ISSN 2477-1686

Vol. 7 No. 13 Juli 2021

What’s happened, happened

 

Oleh:

Princen

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

 

 

Protagonist: But can we change things if we do it differently?
Neil: What's happened, happened. Which is an expression of faith in the mechanics of the world. It's not an excuse to do nothing.
Protagonist: Fate?
Neil: Call it what you want.
Protagonist: What do you call it?
Neil: Reality. Now let me go.

 

Cuplikan dialog tersebut berasal dari film karya Christopher Nolan yang berjudul Tenet. Film tersebut tayang tahun 2020 dan mendapat sambutan yang cukup baik. Tenet bercerita tentang seorang agen intelijen yang direkrut organisasi rahasia yang bernama Tenet, yang bertujuan untuk mencegah kehancuran dunia (Hellerman, 2021). Mirip seperti film mata – mata lainnya seperti James Bond, akan tetapi, dalam film ini organisasi tersebut dan juga musuh mereka menggunakan teknologi yang memungkinkan mereka bergerak mundur melewati waktu. Ya, bukan sekedar kembali ke masa lalu tetapi bergerak mundur melewati waktu dengan menggunakan mesin khusus.

  

Apabila kita diberikan kesempatan untuk dapat kembali ke masa lalu, apa yang ingin kita lakukan? Mungkin beberapa di antara kita yang memikirkan hal-hal seperti kembali ke masa lalu untuk mencegah suatu insiden luar biasa terjadi. Atau kita memikirkan hal-hal kecil seperti bertemu dengan moyang kita. Ataupun mungkin mencoba memperbaiki kesalahan yang telah kita lakukan di masa lalu.

 

Banyak dari kita yang mungkin mengalami pengalaman yang pahit atau menyakitkan di masa lalu. Beberapa orang kemudian mencoba untuk melupakan masa lalunya dan menguburnya di dalam lubuk hati yang terdalam. Yang lain tidak dapat berhenti untuk terus mengingat pengalaman masa lalunya atau tidak dapat menahan untuk memikirkan kemungkinan – kemungkinan yang akan terjadi apabila dapat mengambil tindakan yang berbeda. Keduanya sikap tersebut tidak adaptif dan hanya akan menghambat perkembangan kita (Firestone, 2016)

 

Di dalam film Tenet sendiri juga mengatakan, seperti yang dapat kita lihat di cuplikan dialognya, bahwa mereka tidak bisa mengubah hal yang sudah terjadi walaupun mereka dapat bergerak mundur melewati waktu. Apa yang sudah terjadi, sudah terjadi. Ketika mereka bergerak mundur melewati waktu, maka hal tersebut sudah terjadi di masa lalu. Mungkin sedikit membingungkan, tetapi dapat disimpulkan bahwa intinya adalah ketika sesuatu sudah terjadi, maka hal tersebut sudah terjadi dan tidak dapat diubah lagi. Ini adalah realitas hidup kita.

 

Apabila kita tidak dapat menerima realitas tersebut dan menghadapi pengalaman masa lalu kita, maka dapat terjadi masalah pada hidup kita sekarang ini. Mungkin hal tersebut mempengaruhi hidup kita secara tidak sadar, seperti dalam memilih pasangan hidup, hubungan kita dengan anak, dan sebagainya (Firestone, 2016). Atau hal tersebut mempengaruhi secara eksplisit, misalnya ketika suatu kejadian memicu ingatan kita akan masa lalu yang menyakitkan dan membuat kita bereaksi, yang sering kali dapat mengganggu kita di saat ini. Apabila pengalaman masa lalu kita menjadi trauma, hal tersebut bahkan dapat memicu gangguan psikologi yang kita kenal dengan nama Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).

 

Salah satu hal yang dapat kita lakukan untuk menghindari masalah yang ditimbulkan ketika kita tidak menghadapi masa lalu kita dengan baik adalah dengan acceptance atau penerimaan. Acceptance adalah penerimaan akan pengalaman masa lalu kita di saat ini dengan aktif dan tidak menghakimi. Penerimaan ini meliputi paparan apa adanya terhadap pikiran, perasaan, dan sensasi tubuh seperti pada ketika pengalaman tersebut terjadi (Hayes, 2004). Dengan menghadapi kembali apa yang kita rasakan, apa yang kita pikirkan pada saat kejadian masa lalu yang menyakitkan, dan menerima semuanya itu apa adanya, kita menerima bahwa hal tersebut benar terjadi. Tidak ada penyangkalan dan tidak ada pelarian. Maka hal ini dapat menjadi kekuatan kita untuk terlepas dari belenggu masa lalu kita. Sebagai catatan tambahan, apabila Anda mengalami gangguan PTSD, mohon untuk tidak melakukan ini sendiri dan mencari bantuan psikolog karena hal ini dapat memicu memori yang menyakitkan buat Anda dan membuat Anda overwhelmed.

 

Apabila kita dapat menerima pengalaman masa lalu kita apa adanya, maka hal ini akan menjadi langkah awal kita untuk memisahkan diri kita dari masa lalu kita dan “move on”. Kita dapat menjalani hidup dengan sepenuhnya tanpa dipengaruhi masa lalu kita. Dan kita dapat membiarkan masa lalu kita menjadi masa lalu kita.

 

 

Referensi:

 

Firestone, L. (2016, November 25). Is your past controlling your life?: What are the ways we relive rather than live our lives? Diunduh 22 Maret 2021, dari Psychology Today: https://www.psychologytoday.com/us/blog/compassion-matters/201611/is-your-past-controlling-your-life

 

Hayes, S. C. (2004). Acceptance and commitment therapy and the new behavior therapies: Mindfulness, acceptance, and relationship. In S. C. Hayes, V. M. Folette, & M. M. Linehan (Eds.), Mindfulness and acceptance: Expanding the cognitive-behavioral tradition (pp. 1-29). New York, NY: The Guilford Press.

 

Hellerman, J. (2021, Januari 15). What is 'Tenet' about? Here's our plot synopsis and explanation. Diunduh 23 Maret 2021, dari No Film School: https://nofilmschool.com/tenet-movie-plot-explained