ISSN 2477-1686

 Vol. 6 No. 21 November 2020

Perubahan Tradisi, Apakah Baik Atau Buruk?

 

Oleh

Nur Cholidah

Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia YAI

 

Dapatkah individu mengubah budaya? Jawabannya, tidak. Individu tidak bisa mengubah tradisi, tetapi jika menggerakkan individu lain untuk bersinergi menuju perubahan, itu baru memungkinkan (Kroeber dan Kluckhohn dalam Supartono, 2004).

 

Terlepas dari apakah tradisi itu didasarkan pada sebuah hak atau bukan, baik atau buruk. Apalagi kita tidak bisa menilai suatu budaya itu baik atau buruk. Karena ukuran baik atau buruk itu, sangat relatif dan tergantung kepada norma yang berlaku atau dasar hukum di daerah tertentu. Dapat dikatakan, suatu adat pada sebuah negara bisa berbeda-beda, tergantung pada ajaran yang dianut maupun sistem hukum yang dipegang.

 

Ada salah satu contoh dari sebuah tradisi, yaitu Nikah Muda. Menurut saya pribadi, sangat beresiko. Bahkan di beberapa aspek (fisik dimana belum matangnya organ reproduksi maupun mental, apalagi jika kepribadian dari si calon pengantin tersebut belum mantap baik secara emosi, maupun proses pengambilan keputusan), nikah muda terlalu riskan jika kebutuhan akan lingkungan sosial yang sesuai dengan usia perkembangannya belum sempurna. Ditambah lagi apabila mereka sudah mempunyai anak, semoga saja tidak mendapat gangguan sosial dan emosional yang bersumber dari masyarakat.

 

Kemudian, contoh lainnya yaitu pada kasus LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). Menurut Pew Research Center, setidaknya ada 30 negara yang melegalkan hubungan sesama jenis ini, baik secara nasional maupun di sejumlah daerah. Tetapi bagi Negara Indonesia, tradisi LGBT tersebut tentunya dianggap negatif, bahkan Indonesia sangat mengecam hubungan sesama jenis yang sangat dilarang bagi salah satu atau mayoritas agama yang dianut di Indonesia, seperti Islam dan Katholik.

 

Dan, sebagaimana yang telah saya sampaikan, berbagai tradisi-tradisi yang masuk ke Indonesia tersebut tidak lepas dari pengaruh globalisasi, yang mencakup berbagai aspek kehidupan terutama teknologi informasi dan komunikasi. Dimana dampak negatif yang diakibatkan dari kemudahan dalam mengakes segala informasi/budaya-budaya dari luar Indonesia itu menggerus dan berusaha mengubah nilai-nilai dari tradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita.

 

Kesimpulan:

Di penghujung tulisan ini, saya beranggapan bahwa setiap budaya memiliki pandangan yang berbeda. Apabila pengetahuan orang tua dianggap tidak cukup dan ada baiknya minta bantuan orang lain, bahkan yang lebih muda sekalipun untuk mencari solusi. Selain itu, pertemanan merupakan saran yang penting dalam semua budaya. Pertemanan ini mengajarkan anak untuk saling bernegosiasi, timbal balik (berbagi), serta kerja sama.

 

Walau kita tidak bisa merubah tradisi yang ada, kita tetap bisa menyaring tradisi  yang masuk ke Indonesia, melalui pemberian edukasi yang berdasar pada doktrin dan bertujuan memajukan tanpa meninggalkan budaya dengan tehnik management yang baik, dan kemampuan memegang prinsip untuk menjaga adat istiadat bangsa Indonesia, serta agama yang merupakan pengalaman manusia yang dapat memberikan bimbingan, struktur dan bagaimana manusia harus bersikap dan berpikir dalam berbagai aspek.

 

Referensi:

 

Boudhiba, A. 1975. La Sexualite en Islam. Paris: Presses Universitaires de Franc.

 

Reisinger, Y. and Turner, L.W. (2003). Cross-cultural behaviour in tourism: Concept and analysis. San Francisco: Butterworth Heinemann.

Supartono, W (2004). Ilmu Budaya Dasar. Bogor: Ghalia Indonesia.