ISSN 2477-1686

Vol. 7 No. 14 Juli 2021

Apa yang Ingin Kita Bicarakan di Kelas?

 

Oleh:

Eko A Meinarno1 & Hanrezi Dhania2

1Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia 

2Fakultas Psikologi, Universitas Djuanda

 

Pendahuluan

Bertahun-tahun menjadi dosen, yang artinya mengajar dan menyusun rencana pengajaran selalu saja menghadapi masalah klasik (lihat Meinarno, 2016) Tiap kali rapat untuk perkuliahan, pertanyaan umumnya adalah “mana rencana pengajarannya”? Penulis melihat gejala ini seakan jadwal wajib untuk “panik”. Responnya bisa beragam, mulai dari yang santai hingga yang memang perlu rapat berkelanjutan. Artikel dari Meinarno dan Indrasari (2021) memberi arahan bahwa dosen sebagai desainer/perancang dari mahasiswa yang hadir di kelasnya (bahkan manusia Indonesia). Posisi sebagai perancang inilah yang memainkan peran penting, terutama saat menyusun rencana pengajarannya. 

 

Apa yang Isi dari Kuliah? 

Rencana Pengajaran Semester (RPS) akan selalu diminta untuk semua tingkat pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga doktoral. Isi RPS sederhana, dan isinya adalah pengejawantahan dari apa yang selama ini (atau akan) diajarkan. Tugas sebagai perancang manusia selanjutnya adalah menyiapkan apa yang akan diberikan kepada mahasiswa. Pertanyaan sederhananya, apakah semua materi di dunia ini harus diberikan? Tentu jawabannya tidak. Setidaknya dalam sudut pandang tingkatan pendidikan, dari tingkat sarjana sampai doktoral maka tidak semua teori atau konsep diajarkan. Sumber belajar saat ini sangat terbuka dan bertebaran di dunia maya. 

 

Dalam RPS, bagian materi ajar terkadang menjadi perdebatan keras. Mengapa? Karena ada pendapat yang menekankan pada jumlah materi sejalan dengan waktu yang ada. Sebagai contoh, jika ada 12 sesi pertemuan maka harus ada 12 materi yang diajarkan. Pendapat lainnya, jumlah materi bisa saja tidak banyak, tapi sesi-sesi yang ada menjadi waktu pendalaman atau mengkaji materi dengan lebih leluasa. Sebagai contoh, materi utama ada empat, maka sisa sesi lain dapat menjadi ajang diskusi kelas, praktek di lapangan atau bahkan melakukan penelitian. Namun apapun sudut pandang yang digunakan, materi pembelajaran ini mempunyai jenis atau kategori tertentu. 

 

Fathoni dan Riyana (2011) mengajukan kategori dari materi pembelajaran. Menurut mereka terdapat enam kategori yakni fakta, konsep, prinsip, proses, nilai, dan keterampilan (Fathoni & Riyana, 2011). Fakta, adalah apa yang telah terjadi. Bentuknya berupa obyek atau keadaan. Sebagai contoh pandemi covid-19 adalah fakta; Konsep, berisi pengertian, suatu sistem pernyataan yang menjelaskan serangkaian fakta yang kemudian diuji keberlakuannya (meramalkan atau menjadi solusi); Prinsip, adalah kaidah untuk melakukan sesuatu; Proses, adalah cara untuk melakukan sesuatu secara operasional; Nilai, adalah mengenai pola yang berlaku umum; serta keterampilan yakni kemampuan untuk berbuat sesuatu secara fisik dan mental dan bersifat relatif permanen. 

 

Menjalankan satu materi ajar dengan enam kategori tadi jelas bukan hal mudah. Untuk bagian fakta hal ini tidak terlalu rumit dalam mengajarkannya. Umumnya fakta berisi hal-hal yang telah terjadi dan untuk memahaminya cukup dengan mengingat. Memasuki kategori konsep, prinsip, dan proses mulai dibutuhkan daya nalar yang ditingkatkan. Beberapa hal harus dijelaskan dengan lebih dahulu mempunyai pengalaman yang lalu. Sebagai contoh untuk membangun pengetahuan “persepsi” maka kita mulai dengan konsep sensasi. Untuk konsep sensasi sendiri kita akan mulai dengan konsep indera dari tubuh, dan konsep ini telah diketahui sejak sekolah dasar. Di dalam penjelasan “persepsi” terdapat proses. Proses juga akan terbantu ketika mahasiswa dapat membayangkan atau membangun kerangka dari konsep-konsep lainnya bahkan termasuk definisinya. Untuk mengajarkan materi dengan kategori-kategori ini dibutuhkan banyak alat bantu seperti diagram, peta konsep, atau membuat jaringan konsep (Moore, 2007). 

 

Untuk materi dengan kategori nilai dan keterampilan membutuhkan daya nalar yang lebih tinggi. Untuk kategori-kategori ini mahasiswa dituntut untuk lebih mampu mengolah apa yang telah diterima atau didapat. Secara keseluruhan, mahasiswa sudah mampu mengingat, memilah dan menyatukan konsep, menggunakan kemampuan motorik dan lainnya. Pada kategori-kategori ini pula mahasiswa juga dibangun rasa tanggung jawabnya dan menjadi anggota masyarakat yang produktif (Moore, 2007). 

 

Untuk materi pembelajaran kategori nilai dan keterampilan jika dilekatkan pada taksonomi Bloom masuk dalam tingkatan berpikir tingkat tinggi/higher order thinking (HOT) (Pogrow, 2005; Ramos, Dolipas & Villamor, 2013), yaitu menganalisis: memecahkan informasi dalam bagian-bagian yang lebih kecil; mengevaluasi: menilai informasi dan ide; dan mencipta: menyatukan bagian-bagian dalam satu kesatuan yang baru. Dalam tingkatan HOT ini tuntutannya adalah mahasiswa mampu mengaplikasikan materi dalam berpikir, bernalar dan penyelesaian masalah (Brookhart, 2010). HOT inilah yang merupakan keterampilan yang dibutuhkan dalam pembelajaran abad ke-21. 

 

Kenapa Kita Butuh Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi di Perguruan Tinggi?

Keterampilan berpikir merupakan aspek penting dalam proses belajar dan mengajar terutama di tingkat perguruan tinggi. Penelitian Heong et al (2011) menyatakan bahwa siswa yang memiliki keterampilan berpikir tingkat tinggi, mampu untuk belajar, mampu meningkatkan performa dalam belajar dan juga mengurangi kelemahan-kelemahan dalam belajar. Lebih lanjut, Pogrow, (2005) menyatakan bahwa menerapkan HOT merupakan sebuah keuntungan karena menyiapkan siswa tidak hanya dalam kehidupan akademik namun juga dalam pekerjaan dan tanggung jawab sehari-hari.

 

Bagi dosen pengembangan materi pembelajaran dengan dasar berpikir tingkat tinggi atau HOT memungkinkan banyak hal terjadi bagi diri dan mahasiswa. Dosen dapat melakukan, pertama transfer; yaitu materi pembelajaran dapat masuk akal dan dapat diterapkan dalam keseharian. Kedua, berpikir kritis, yaitu masuk akal, pemikiran reflektif yang difokuskan pada pengambilan keputusan apa yang harus dipercaya atau dilakukan. Dan yang ketiga, hal pemecahan masalah, yaitu seni berpikir yang mencakup menalar, menanyakan dan menyelidiki, mengamati dan mendeskripsikan, membandingkan dan menghubungkan, menemukan kompleksitas, dan menjelajahi sudut pandang. 

 

Dengan tiga hal yang berdampak pada mahasiswa tersebut, penerapan keterampilan berpikir tingkat tinggi secara eksplisit menunjukkan kaitannya dengan motivasi dan prestasi siswa. Susan M. Brookhart (2010) menyatakan bahwa keuntungan untuk menggunakan ketrampilan berpikir tingkat tinggi dalam pembelajaran terkait pada dua hal, yaitu: 1) dapat meningkatkan motivasi belajar, karena dengan menerapkan pembelajaran dosen dapat menghubungkan materi belajar dengan konteks pada dunia nyata yang dapat berguna dalam memecahkan permasalahan kehidupan sehari-hari siswa, dan 2) yaitu dapat meningkatkan prestasi belajar, dimana prestasi belajar berhubungan dengan motivasi belajar. Motivasi belajar dalam hal ini tumbuh dari adanya ketrampilan belajar yang meningkatkan ketrampilan berpikir siswa dan pada akhirnya mempengaruhi prestasi siswa. 

 

Penelitian Zohar (2003) juga menunjukkan bahwa strategi pengajaran yang efektif tidak hanya menguntungkan siswa dengan prestasi tinggi namun juga memberikan manfaat bagi siswa yang berprestasi rendah dengan memotivasi dan mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi yang mereka miliki. Pengajaran yang efektif apabila siswa mendapatkan kompetensi sesuai dengan tujuan pembelajaran dan salah satu bentuk pengajaran efektif adalah pengajaran ketrampilan berpikir tingkat tinggi ini.

 

Di sisi lain, keterampilan berpikir tingkat tinggi juga memengaruhi prestasi siswa karena memainkan peranan penting dalam kecepatan dalam belajar, termasuk juga efektivitas dalam proses belajar (Heong et al, 2011), mahasiswa yang efektif dalam belajar dapat memahami pembelajaran dengan lebih cepat dan efektif sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan akademik dan prestasi akademik siswa (Heong tadi, Ramos, Dolipas & Villamor, 2013), meningkatkan daya saing siswa baik secara nasional maupun internasional karena siswa terlatih untuk terampil dalam berpikir kritis dan kreatif ketika belajar dengan ketrampilan HOT (Widana, 2017). Pada akhirnya keterampilan yang terlatih tersebut punya dampak dalam membangun kebiasaan yang positif dalam memecahkan masalah. 

 

Dari berbagai hasil penelitian tersebut, nampak bahwa pengajaran yang efektif bersumber dari pengajaran yang mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi karena dapat dikaitkan dan bermanfaat pada kehidupan nyata. Di sinilah peran dosen untuk merangsang dan mengembangkan kemampuan berpikir siswa dengan memberikan penugasan dan penilaian yang sesuai. Dosen harus menyajikan dan mendorong siswa untuk terlibat dalam berbagai kegiatan yang dapat meningkatkan ketrampilan berpikir tingkat tinggi yaitu mampu menganalisis dan mengevaluasi sebuah permasalahan dan akhirnya mampu menciptakan solusi dari permasalahan yang ada. 

 

Strategi pengajaran dengan mengedepankan HOT jelas memberi keuntungan bagi mahasiswa. Penentu kemajuan ada pada dosen, sebagai perancang mahasiswa. Dosen memegang peranan penting dalam memberikan materi (enam kategori di atas), penugasan dan penilaian yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir siswa. Dosen harus menyajikan dan mendorong siswa untuk terlibat dalam berbagai kegiatan yang dapat meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Dengan demikian, ketika dosen mengajarkan materi dengan pendekatan HOT ini siswa menjadi lebih termotivasi belajar karena apa yang dipelajarinya dekat dan sesuai dengan kehidupan sehari-hari, dan pada akhirnya dapat meningkatkan prestasi belajar siswa serta meningkatkan daya saing siswa baik dalam skala nasional maupun internasional

 

Akhirnya 

Dalam pembelajaran di kelas, penting bagi sebuah dosen memberikan bekal keterampilan berpikir tingkat tinggi pada mahasiswa sebagai bekal siswa untuk sukses dalam bidang akademik, namun juga dalam bidang pekerjaan dan tanggung jawab sehari-hari. Namun di sisi lain, hal tersebut menantang kemampuan dosen untuk tidak hanya transfer pengetahuan kepada siswa, namun juga mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan kreatif serta dapat menyelesaikan masalah secara efektif. Hal tersebut dapat dilakukan bila dosen selalu belajar dan terbuka pada pengalaman baru.  

 

Referensi:

 

Adnyana, P. B., Arnyanya, I. B. P., & Yoda, I. K. (2018). Panduan pengembangan perangkat pembelajaran.Editor: AAIN Marhaebi, Nyoman Dantes, dan Ida Bagus Made Astawa. Rajawali Pers. Jakarta.

 

Brookhart, S. M., (2010). How to Assess Higher-Order Thinking Skills In Your Classroom, USA: ASCD.

 

Fathoni, T., Riyana, C. (2011). Komponen-komponen pembelajaran. Dalam Kurikulum & Pembelajaran. Penyunting Toto Ruhimat. Rajawali Pers. Depok. 

 

Heong, Yee Mei, et al. (2011). The Level of Marzano Higher Order Thinking Skills among Technical Education Students. International Journal of Social Science and Humanity, Vol. 1, No. 2, July 2011

 

Lyn, J., Ramos, S., Dolipas, B., & Villamor, B. (2013). Higher Order Thinking Skills and Academic Performance in Physics of Collage Students: A Regession Analysis. International Journal of Innovative Interdisciplinary Research issue 4: 48-60

 

Meinarno, EA. 2016. Persiapan Pengajaran: Di Balik Layar yang Mendebarkan Tiap Awal Semester. Buletin Kpin, Vol. 2., No. 1, Januari 2016. https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/34-persiapan-pengajaran-di-balik-layar-yang-mendebarkan-tiap-awal-semester

 

Meinarno, EA. Indrasari, SY. (2021). Dosen Sebagai Desainer Sumber Daya Manusia Indonesia. Buletin Kpin, Vol. 7., No. 12, Juni 2021.

 

Moore, KD. (2007). Classroom teaching skills. McGraw-Hill. Boston. 

 

Pogrow, S. (2005). HOTS Revisited: A Thinking Development Approach to Reducing Learning Gap after Grade 3. Phi Delta Kappa, 87: 64 – 75. DOI:10.1177/003172170508700111

 

Zohar, A dan Dori, Y. J. (2003). Higher Order Thinking Skills and Low-achieving Students: Are They Mutually Exclusive? Journal of the Learning Sciences, 12 (2), 145–181.

Widana, I W. (2017). Higher Order Thinking Skills Assessment (Hots). JISAE. Volume 3 Number 1 February.