ISSN 2477-1686

Vol.2. No.7, April 2016

Belanja atau Belanja Kompulsif ?: Antara Kesenangan dan Perasaan Kosong

Jehan Jessica Sulaiman

Fakultas Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya

Manusia memiliki kumpulan kegiatan kecil yang dilakukan sesekali namun kemudian menimbulkan rasa ketagihan sehingga akhirnya berulang-ulang dilakukan. Ketika sebuah kegiatan dilakukan berulang-ulang, otak menjadi begitu terlatih melakukannya sehingga akhirnya kegiatan tersebut menjadi kebiasaan bahkan hampir dapat dikatakan bahwa kegiatan tersebut dilakukan tanpa disadari. Kita berpikiran bahwa hanya bagaimana kegiatan tersebut dapat kita lakukan, tanpa kita bisa menghentikannya. Sebuah kebiasaan tidak bisa dikategorikan sebagai jenis kebiasaan baik ataupun buruk, yang ada hanyalah kebiasaan yang akan membawa kita menuju ke tujuan utama dalam kehidupan atau malahan membawa kita menjauhi tujuan kita. Masalahnya, sebuah kebiasaan cenderung tidak disadari, sehingga pengetahuan semata tidak cukup untuk membuatnya berubah. Dibutuhkan motivasi dari dalam diri yang sangat besar untuk menggantikan kebiasaan yang kurang sesuai dengan tujuan kita dengan kebiasaan lainnya yang lebih sesuai dan sejalan.

Kegiatan Belanja dan Gaya Hidup

Belanja adalah salah satu kebiasaan manusia yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial seseorang. Berbelanja pada dasarnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia. Namun, seiring perkembangan jaman, kegiatan berbelanja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok saja, melainkan menjadi sebuah aktivitas yang menyenangkan. Pertumbuhan lingkungan dan perubahan gaya hidup adalah beberapa hal yang mempengaruhi perubahan fungsi kegiatan belanja. Hadirnya berbagai pusat perbelanjaan (mall, plaza dan sejenisnya), khususnya di kota-kota besar Indonesia, mengubah nilai dan fungsi dari kegiatan belanja itu sendiri. Belanja kini terasa mudah dan nyaman sehingga sering kali dilakukan tanpa didasari kebutuhan tertentu.

Belanja Kompulsif dan Penyebabnya dalam Pandangan Psikologi

Individu yang melakukan kegiatan belanja di luar kebutuhan pokok biasanya didorong oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor-faktor internal misalnya perasaan ‘kosong’, self esteem yang negatif, perasaan tidak menjadi diri yang utuh, menyebabkan seseorang melakukan kegiatan berbelanja sebagai cara untuk mengekspresikan identitas dan mengaktualisasikan dirinya. Sementara itu, faktor eksternal berasal dari lingkungan sosial, misalnya keluarga, teman, TV atau internet (Edward, 1993). Kedua faktor yang telah dijelaskan di atas pada akhirnya membuat individu membeli barang-barang yang sebenarnya tidak diperlukan. Mereka seolah memiliki keinginan untuk berperilaku konsumtif dan terobsesi membeli barang yang dianggap dapat menunjukkan identitas dirinya. Bagi beberapa orang, perilaku berbelanja bahkan menjadi aktivitas yang menyenangkan karena dapat melepaskan emosi atau sebagai cara mengekspresikan diri. Namun, apabila tidak terkontrol, aktivitas belanja dapat berubah menjadi sesuatu yang disebut sebagai belanja kompulsif.

Belanja kompulsif didefinisikan sebagai perilaku belanja yang terjadi berulang-ulang akibat suatu dorongan, keinginan, pengalaman perasaan, atau aktivitas yang tidak dapat dikontrol (Kwak dalam Riyanti, 2008). Perilaku belanja kompulsif sama dengan tingkah laku ketergantungan terhadap alkohol atau obat-obatan karena membuat suatu perubahan dalam individu, yaitu memberikan suatu kesenangan, sesuatu yang diinginkan, dan menghilangkan rasa sakit atau putus asa (Engs, 2010). Ketika kegiatan berbelanja telah berakhir, individu akan memunculkan penyesalan. Ia akan berbelanja kembali untuk menghilangkan perasaan negatif akibat penyesalan tersebut, sehingga pola berbelanja akan berulang terus-menerus. Perilaku belanja kompulsif biasanya bermula dari usia awal. Anak-anak yang diacuhkan oleh orang tuanya akan tumbuh dengan rasa percaya diri yang rendah karena semasa kecilnya mereka merasa keberadaannya kurang dianggap (Santrock, 2011). Mereka kemudian menggunakan mainan untuk menghilangkan perasaan negatif yang dialami. Selanjutnya, remaja yang semasa kecil telah bergantung pada materi untuk dukungan emosional dapat mengembangkan perilaku belanja kompulsif akibat perasaan-perasaan negatif yang dialaminya semasa kecil. Selain itu, permasalahan dalam keluarga yang dialami setelah masa kanak-kanak juga dapat memperkuat perilaku belanja kompulsif pada remaja. Pada akhirnya, individu yang memiliki perilaku belanja kompulsif akan terus-menerus menghadapi masalah hidupnya dengan berbelanja.

Peran Orang Tua pada Perilaku Berbelanja Anak

Perilaku belanja kompulsif sangat berpengaruh terhadap kondisi keuangan individu. Namun, saat ini tersedia berbagai fasilitas pembayaran yang memudahkan terjadinya jual-beli dan dapat mendukung perilaku belanja kompulsif. Hal ini terutama terjadi di kalangan remaja. Penggunaan kartu debit atau kartu kredit oleh seorang remaja dengan persetujuan orang tua secara tidak langsung dapat menjadi penguat perilaku belanja kompulsif yang sudah dimiliki.

Menyikapi hal ini, orang tua disarankan agar menjadi lebih peka terhadap perilaku dan perasaan anak-anak mereka. Salah satu caranya adalah dengan melakukan evaluasi terhadap kebebasan anak dalam menggunakan atau mengelola uangnya. Evaluasi ini dapat menjadi salah satu cara untuk mendeteksi adanya perilaku belanja kompulsif, khususnya pada remaja. Selanjutnya, perilaku belanja kompulsif pada remaja dapat menjadi alarm tentang adanya perasaan negatif yang tidak atau belum diselesaikan. Diskusi secara terbuka antara orang tua dan anak merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menghadapi perilaku belanja kompulsif. Ketika anak, orang tua atau keluarga sedang menghadapi masalah, mereka dapat berdiskusi bersama-sama mengenai hal-hal yang sebaiknya dilakukan atau pilihan-pilihan yang tersedia terkait masalah tersebut. Dengan demikian, pemahaman dan penerimaan anak akan menjadi semakin baik dan kemunculan perasaan negatif yang berkepanjangan dapat diminimalisir.

Referensi:

Edward, E. A. (1993). Development of a new scale for measuring compulsive buying behavior. Financial Counseling and Planning. Diambil dari https://www.afcpe.org/assets/journals/vol_45.pdf

Engs, R. C. (2010). How can I manage compulsive shopping and spending addiction. Diambil dari Universitas Indiana situs web: http://www.indiana.edu/~engs/hints/shop.html

Riyanti, L. (2008). Gambaran Pola Belanja Kompulsif dan Mekanisme Terjadinya Pada Orang Dewasa Yang Bekerja di Jakarta. Skripsi tidak dipublikasikan. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok.

Santrock, J. W. (2010). Life-span Development. New York: McGraw-Hill