ISSN 2477-1686

 

Vol.6 No. 07 April 2020

“Nrimo” Menemani

 

Oleh

Adi Heryadi

Program Studi Psikologi, Universitas Jendral Ahmad Yani

 

Pandemi covid-19 (Corona Virus Disease-19) atau yang lebih dikenal dengan wabah corona telah merubah tatanan kehidupan dan fitrah manusia, manusia yang sejatinya adalah mahluk sosial yang menurut Sarwono (2013) selalu membutuhkan sesamanya, selalu berhubungan dengan manusia lainnya dalam sebuah interaksi sosial akhirnya harus dibatasi dengan social and physical distancing demi memutus rantai penyebarannya.

 

Pasangan yang biasanya bekerja melakukan aktifitas di kantor, kampus maupun tempat lainnya kini harus tinggal di rumah. Anak-anak mulai dari usia dini, taman kanak-kanak, SD, SMP, hingga SMA dan perguruan tinggi semua nya dirumah. Belajar dari rumah dan bekerja dari rumah. Suatu kondisi yang memang tidak biasa dan membutuhkan penyesuain diri bagi para pelakunya. Jika mahasiswa, siswa SMA dan SMP  atau SD dengan tingkatan kelas 5 keatas (kelas tinggi) mungkin tidak terlalu sulit untuk melakukan penyesuain diri, namun tidak demikian bagi  mereka yang memiliki anak-anak usia sekolah kelas 3 SD ke bawah (kelas rendah) dan juga bagi pasangan-pasangan yang dititipi amanah oleh Tuhan dengan anak yang memiliki kebutuhan khusus.

 

Menjadi pendamping belajar anak-anak kelas bawah hingga PAUD dan anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus memiliki tantangan tersendiri dan tulisan ini akan berfokus pada topik ini. Pendamping belajar itu tidak hanya oleh orang tua, namun juga guru pengajar anak-anak di sekolah tersebut yang juga bisa kita sebut sebagai pendamping belajar. Sebagai pendamping yang harus memanfaatkan teknologi untuk bisa berinteraksi dalam sebuah proses belajar baik menggunkan video youtoube, google classroom, zoom, WA grup dll, akan menjadi persoalan tersendiri bagi orang tua migran milineal, yaitu orang tua generasi X hingga baby boomers yang harus bermigrasi dengan teknologi karena perubahan zaman. Persoalan yang lain adalah waktu dan tuntutan pekerjaan, pada saat bersamaan para orang tua tersebut juga harus bekerja, melakukan kewajiban-kewajiban pekerjaannya, memenuhi berbagai penugasan dari atasan dan tuntutan pekerjaan. Bagi guru pendamping yang sudah terbiasa mendampingi anak-anak PAUD atau SD kelas bawah bahkan anak-anak dengan kebutuhan khusus jika hal tersebut dilakukan di sekolah, menjadi hal yang rutin dan mudah bagi mereka. Namun kondisi ini memaksa mereka semua harus mengeluarkan tenaga dan waktu ekstra dengan model pembelajaran daring atau dalam jaringan dengan memanfaatkan teknologi internet, belum lagi sebagai orang tua dan istri atau ibu yang juga mempunyai tanggung jawab atas perannya.

 

Walgito (2010) mengatakan bahwa perilaku itu bisa  dibentuk dengan pembiasaan atau kebiasaan, dengan pengertian atau insight dan dengan model atau contoh. Pada kasus pandemi covid-19 ini hampir semua kita belum siap dengan situasi seperti ini, alih alih mencari model atau contoh kita pun bahkan tidak pernah menyangka bahwa kita harus menjadi pendamping belajar anak-anak kita dari jam 08.00 hingga jam 12.00 siang yaitu waktu dimana kita biasanya berada di kantor. Memang situasi ini telah dan akan membuat kita mencoba hal-hal yang baru, kita sedang mencoba suatu model interaksi vitual dengan mediasi internet. Guru sedang belajar menjadi pengajar dengan model daring walau kadang mereka juga bingung apakah mau mengajar anak-anaknya atau mengajar orang tuanya? dan semoga melalui proses coba-coba ini akan memunculkan insight baru. Kebiasaan baik yang sedang kita coba dan jalani dengan berkumpul bersama di rumah, mengajar dengan penuh kesabaran anak-anak kita  semua dan mencoba untuk melakukan proses pembelajaran maupun pekerjaan secara daring  semoga bisa cepat menjadi sebuah kebiasaan baru yang lebih membuat kita bahagia dalam menghadapi kondisi ini.

 

Berangkat dari situasi diatas, membaca curhatan para pengajar dan mengalami sendiri sebagai orang tua pendamping anak belajar di rumah ingatan penulis tertuju pada tulisan penulis sekitar tahun 2015 tentang nrimo. Menurut Herdiana dan Trisepdiana, 2013 Dalam Heryadi (2015) Nrimo merupakan falsafah jawa yang merupakan pribumisasi dari konstruk penerimaan diri. Sementara penerimaan diri menurut Chaplin (2004) dalam Heryadi (2015) merupakan rasa puas akan kualitas diri dan pengakuan akan keterbatasan diri. Sudahkah pada situasi ini kita menerima bahwa mendampingi belajar putra-putri kita yang masih duduk di kelas bawah pada kondisi pandemi ini adalah pilihan terbaik? sebuah jawaban yang membutuhkan perenungan lebih dalam. Sudahkah pada kondisi ini kita nrimo bahwa kita penuh keterbatasan atas segala sumber daya? ada sebuah kekuatan di luar diri kita yang maha mengatur segalanya dan ia bisa membolak balikkan situasi tanpa kita prediksi sebelumnya bahwa kita akan mengajar anak-anak SD kita sembari mengajari orang tuanya tentang cara upload ini? cara download itu? dan siap selalu melayani pertanyaan orang tua selama tugas itu masih berlangsung. Konstruk yang kemudian populer oleh Zohar dan Marshall di tahun 2000 dengan spiritual intelligence yang merupakan pengembangan dari penemuan Passinger dan Ramanchandran tentang aktifitas God Spot yang berada didaerah temporal otak manusia.

 

Nrimo merupakan ketenangan dalam menyelesaikan masalah, sebuah gambaran respon afektif dan kognitif seseorang serta kemampuan seseorang dalam menghadapi cobaan dari tuhan (Herdiana dan Trisepdiana, 2013). Menurut Prasetyo (2014) dalam Prayekti (2019) nrimo merupakan sikap penerimaan secara penuh terhadap berbagai kejadian untuk mengurangi kekecewaan apabila terjadi Sesutu yang diluar harapan kita. Menurut penulis nrimo menemani belajar anak-anak kita sebagai orang tua dan nrimo menyiapkan model pembelajaran daring dengan segala konsekuensinya bagi anak-anak kelas bawah bahkan anak-anak berkebutuhan khusus bisa menjadi ikhtiar bersama sikap kita saat ini untuk mencegah stress hingga depresi menghadapi pandemi covid-19 dan terus menerus memanjatkan doa semoga Allah SWT, Tuhan yang maha penguasa segera menyudahi cobaan berat ini.

 

Kaki Merapi, Sabtu Pagi yang cerah 4 April 2020.

Salam Sehat dan Bahagia dari Jogja Istimewa

 

Referensi:

 

Triaseptiana, A. N., & Herdiana, I. (2013). Gambaran Kesehatan Mental Narapidana Bersuku Jawa Ditinjau dari Konsep Nrimo. Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial, 2 (1).

 

Heryadi, A. (2015). Nrimo dan Penerimaan Diri : Upaya Menuju Kebahagiaan. Bahagia Itu Mudah Talkshow(pp. 1-6). Stipsi Carrer Centre.

 

Prayekti.,(2019). Konseptualisme dan Validasi Instrumen Narimo Ing Pandum (Studi pada SMK Jetis Perguruan Tamansiswa Yogyakarta). Jurnal Bisnis Teori dan Implementasi, Vol. 10: 31-39.

 

Sarwono, S.W.,(2013). Pengantar Psikologi Umum. PT RajaGrafindo Persada Jakarta.

 

Walgito,B. (2010). Pengantar Psikologi Umum. Penerbit Andi Yogyakarta.