ISSN 2477-1686
Vol. 7 No. 13 Juli 2021
Hikikomori, Samakah dengan Ansos atau Agrofobia?
Oleh
Ajeng Waluyo, Lutfia Yunizar Rissane, Odilia Rovara,
dan Laila Meiliyandrie Indah Wardani
Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana
"Saya tahu ini tidak normal, tapi saya tidak mau berubah. Saya merasa aman di sini"
-Yuto Onishi-
Hikikomori, Sebuah Tren Atau Gejala Psikologis?
Permasalahan sosial saat ini semakin kompleks dan bermunculan dimana-mana. Hal tersebut berimbas pada objek sosial itu sendiri, yaitu manusia. Semakin berkembangnya manusia, semakin banyak pula masalah yang mengikutinya, termasuk masalah psikologis. Tidak jarang beberapa orang yang tidak mau terlibat dalam masalah tersebut malah berbalik arah dan melarikan diri. Fenomena ini biasa disebut Hikikomori atau social withdrawal (Furlong, 2008). Hikikomori adalah istilah yang pertama kali dicetuskan oleh Dr. Tamaki Saito, yang mendefinisikan bahwa Hikikomori adalah suatu situasi pengasingan diri saat tidak adanya partisipasi sosial, yang berlangsung setidaknya 6 bulan berturut-turut. Jika seseorang masuk kamar dalam beberapa hari lalu selanjutnya kumpul-kumpul bersama teman-teman, hal itu bukan termasuk Hikikomori karena itu bukan sebuah pengasingan diri.
Dewasa ini ditengah dunia digital, banyak orang yang melakukan penarikan diri dari kehidupan bermasyarakat dan lebih memilih berselancar di dunia maya. Hal ini menciptakan sebuah pertanyaan apakah ini menjadi tanda bahwa Hikikomori adalah sebuah tren? Menurut American Psychiatric Association, Hikikomori sebagai gejala psikologis dan penyakit kesehatan jiwa yang mengarah pada masalah kepribadian. Lantas apakah Hikikomori sama dengan penyakit kesehatan jiwa seperti anti sosial dan agrofobia? Ternyata ketiga penyakit kesehatan jiwa ini memiliki gejala yang berbeda.
Berawal dari Jepang, kini Go International
Hikikomori banyak terjadi di negara Jepang sebagai bentuk pelarian diri dari kerasnya kehidupan. Mereka lebih memilih untuk tidak berinteraksi dengan lingkungannya dan merasa aman serta nyaman dengan mengasingkan diri dari masyarakat. Lantas apakah Hikikomori hanya terjadi di negeri sakura saja? Belakangan ini fenomena Hikikomori terjadi tidak hanya di Jepang tapi juga terjadi di Indonesia dan beberapa negara maju. Di Jepang, kasus terjadi pada masyarakat menengah ke atas, biasanya terjadi pada orang yang berprestasi, dengan tingkat intelegensi tinggi atau profesi yang terpandang. Dalam laporan Wall Street ZJournal, tercatat 500.000–2.000.000 orang penderita Hikikomori. Ada dua faktor utama yang menyebabkan kasus Hikikomori banyak di Jepang, yaitu:
1. Sekentei; istilah yang merujuk pada upaya untuk menjaga reputasi diri sendiri serta adanya tekanan untuk menampilkan kesan positif di mata orang lain.
2. Amae; istilah ini artinya ketergantungan. Biasanya ibu yang sangat menyayangi anaknya dan memperlakukan seperti anak kecil.
Pengidap Hikikomori kebanyakan laki-laki dengan rentang usia 15-25 tahun. Tetapi ada juga yang umurnya kisaran 50 tahun ke atas. Belakangan ini terdapat kecenderungan bahwa anak-anak juga mulai menampakkan gejala Hikikomori.. Mengapa anak-anak dapat terjangkit? Jika dilihat dari rentang usianya, anak-anak adalah orang yang labil dan belum mengenal dirinya sendiri, sehingga ketika ada suatu hal yang mereka sukai, mereka cenderung akan fokus pada hal itu. Sedangkan berada di fase pencarian jati diri pada remaja menjadi salah satu dampak remaja mengidap Hikikomori.
Ada sebuah kasus dimana seseorang melakukan Hikikomori disebabkan oleh ketidakpercayaan pada diri sendiri (insecure) dan tidak dapat mempercayai orang lain. Dia menilai orang lain lebih baik dalam segala aspek sehingga dia tidak sanggup bersaing di lingkungannya. Kepercayaan diri yang rendah membuatnya mengisolasi diri dari lingkungan sosial. Dia membatasi kegiatan dengan orang lain dan fokus terhadap kegiatan yang hanya melibatkan diri sendiri untuk mencegah dirinya terluka oleh pandangannya sendiri.
Penyebab Hikikomori
Hikikomori terjadi melalui proses yang panjang. Biasanya gejala berawal dari kinerja yang kurang baik di sekolah, kampus atau tempat kerja. Kemudian takut menghadapi tantangan atau kegagalan di lingkungan tersebut, tidak percaya diri, kecanduan game, terjadi bully oleh teman-teman secara terus menerus, dan lain-lain. Selanjutnya pengidap akan merasa tertekan dan trauma mendalam, yang akhirnya menyebabkan tidak masuk sekolah/kuliah/kantor, lalu menarik diri dari masyarakat, (Furlong, 2008). Khususnya di Jepang, faktor penyebab kasus Hikikomori antara lain:
1. Sering dibully; diperparah oleh cerita komik Jepang yang menceritakan bahwa ketika seseorang dibullymaka orang perlu melarikan diri dari lingkungan.
2. Nilai akademik; Sistem kompetensi di Jepang yang dipupuk dari kecil dan kritikan jika tidak berhasil, mengakibatkan banyak orang Jepang yang mudah stress, tidak mau melanjutkan pendidikan, depresi bahkan bunuh diri.
3. Lingkungan keluarga; akibat dimanja, maka seorang anak memilih tidak meninggalkan zona nyamannya yaitu diam di rumah.
4. Pengaruh lingkungan sosial; akibat penolakan atau pemikiran yang tidak sesuai antara ekspektasi dengan realita, sehingga memilih menutup diri dari dunia luar.
5. Pengaruh diri sendiri; pengidap umumya mempunyai standar ketahanan yang rendah terhadap tekanan (Irvansyah, 2014).
Analisis Fenomena Hikikomori melalui Teori Konvergensi
Jika dilihat dari penyebabnya, Hikikomori termasuk kedalam teori atau hukum konvergensi yang berasal dari William Stern. Menurut pendapat Stern, perkembangan manusia ditentukan oleh pembawaan dan lingkungan (Purwanto, 2010). Stern menggabungkan paham nativisme dan empirisme, juga menyatukan teori elementisme dan teori totalitas (Sarwono, 2019). Paham nativisme berpendapat bahwa perkembangan manusia ditentukan oleh faktor yang dibawa sejak lahir, sedangkan paham empirisme berpendapat bahwa perkembangan manusia ditentukan oleh lingkungannya (Purwanto, 2010). Lebih lanjut Ngalim Purwanto berpendapat bahwa terdapat faktor lain yang turut berperan selain faktor pembawaan dan faktor lingkungan, yaitu aktivitas penyesuaian diri manusia itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Purwanto, 2010).
Dengan demikian, apabila ada dua orang anak kembar berada pada lingkungan berbeda dan keduanya mendapat suatu tekanan, bisa saja salah satunya mengalami Hikikomori dan saudara kembarnya baik-baik saja. Atau dua orang anak pandai, dididik di sekolah yang sama dan keduanya mendapat tekanan lingkungan, bisa hanya salah satu yang menderita Hikikomori. Hal tersebut dapat terjadi karena secara genetik mereka memiliki perbedaan ketahanan stress.
Kasus Hikikomori di Indonesia
Di Magetan, Jawa Timur, pernah terjadi seorang anak SD bolos sekolah selama 4 bulan karena kecanduan game online. Dia tingggal bersama kakek dan neneknya karena orang tuanya merantau ke Kalimantan. Kegiatannya adalah mengurung diri di kamar sambil terus bermain game online, sampai pada puncaknya tidak mau pergi ke sekolah. (Sukoco, 2019).
Kasus tersebut merupakan salah satu contoh gejala Hikikomori yang disebabkan terlalu dimanjanya korban oleh nenek yang mengasuhnya sehingga dia berada di zona nyaman. Penderita merasa dunianya sendiri lebih menyenangkan dan tidak ingin terdistraksi oleh kegiatan lain. Selain itu, faktor orang tua yang tidak ikut mengasuh menjadi pendukung korban melakukan Hikikomori. Dia kehilangan figur orangtua yang seharusnya memberikan pendidikan karakter di rumah (Hamasaki, 2020).
Penanganan Hikikomori
Hikikomori lebih dominan dikategorikan sebagai masalah sosial daripada gangguan mental. Penanganan yang umum diberikan berupa pendekatan sosialisasi (Priyanka, 2014), antara lain psikoterapi berkelompok, memberikan aktivitas sosial secara langsung, keterampilan komunikasi, konsultasi dengan psikiater dan Smart Parenting untuk keluarga (Abdussalam, 2014). Perlu pula dilakukan pendekatan sosial pada remaja, agar mereka mampu menghadapi globalisasi demi masa depan yang lebih baik, melalui perubahan perilaku dan tanggung jawab (Adha, 2019)
Apa perbedaan antara Hikikomori dengan Ansos dan Agrofobia?
Banyak anggapan bahwa pengidap Hikikomori termasuk ke dalam ansos (anti sosial) ataupun agrofobia. Jika kita perhatikan lebih dalam, gejala ketiganya berbeda. Ansos (Anti Sosial) atau ASPD (Antisocial Personality Disorder), yaitu gangguan perilaku yang menggambarkan individu yang sering melanggar hukum, impulsif, tidak peduli pada keselamatan dirinya sendiri maupun orang lain, bahkan menyakiti orang lain namun tidak menunjukkan tanda-tanda penyesalan (Wade, 2014). Sedangkan Agrofobia adalah suatu tipe gangguan kecemasan dengan gejala merasa takut dan panik, umumnya terjadi ketika seseorang jauh dari tempat atau individu yang dirasa aman (Wade, 2014).
Setelah membaca artikel ini, apakah kamu yakin bukan bagian dari ketiganya ?
Referensi:
Abdussalam, S. (2014). Peran keluarga dalam mengubah perilaku Hikikomori pada tokoh Taro Sudo dalam film Oniichan no Hanabi karya sutradara Masahiro Kunimoto (Unpublished Bachelor Thesis).Universitas Brawijaya, Indonesia.
Adha, M. M. (2019). Warga negara muda era modern pada konteks global-national: perbandingan dua negara Jepang dan Inggris. Jurnal Media Komunikasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 1(1), 43–53.
Furlong, A. (2008). The Japanese hikikomori phenomenon: acute social withdrawal among young people. The Sociological Review, 56(2), 310–325. https://doi.org/10.1111%2Fj.1467-954X.2008.00790.x
Hamasaki, Y., Pionnié-Dax, N., Dorard, G. et al. (2020). Identifying social withdrawal (Hikikomori) factors in adolescents: understanding the Hikikomori spectrum. Child Psychiatry Hum Dev, 1, 1-2.https://doi.org/10.1007/s10578-020-01064-8
Irvansyah, M. (2014). Analisis penyebab hikikomori melalui pendekatan fenomenologi. Japanology, 2(2), 29-39.
Priyanka, D. (2019, Januari 12). Mengenal hikikomori, sikap mengurung diri yang banyak dilakukan masyarakat Jepang. Sociolla Journal. Retrieved from https://journal.sociolla.com/lifestyle/mengenal-perilaku-hikikomori
Purwanto, N. (2010). Psikologi Pendidikan. Cetakan ke-24. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sarwono, S.W. (2019). Berkenalan dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi Edisi 3. Jakarta: Bulan Bintang.
Sukoco. (2019, November 21). Siswa SD kecanduan game online hingga 4 bulan bolos sekolah, Nenek: bangunnya sore, tidur subuh. Kompas. Retrieved from https://amp-kompas-com.cdn.ampproject.org/v/s/amp.kompas.com/regional/read/2019/11/21/
Wade, C., Tavris, C. & Garry, M. (2014). Psikologi Edisi 11. Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.