ISSN 2477-1686

 Vol. 6 No. 22 November 2020

Penggunaan Teori Psikologi Sosial Budaya untuk Menggambarkan Individu

Oleh

Rut Eli Hadadsha

Magister Profesi Psikologi Universitas Persada Indonesia Y.A.I

 

Pada era globalisasi  yang terjadi saat ini, interaksi manusia menjadi hampir tidak terbatas baik dari ruang maupun waktu, termasuk juga didalamnya lintas budaya. Interaksi manusia dengan berbagai latar belakang budaya memicu para peneliti untuk mengembangkan pengetahuan baru yang dapat digunakan untuk memahami orang dengan latar belakang tertentu.

Terdapat dua pendekatan dimensional yang paling terkenal yaitu Hofstede’s Dimensional Approach dan Triadis’ Dimensional Approach. Kedua pendekatan ini menggambarkan suatu budaya dengan cara yang berbeda. Pada Hofstede’s Dimensional Approach, budaya didefinisikan melalui lima hal yaitu power distance, individualism, masculinity, uncertainty avoidance, long term orientation dan indulgence. Sementara pada Triadis’ dimensional approach, sebuah budaya dibandingkan dengan budaya lain dengan cara melihat kesamaan maupun perbedaan kedua budaya tersebut.

Jika menarik pemahaman dari Hofstede’s dimensional approach, Indonesia menunjukkan hasil sebagai berikut.

Sumber: Hofstede Insight – Country Comparison/Indonesia (2020)

 

Grafik tersebut menunjukkan Indonesia sebagai negara yang tinggi dalam power distance (jarak kekuasaan) dan sebaliknya rendah dalam individualism (individualisme). Interaksi antara dua karakteristik ini menggambarkan Indonesia sebagai negara yang sangat bergantung pada sosok superior dan anggota lainnya diharapkan taat. Sebagai karakteristik dari individualisme yang rendah, orang Indonesia senang berkelompok. Berdasarkan kedua karakteristik tersebut, penulis menyimpulkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan konformitas yang tinggi terhadap pihak otoritas. Sosok yang dianggap superior akan mudah menyebarkan nilai atau mempengaruhi pemikiran anggotanya. Anggota kelompok akan lebih mudah percaya dan taat pada sosok yang dianggap pemimpin tersebut.

 

Adapun hal ini tidak dapat dinilai sebagai kelebihan atau kekurangan, namun diterima sebagai karakteristik budaya Indonesia. Dalam prakteknya, karakteristik ini dapat menjadi hal yang baik maupun buruk tergantung bagaimana konteksnya. Seperti halnya yang penulis sebutkan tadi bahwa masyarakat Indonesia cenderung tunduk pada otoritas. Jika suatu kelompok memiliki panutan dari sosok pemimpin yang menyesatkan, tentunya anggota kelompok tersebut mudah menjadi fanatik terhadap nilai yang menyesatkan sehingga dapat berujung pada aksi-aksi radikal suatu anggota kelompok. Sebaliknya, jika suatu kelompok memiliki panutan dari sosok pemimpin yang bijaksana, tentunya nilai baik tersebut akan mudah tersebar pada seluruh anggota kelompok dan membawa dampak yang konstruktif. Hal ini membawa penulis berefleksi lebih lanjut bagaimana sosok pemimpin dipuja dan diagungkan. Maka itu kita perlu sangat berhati-hati dalam memilih pemimpin kita/siapa yang akan menjadi panutan kita.

Selain pemahaman Hofstede, kita juga mengenal Triadis’ dimensional approach yang membahas kesamaan dan perbedaan dari budaya dilihat dari model kolektif/individual dan vertikal/horizontal. Terdapat empat kriteria budaya yaitu Individual-Vertikal (I-V), Individual-Horizontal (I-H), Kolektif-Vertikal (K-V), dan Kolektif-Horizontal (K-H). Amerika termasuk dalam negara I-V, Jepang termasuk dalam K-V sementara Indonesia sendiri termasuk unik yaitu kolektif namun dapat dimasukan dalam horizontal maupun vertikal. Penelitian terbaru sendiri menemukan bahwa di Indonesia mulai terdapat perubahan budaya khususnya di Jakarta yang mulai menganut budaya individual (Gumelar, Vania, Maulana, 2018).  Hal ini akan penulis bahas lebih mendalam selanjutnya.

Jia dibandingkan antara Amerika dan Jepang memiliki perbedaan budaya yaitu Amerika menganut individual sementara Jepang menganut kolektif. Sementara itu baik Amerika maupun Jepang memiliki struktur yang vertikal. Budaya individual dengan struktur vertikal yang terdapat pada Amerika menunjukkan kompetisi yang tinggi antar individu untuk menunjukkan performa terbaik sehingga mendapat penghargaan. Sementara di Jepang dimana masyarakatnya menganut budaya kolektif, terdapat kedudukan status yang berbeda antar individu sekalipun mereka berada dalam satu kelompok yang sama.

Indonesia sendiri merupakan negara yang besar dengan suku yang sangat beraneka ragam, namun umumnya Indonesia termasuk negara kolektif. Artinya masyarakat Indonesia masih bergantung pada kelompoknya. Namun jika melihat berbagai variasi suku dengan budaya masing-masing, terdapat perbedaan struktur vertikal dan horizontal pada masyarakat Indonesia. Suku Batak misalnya masih kental dengan budaya kolektifnya namun setiap orang memiliki kedudukannya masing-masing sehingga termasuk dalam struktur vertikal. Pada suku Batak, terdapat orang yang dianggap memiliki status lebih tinggi secara marga dibandingkan dengan marga lainnya sehingga memiliki peran yang tentunya berbeda pula. Sementara itu pada suku Jawa sangat kental dengan budaya paguyuban dimana setiap anggota berkelompok dengan struktur vertikal dimana berbagai hal diputuskan bersama dan saling membantu satu sama lain.

Hal menarik yang peneliti temukan adalah sebuah studi yang dilakukan oleh Gumelar, Vania, Maulana (2018) dimana mulai muncul karakteristik individualisme pada masyarakat Jakarta. Jakarta sebagai ibukota Indonesia merupakan pusat bisnis dan ekonomi negara. Jakarta merupakan kota yang menjadi pilar utama perkembangan di Indonesia. Di Jakarta telah masuk berbagai suku dari Indonesia bahkan warga negara asing. Dengan interaksi antar budaya dan padatnya kota, Jakarta mulai menujunjukkan perubahan dari budaya kolektifisme menunju individualisme. Berdasarkan hal ini, penulis berefleksi lebih lanjut bahwa budaya selalu berkembang seiring dengan perkembangan masyarakatnya. Maka dalam menggunakan pendekatan psikologi sosial budaya, teori apapun dapat digunakan asalkan peneliti memakai asas kritis, terbuka dan menggunakan konteks yang tepat sehingga dapat menggambarkan suatu budaya secara akurat.

 

Referensi:

Hofstede Insight: Country Comparison/Indonesia. Diakses melalui https://www.hofstede-insights.com/country-comparison/indonesia/ pada 9 November 2020.

Triandis, H. & Gelfand, M. (1995). Horizontal and vertical dimension of individualism and collectivism: A theoritical and measurement refinement. Cross-cultural. Diakses melalui https://www.researchgate.net/publication/275714572 pada 9 November 2020.

Gumelar, G., Vania, A. & Maulana, H. (2018). Do cultural styles predict pro-environment behavior among slum-area resident of Jakarta. SRICOENV. DOI: 10.1051/e3sconf/20186802003. Diakses melalui https://www.e3s-conferences.org/articles/e3sconf pada 9 November 2020.