ISSN 2477-1686

Vol. 7 No. 12 Juni 2021

Dosen Sebagai Desainer Sumber Daya Manusia Indonesia

 

Oleh:

Eko A Meinarno & Stephanie Yuanita Indrasari 

Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

 

Pengantar

Artikel ini diajukan sebagai upaya menunjukkan posisi strategis dosen di masyarakat. Dosen adalah pengajar di perguruan tinggi atau universitas. Di Indonesia, tugas dosen selain sebagai pengajar juga menjadi peneliti atau penulis buku/artikel yang bersifat ilmiah. Itulah kira-kira tugas dari dosen di Indonesia, tapi dalam artikel ini penulis hendak mengangkat peran yang kurang diperhatikan yakni peran dosen di kelas. 

 

Di kelas para dosen mengajar dengan cara mengajari teori atau praktek, membimbing dan seterusnya. Itulah yang dilihat oleh mahasiswa dan masyarakat pada umumnya. Namun di belakang layar kelas apa yang dilakukan olehnya? Dalam posisi tidak terlihat para dosen menyiapkan sebuah perencanaan, sebuah kerja kognitif visioner yang hendak mengarahkan akan bagaimana mahasiswa yang diajarnya menjadi (becoming). Diam-diam para dosen adalah desainer, desainer masa depan mahasiswa.  

 

Para dosen mendesain para mahasiswa sejak awal masuk melalui proses penerimaan mahasiswa baru atau masa orientasi (lihat Meinarno, 2017). Pada masa awal inilah dosen melakukan intervensi kognisi, afeksi, dan motorik untuk mempersiapkan diri peserta didik yang awalnya siswa menjadi mahasiswa dan akan menjadi sarjana. Proses desain tidak berhenti, memasuki kelas mahasiswa juga masih dalam proses desain. Salah satunya adalah dalam pembuatan kurikulum dan rancangan pengajaran. 

 

Dosenlah Sang Perancang  

Tidak perlu hal-hal canggih. Di kelas pekerjaan dosen memang secara alami mendesain mahasiswa untuk menjadi manusia yang dibutuhkan masyarakatnya. Kebutuhan ini sejalan dengan apa yang berkembang, sekaligus modal lingkungan sosial apa yang dapat menjadi alat bantu mahasiswa untuk berkembang dan menjadi manusia yang senantiasa belajar (Ladbrook & Parr, 2015). 

 

Ide ini tidak jauh dari ide Bapak Pendidikan Indonesia, Dewantara, yang menyatakan bahwa pendidikan pada dasarnya adalah memanusiakan manusia yakni menjadikan secara optimal perkembangan harkat dan martabat manusia (Dantes, 2018). Sejalan dengan ide Dewantara, dunia pendidikan secara internasional (UNESCO) juga mengedepankan pendidikan berwawasan masa depan dalam wujud empat pilar yakni learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together (Delors, 1996 dalam Dantes, 2018). 

 

Apa yang dapat kita lakukan di kelas untuk menjadi bagian empat pilar dan desain manusia Indonesia tadi?  

 

Sang Perancang: Bervisi ke Depan

 

Cetak biru dari rancangan dosen adalah rencana pembelajaran semester atau RPS. Rencana pembelajaran semester sejatinya adalah upaya dosen untuk membentuk mahasiswa untuk mempunyai kompetensi tertentu. Upaya merancang ini diupayakan tentunya terkait dengan suasana terkini dan masa depan. Perancang adalah orang paham hubungan pendidikan dan tujuan nasional, dengan demikian ia paham apa yang akan dijalankan di kelasnya (Wiles & Bondi, 2011). Dosen adalah sumber daya yang prima dalam mempersiapkan mahasiswa (tingkat sarjana hingga doktoral) menjadi pribadi yang akan siap menghadapi masa depannya (The Economist Intelligence Unit, 2017). 

 

Wiles dan Bondi (2011) mengajukan lima area perencanaan yang perlu diperhatikan sang perancang. Adapun kelimanya adalah memperhatikan modal sosial di masyarakat, treatment of knowledge, human growth and development, learning process, dan teknologi (Wiles & Bondi, 2011). 

 

Modal sosial di masyarakat. Apa yang ada dalam kehidupan sehari-hari menjadi modal untuk dorongan perubahan pendidikan dan pengajaran. Dulu di awal abad keduapuluh, koran dan radio menjadi modal sosial. Saat ini modal sosial bertambah dengan adanya internet.  

 

Treatment and transfer of knowledge. Perubahan pengetahuan selama beberapa dasawarsa telah mengubah banyak hal. Ilmu pengetahuan tidak lagi dibatasi sekat-sekat penggunaan terbatas. Perkembangan satu ilmu berdampak pada ilmu lainnya, ada kebutuhan untuk saling membantu antardisiplin. Peredaran informasi saat ini menjadi sangat luas, apalagi dengan adanya peran teknologi dan media yang turut berkembang pesat, membantu mahasiswa dan pembelajar lain (dari segala usia) memiliki akses yang juga terbuka luas. Situasi kondisi yang menyertai berbagai upaya memelajari hal-hal baru yang terus berkembang di era digital juga perlu diselaraskan dengan kemampuan berpikir kritis dan fleksibel (Spiro, 2011). Apa yang diperoleh dan dialami oleh mahasiswa selama proses pembelajaran akan dapat memengaruhi bagaimana ia mampu terampil dan fleksibel dalam menghadapi konteks situasi yang nyata (Barak & Levenberg, 2016).

 

Human growth and development. Teori perkembangan klasik dari Piaget perlu menjadi pertimbangan. Merancang pengajaran di perguruan tinggi dipengaruhi kesiapan dasar mahasiswanya. Tahapan perkembangan psikologis yang tengah mereka jalani (berbeda antara mahasiswa dan siswa SMA) dan peran lingkungan (ekologi) dari mahasiswa yang memengaruhi perkembangannya. Keadaan ini terjadi pada diri seseorang berproses secara timbal balik (Rosa & Tudge, 2013). Menurut Piaget, perkembangan kognitif mahasiswa sudah mencapai tahap formal operasional dengan ciri-ciri perkembangan mental mampu melakukan abstraksi, memecahkan masalah secara sistematis dan terlibat dalam manipulasi proses berpikir yang lebih kompleks. Di sisi lain peran dari lingkungan sosial dan budaya yang turut memengaruhi perkembangan kognitif seseorang (Snowman, 2015). Dengan demikian melalui pengalaman hidupnya (di ruang kelas dan ekologinya), mahasiswa (sarjana sampai doktoral) akan belajar memproses informasi dan belajar memaknai informasi. 

 

Learning process, umumnya yang kita arah adalah perubahan tingkah laku dari mahasiswa. Ini mirip dengan jalannya teori belajar. Pada prinsipnya, belajar terjadi ketika seseorang mengalami perubahan tingkah laku sebagai hasil dari kondisi yang dipelajarinya dari apa yang dialami (De Houwer, Barnes-Holmes, & Moors, 2013). Dengan demikian proses belajar tidak selalu terjadi dalam lingkup kelas atau di institusi formal pendidikan, akan tetapi menjadi seluas bagaimana proses belajar dirancang sedemikian rupa sehingga mahasiswa akan dapat mengalami suatu kejadian atau pengalaman yang membuatnya dapat betul-betul belajar. Sebagai contoh, dosen mendesain metode ajarnya dengan turun ke lapangan untuk melakukan observasi partisipasi untuk satu gejala psikologi. 

 

Teknologi. Masyarakat berubah seiring perkembangan teknologi yang melekat dengan kehidupan masyarakat. Penggunaan internet dan gawai adalah salah satunya. Adanya kebutuhan keterampilan baru yang sejalan dengan keberadaan teknologi itu sendiri. Teknologi memungkinkan pembelajar dan sumber belajar membuat proses belajar bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Dan teknologi semakin hari semakin terjangkau untuk segala lapisan masyarakat. 

 

Penutup: Visi Besar dalam RPS

Setelah kita berhasil memahami ide kita sendiri dan tujuan dari rancangan yang kita bayangkan maka saatnya mewujudkan menjadi lembar-lembar kerja yang terlihat administratif. Kita sebagai dosen jelas menerima posisi terhormat itu. Kita menjadi bagian dari unsur perguruan tinggi untuk menciptakan generasi baru yang sesuai dengan kebutuhan bangsa. Perguruan Tinggi/universitas memberi amanat pada kita sebagai perancang karena kita pengampu dari mata kuliah (Adnyana, Arnyanya, & Yoda, 2018).

Dosen menjadi bagian besar perencanaan manusia masa depan sebuah bangsa. Para dosen berbagai tingkatan (sarjana hingga doktoral) akan menghasilkan RPS yang merupakan mahakaryanya. Mahakarya yang akan mendesain generasi baru yang bermanfaat bagi masyarakatnya. Dari sebuah RPS, manusia Indonesia masa depan dirancang. Dan itu dibuat oleh kita, para dosen di perguruan tinggi. 

             

 

Referensi

 

Adnyana, PB., Arnyanya, IBP., Yoda, IK. (2018). Panduan pengembangan perangkat pembelajaran. Editor: AAIN Marhaebi, Nyoman Dantes, dan Ida Bagus Made Astawa. Rajawali Pers. Jakarta.

 

Barak, M., & Levenberg, A. (2016). A model of flexible thinking in contemporary education. Thinking Skills and Creativity. Vol. 22, p. 74-85. 

 

Dantes, N. (2018). Wawasan makro paedagogik. Dalam Bahan Ajar Pekerti (Pelatihan Keterampilan dasar Teknik Instruksional). Editor: AAIN Marhaebi, Nyoman Dantes, dan Ida Bagus Made Astawa. Rajawali Pers. Jakarta. 

 

De Houwer, J., Barnes-Holmes, D., & Moors, A. (2013). What is learning? On the nature and merits of a functional definition of learning. In press. Psychonomic Bulletin & Review.

 

Ladbrook & Parr, (2015). Designing Student Learning for a Networked World. Dalam Motivation, Leadership and Curriculum Design: Engaging the Net Generation and 21st Century Learners. Penyunting Caroline Koh. Springer. 

 

Meinarno, EA. (2017). Perubahan Cara Belajar: Intervensi Perilaku Belajar Mahasiswa Baru. ISSN 2477-1686Vol. 3. No. 6, Juni 2017. http://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/177-perubahan-cara-belajar-intervensi-perilaku-belajar-mahasiswa-baru

 

Rosa, E.M., & Tudge, J. (2013) Urie Bronfenbrenner’s Theory of Human Development: Its Evolution from Ecology to Bioecology. Journal of Family Theory & Review. 5 (243-258). 

 

Snowman, J. & McCown, R. (2015). Psychology Applied to Teaching. 14th edition. Stamford: Cengage Learning.

 

Spiro, R.J. (2011). The New Gutenberg Revolution: Radical New Learning, Thinking, Teaching and Training with Technology. Educational Technology. 51 (5) p. 62-63. 

 

The Economist Intelligence Unit. (2017). Worldwide Educating for the Future Index: a benchmark for the skills of tomorrow. 

 

Wiles, JW., Bondi, JC. (2011). Curriculum development: A Guide to practice. 8th ed. Pearson.