kegiatan berbelanja online tersebut agar kosumen dan penyedia jasa dapat merasakan kenyamanan. Hal konkret tersebut dapat direalisasikan dengan berbagai cara, seperti membuat peraturan atau kebijakan tentang perdagangan dan belanja online atupun menghadirkan fitur-fitur belanja yang dapat memudahkan konsumen dan penyedia jasa dalam melakukan kegiatan jual beli secara online.

 

 

REFERENSI:

 

Baron, R. A. & Branscombe, N. R. (2019). Psikologi Sosial Edisi Ketiga Belas Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

 

Chan, H. F., Skali, A., Savage, D. A., Stadelmann, D., & Benno, T. (2020). Risk attitudes and human mobility during the COVID-19 pandemic. Scientific Reports (Nature Publisher Group), 10(1). http://e-resources.perpusnas.go.id:2166/10.1038/s41598-020-76763-2

 

DBS Group. (2020). E-commerce Indonesia menempati posisi pertama di Asia Tenggarahttps://www.dbs.com/newsroom/Ecommerce_Indonesia_menempati_posisi_pertama_di_Asia_Tenggara

 

Deloitte Indonesia Perspectives. (2019). Sudahkah Pola Belanja Orang Indonesia Bergeser Menuju Digital?https://www2.deloitte.com/content/dam/Deloitte/id/Documents/about-deloitte/id-about-dip-edition-1-chapter-5-id-sep2019.pdf

 

Harahap, D. A. (2018). PERILAKU BELANJA ONLINE DI INDONESIA: STUDI KASUS. JRMSI-Jurnal Riset Manajemen Sains Indonesia9(2), 193-213. https://doi.org/10.21009/JRMSI.009.2.02

 

Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. (2016). Laporan Tahunan Kementerian Komunikasi dan Informatika Tahun 2015https://kominfo.go.id/content/detail/8300/laporan-tahunan-kementerian-komunikasi-dan-informatika-tahun-2015/0/laporan_tahunan

 

Mehta, S., Saxena, T., & Purohit, N. (2020). The New Consumer Behaviour Paradigm amid COVID-19: Permanent or Transient?. Journal of Health Management, 22(2), 291–301. https://doi.org/10.1177/0972063420940834

 

Netcomm Suisse Observation & UNCTAD. (2020, October). COVID-19 and E-Commerce Findings from a Survey of Online Consumers in 9 Country [Conference Presentation]. United Nations Conference on Trade and Development.