ISSN 2477-1686
Vol. 7 No. 5 Maret 2021
Dunning-Kruger Effect: Inkompeten yang Merasa Kompeten
Oleh
Fauzan Noor Ahmadi
Division for Applied Sosial Psychology Research, Universitas Persada Indonesia YAI
Pada 2014, Washington Post melakukan jejak pendapat kepada warga AS tentang apakah AS harus terlibat dalam intervensi militer setelah invasi Rusia ke Ukraina. Hanya 1 dari 4 responden bergelar sarjana yang mampu menunjukkan letak Ukraina pada peta, responden juga benar-benar menunjukkan antusiasme yang berbanding lurus dengan rendahnya pengetahuan mereka tentang Ukraina (Nichols et al., 2018). Pada 2016, Oxford Dictionaries mendeklarasikan bahwa “post-truth” sebagai International word of the year sebagai imbas serangkaian peristiwa politik kala itu (“Post-Truth” Declared Word of the Year by Oxford Dictionaries - BBC News, n.d.). Serupa tapi tak sama, Di Indoensia pun muncul istilah ’cebong’ dan ‘kampret’ pada masa kampanye calon presiden pada Pemilu 2019. Hal-hal tersebut tentu berdampak tidak hanya pada polarisasi masyarakat yang makin menjadi tapi juga berkurangnya kredibilitas pengetahuan.
Di era post-truth dan digital ini, derasnya informasi yang tersedia di berbagai portal daring dan sosial media juga dapat dengan mudah diakses oleh semua kalangan tanpa adanya batasan yang jelas mana informasi yang layak dan benar dengan informasi yang keliru bahkan palsu. Dalam beberapa kasus, para pemilik akun media sosial dari kalangan figur artis ataupun tokoh yang memiliki banyak pengikut dan massa turut menyebarkan argumen yang kurang berdasar terkait suatu hal yang diluar kompetensinya. Keadaan tersebut diperparah dengan munculnya banyak akun anonim yang juga menyebarkan berita dan argumen tak berasas. Tak jarang, pendapat para ahli mengenai suatu hal dianggap sama kuatnya dengan informasi yang mereka dapat dari sumber yang tak bisa dipertanggungjawabkan.
Tak sedikit juga Mahasiswa yang menyerahkan hasil ujiannya dan mendapatkan nilai D atau F cenderung berpikir usaha mereka seharusnya dinilai lebih tinggi tanpa melihat kebelakang apa yang telah ia usahakan terhadap ujian yang dihadapi (Nichols et al., 2018), yang mengejutkan hal-hal diatas ternyata tak hanya terjadi pada masyarakat dengan tingkat religiusitas tinggi seperti Indonesia, tapi juga terjadi dinegara maju dan adidaya seperti Amerika Serikat (Nichols et al., 2018).
Fenomena diatas dapat terjadi lantaran bias konfirmasi yang ada pada diri kita, yaitu kecenderungan alami untuk hanya menerima bukti yang mendukung hal yang sudah kita percayai. Bias yang terjadi juga menyebabkan kita mengabaikan informasi yang tidak kita ketahui. Kita juga cenderung untuk terlalu percaya diri tentang pengetahuan dan informasi yang sebenarnya terbatas (Korteling et al., 2018; Tversky & Kahneman, 1973).
Kruger & Dunning (1999) mengemukakan konsep “Dunning-Kruger Effect” yaitu bias kognitif yang terjadi saat seseorang cenderung berlebihan menilai kemampuan yang dimilikinya dan gagal dalam melakukan metakognisi sehingga tidak menyadari akan keterbatasannya. Dalam penelitiannya, dua psikolog tadi menentukan 3 topik studi yang diujikan pada partisipan yaitu: humor, logical reasoning, dan grammar. Alhasil, dari semua partisipan yang mendapat hasil rendah justru mereka yang merasa paling mengerti dan menguasai ketiga topik tadi. Rendahnya kompetensi dan kemampuan metakognisi mereka itulah yang membuat percaya diri mereka berlebihan dan merasa dirinya lebih baik dari rekan lainnya serta tak mampu mengenali kesalahan pada dirinya. Fenomena ini menjelaskan bahwa semakin rendah kompetensi seseorang, maka semakin sulit dia melihat kekurangannya (Kahneman, 2011).
Carter & Dunning (2008) menyimpulkan bahwa Dunning-Kruger Effect terjadi karena ada dua faktor: 1. Kurangnya Pengetahuan dan Informasi yang disebabkan oleh Error of Emission, incompetence and knowing the rules of judgment, The ill-defined nature of a right answer. 2. Kurangnya tanggapan dan respon positif (probability feedback, Ambigious feedback, Biased feedback).
Sebagai upaya untuk mencegah diri dan kerabat kita terjerat dalam Dunning-Kruger Effect ini adalah dengan memperbanyak wawasan serta pengetahuan. Ketika individu menerima sebuah informasi maka fungsi kognitif yang terdapat dalam individu akan perlahan meningkat, saat itulah individu akan cenderung menjadi bijaksana dalam menerima dan merespon masalah.
Referensi :
Carter, T., & Dunning, D. (2008). Faulty Self‐Assessment: Why Evaluating One’s Own Competence Is an Intrinsically Difficult Task. Social and Personality Psychology Compass, 2, 346–360. https://doi.org/10.1111/j.1751-9004.2007.00031.x
Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow. In Thinking, fast and slow. Farrar, Straus and Giroux.
Korteling, J. E., Brouwer, A. M., & Toet, A. (2018). A neural network framework for cognitive bias. Frontiers in Psychology, 9(SEP), 3. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2018.01561
Kruger, J., & Dunning, D. (1999). Unskilled and unaware of it: How difficulties in recognizing one’s own incompetence lead to inflated self-assessments. Journal of Personality and Social Psychology, 77(6), 1121–1134. https://doi.org/10.1037/0022-3514.77.6.1121
Nichols, T., Primanda, A., Santana, A. R., & Meigi P, R. (2018). Matinya Kepakaran: Perlawanan Terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudharatnya. In Matinya Kepakaran : The Death of Expertise (Cet. Ke-2). KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
“Post-truth” declared word of the year by Oxford Dictionaries - BBC News. (n.d.). Retrieved February 16, 2021, from https://www.bbc.com/news/uk-37995600
Tversky, A., & Kahneman, D. (1973). Judgment Under Uncertainty: Heuristics And Biases.