ISSN 2477-1686

Vol. 6 No. 17 September 2020

 

Tangga Menjadi Teroris: Cerita Mantan Teroris dari Kelompok Moderat ke Ekstremis

Oleh

Any Rufaedah
Division for Applied Social Psychology Research (DASPR); Universitas Nahdlatul Ulama

 

Bagaimana orang menjadi teroris? Pertanyaan ini terus menarik sampai saat ini, terutama bagi orang-orang yang baru terjun pada topik terorisme. Selain itu, faktor dan proses seseorang menjadi teroris beragam, sehingga selalu menarik untuk diikuti.

Dalam perspektif ilmu psikologi, terdapat tiga model utama yang menjelaskan bagaimana orang menjadi teroris. Pertama, model Staircases to Terrorism (tangga menuju teroris) dari Fathali Mogaddham. Kedua, Pathway to Violence McCauley dan Moskalenko (2008), dan ketiga adalah model Doosje, De Wolf, Mann, dan Feddes (2016).

Model pertama menjelaskan orang menjadi teroris melalui lima tangga, diawali dengan persepsi ketidakadilan, rasa marah, dan frustrasi terhadap ketidakadilan. Jika persepsi dan perasaan yang sama terus berlanjut, orang akan naik ke tangga pertama untuk mencari solusi. Selanjutnya, orang akan mengalihkan agresi kepada kelompok lain dan pikiran “kami dan mereka” mulai berkembang. Di tangga ketiga, orang mulai terikat secara moral dengan kelompok teroris, dan di tangga keempat terjadi penguatan pola pikir kategoris (categorical thinking) dan legitimasi terhadap kelompok. Pada fase ini, orang mengikuti persiapan-persiapan aksi termasuk pelatihan fisik dan militer, dan di fase terakhir telah siap melakukan aksi kekerasan (Moghaddam, 2005).

Pathway to Violence McCauley dan Moskalenko membagi proses radikalisasi menjadi tiga level: individual, kelompok, massa, dan terdiri dari 12 faktor. Pada level individual, orang dipengaruhi oleh perasaan sebagai korban, protes politik, slippery slope (dapat diterjemahkan keputusan sangat cepat untuk melakukan aksi terorisme yang didorong oleh radikalisasi diri dan alasan sangat kuat -- McCauley dan Moskalenko mengakui kasus ini jarang terjadi), cinta, dan pergeseran opini individu ke opini kelompok (like-minded). Di level group, orang dipengaruhi oleh faktor isolasi dan ancaman dari kelompok, kompetisi dengan kelompok lain untuk mendapatkan dukungan, kompetisi dengan kekuatan negara, kompetisi dalam group; dan di level massa didorong oleh provokasi dengan memanfaatkan kekuatan musuh (misal dengan kata, “musuh telah menyerang kita, maka kita harus bersatu dan bangkit.”) –strategi ini disebut jujitsu politics—, kebencian terhadap kelompok musuh, pemuliaan status syahid (martyr) (McCauley dan Moskalenko, 2008).  


Model Doosje, et. al (2016) membagi proses radikalisasi (dan deradikalisasi) menjadi tiga fase: sensitivity, group membership, action. Masing-masing fase dipengaruhi oleh tiga level faktor: micro (individual), meso (kelompok), dan macro (sosial). Dua faktor micro yang dianggap paling penting pada fase sensitivity adalah pencarian makna, yang bisa disebabkan oleh kehilangan status, perasaan terhina, prospek karir rendah, dan perasaan tidak pasti (uncertainty). Pada level meso, faktor yang dipandang penting adalah perasaan ketidakadilan terhadap kelompoknya, pertemanan dan keluarga. Faktor pada level macro diantaranya perasaan terancam oleh dominasi kultur, ekonomi, dan politikBarat.

Setelah masuk pada fase group membership, orang akan dipengaruhi oleh keinginan menunjukkan loyalitas (micro); tuntutan mengikuti kewajiban sebagai anggota seperti mengikuti pelatihan dan doktrinasi, dan anjuran memutus hubungan dengan komunitas sebelumnya (meso); deklarasi kekuasaan (misal deklarasi resmi sistem khilafah oleh ISIS) –dapat meningkatkan kepercayaan diri kelompok untuk mengganti dominasi Barat dan mewujudkan cita-cita kelompok (macro). Pada fase action, orang bisa dipengaruhi oleh keinginan balas dendam atas kematian keluarga atau teman (micro), janji (bai’at) untuk melakukan aksi jihad (meso), dan seruan pemimpin untuk melakukan aksi (macro).

Pada artikel ini, saya akan mengulas sebuah contoh kasus yang mengikuti model tangga menjadi teroris. Kisah ini adalah kisah mantan narapidana terorisme yang saya wawancarai pada akhir tahun 2018 (selanjutnya disebut L).  L menjalani hukuman penjara dari 2013 hingga 2016 karena kasus kepemilikan senjata yang akan digunakan untuk jihad di Poso. Sebelum terlibat dalam kelompok teroris, L bergabung dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan Front Pembela Islam (FPI), kemudian berpindah ke kelompok Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) Jabodetabek. Di kelompok JAT, L mengikuti liqo’ (pengajian) mingguan selama hampir satu tahun dengan peserta 6-7 orang dan seorang ustad. Dari pengajian rutin itu, L belajar tauhid, pihak-pihak yang patut dilawan, dan persiapan-persiapan jihad.

Keputusan berpindah kelompok itu diambil karena merasa NU dan FPI belum cukup serius melakukan pembelaan terhadap umat Islam yang teraniaya, sementara JAT menawarkan tindakan nyata untuk melakukan pembelaan, yaitu melalui jihad fisabililah. Dalam wawancara, L menyatakan:

Awalnya kita kan emang dari NU kan, FPI gitu kan.
Ketika saya merantau ya terus kita merasanya [tidak nyaman] di sini. Dulu kan kita kalo di kampung kan ngajinya sampe SMA. Ketika kita disini ya ada ‘kering’ gitu ya. Kita awalnya nyari pengajar di Senin, Jakarta. Habib [nama ustad] itu loh. Kita masih NU lah. Dari situ Habib [nama ustadz] kita cari. Bagus nih ceramahnya tentang amar ma’ruf nahi munkar. Kita cari dia, kita masuk FPI, eh ternyata di kota saya tinggal ada. Itu meningkat terus, sampai kita kenal Ustadz Abu Bakar Ba’asyir.

[Saya] merasa [NU dan FPI] kurang di pembelaan Islam ketika ada kaum muslimin di luar terbantai itu kan. Nah disitu saya gak mendapatkan semangat ghiroh di yang sudah saya lalui itu [NU dan FPI]. Tapi ketika saya ketemu dengan Ustadz Abu, saya mendapatkan. Artinya, dia bisa memfasilitasi lah. Ini loh, “Oh berarti ada langkah nanti ke depannya saya bisa membela Islam itu dengan total, dengan jihad fi sabilillah.”

 

Dari pernyataan ini, terlihat bahwa usaha mencari kelompok yang menawarkan tindakan nyata (dengan menyerang dan kekerasan) diawali dari persepsi ketidakadilan terhadap umat Islam (sehingga harus dibela). Di dalam kelompok, didukung oleh pelajaran-pelajaran seputar jihad, L mengkategorikan “musuh” yang dianggap menyebabkan ketidakadilan. Ia akhirnya tidak hanya terikat secara moral dengan kelompoknya, namun juga membenarkan aksi teror dan telah bersiap melakukan aksi bersama anggota lain. 

 

Kisah L adalah contoh yang linear dengan model “tangga menuju teroris.” Namun, tidak semua kasus dapat dijelaskan dengan model ini. Banyak mantan teroris Indonesia yang masuk kelompok teroris tidak didasari persepsi ketidakadilan, melainkan rasa ingin memperbaiki diri (pertaubatan/redemption), ingin mencari makna hidup, atau alasan pertemanan. Kasus-kasus seperti itu lebih sesuai dengan model yang dikeluarkan oleh Doosje, De Wolf, Mann, dan Feddes.

 

Referensi:

 

Doosje, B. et. al. (2016). Terrorism, radicalization and de-radicalization. Current Opinion in Psychology, 11, 79-84.  https://doi.org/10.1016/j.copsyc.2016.06.008

McCauley, C. & Moskalenko, S. (2008) Mechanisms of Political Radicalization: Pathways Toward Terrorism, Terrorism and Political Violence, 20(3), 415-433. https://doi.org/10.1080/09546550802073367

Moghaddam, F. M. (2005). The Staircase to Terrorism: A Psychological Exploration. American Psychologist, 60(2), 161–169. https://doi.org/10.1037/0003-066X.60.2.161