ISSN 2477-1686

 

Vol.6 No. 07 April 2020

Berpikir Positif:

Sebuah Refleksi Pengalaman Saat Karantina Diri

 

Oleh:

Fx. Wahyu Widiantoro

Fakultas Psikologi, Universitas Proklamasi 45

 

 

 

Situasi darurat selalu membuat stres seperti halnya pandemi Covid-19 yang bepotensi sebagai pemicu stres bagi banyak kalangan. Individu merasa stres dan khawatir di tengah epidemi apa pun merupakan hal umum yang terjadi. Terlebih diberlakukannya aturan social and physical distancing sebagai alternatif solusi untuk memutuskan rantai penyebaran virus Covid-19. Peraturan pemerintah untuk mengurangi aktivitas kegiatan di kantor, sekolah, kampus serta di tempat-tempat ibadah telah ditetapkan. Kondisi memprihatinkan yang saat ini kita alami sarat memunculkan perasaan tidak berdaya, kebosanan, kesepian, depresi karena terisolasi serta pikiran negatif lainnya.

 

Virus Covid-19 datang seolah-olah mengingatkan bahwa sebagai makhluk sosial individu tetap berperan sebagai seorang pribadi. Virus Covid-19 memaksa setiap individu menjalani kegiatan yang setiap hari dilakukan seperti halnya bekerja, belajar hingga menjaga kebersihan diri tidak lagi bermakna sebagai rutinitas belaka. Keberagaman ritual yang sering dilakukan secara komunal pun rapuh, individu dihimbau melakukan kegiatan beribadah secara tidak bersama-sama dalam suatu tempat. Setiap individu dipaksa lebih menggali motivasi intrinsik untuk membangun kesadaran diri yang sesungguhnya.  

 

Reaksi emosi masing-masing individu dalam menghadapi situasi pandemik Covid-19 pun beragam. Reaksi emosi seseorang ditentukan oleh bagaimana individu menginterpretasikan pengalaman-pengalamannya terhadap situasi tersebut (Beck, 1985; Burns, 1988). Pemikiran individu terhadap situasi menekan yang dihadapi akan menentukan kualitas dan intensitas reaksi emosi (Lazarus, 1991).

 

Martin dan Dahlen (2005), mengungkapkan berdasar hasil penelitiannya bahwa pemikiran-pemikiran negatif dapat memunculkan reaksi emosi yang negatif pada diri seseorang. Pemikiran-pemikiran tersebut yaitu menyalahkan diri sendiri, menyalahkan orang lain dan lingkungan, ruminasi, dan katastrofi. Keempat pemikiran negatif tersebut menurunkan penilaian positif dan penerimaan akan situasi yang dihadapi. Demikian halnya bahwa pemikiran-pemikiran negatif tersebut berhubungan dengan depresi.

 

Beck (1985; Dowd, 2004; Greenberger & Padesky, 1995), menjelaskan bahwa depresi ditandai dengan pandangan negatif mengenai diri sendiri, dunia, dan masa depan. Individu dapat mengalami depresi karena ia memiliki skema kognitif yang negatif. Pikiran-pikiran negatif yang seringkali muncul dapat menyebabkan stres, cemas maupun depresi obsesif. Sumber permasalahan berupa pola pikir yang negatif terhadap diri, lingkungan dan masalah yang dihadapi pada hakekatnya merupakan suatu ancaman bagi keberlangsungan hidup sehingga individu perlu mengantisipasinya (Stallard, 2005).

 

Pesatnya perkembangan teknologi di era milenial diwarnai dengan musibah pandemi Covid-19 seperti saat ini menjadi bagian yang tak tepisahkan dalam sepenggal perjalanan kehidupan kita. Setiap perubahan kondisi yang terjadi, individu harus mengambil keputusan secara pribadi sebagai konsekwensi interaksinya dengan “dunia”. Kegagalan individu dalam membangun orientasi dalam menjalani kehidupan berpotensi memunculkan kecemasan bahkan depresi. Sebaliknya, keberhasilan individu dalam membangun orientasi dalam menjalani kehidupan dengan berbagai perubahan kondisi hingga krisis akibat pandemik Covid-19 yang terjadi saat ini menjadi pengalaman positif dalam upaya membangun kebermaknaan hidup.

 

Frankl (2003), menggambarkan ciri-ciri individu dengan tingkat kebermaknaan hidup yang tinggi sebagai pribadi yang bersemangat dalam menjalani kesehariannya, memiliki tujuan dan merasakan kemajuan dalam dirinya, dapat menemukan hikmah dibalik peristiwa serta mampu mencintai dan menerima cinta kasih dari orang lain. Salah satu cara untuk mencapai kebermaknaan hidup yaitu dengan nilai bersikap yang merupakan salah satu sumber kebermaknaan hidup (Bastaman, 2007), yakni cara individu menunjukkan keberanian dalam menghadapi penderitaan serta bagaimana individu memberikan makna pada penderitaan atau peristiwa tragis yang dihadapi.

 

Sebuah tantangan yang sungguh tidak mudah bagi kita untuk mampu menciptakan kebahagiaan di tengah bencana virus Covid-19 yang mematikan ini. Kebahagiaan menurut Bastaman (2007), erat kaitannya dengan cara seseorang menyikapi peristiwa- peristiwa dalam hidupnya. Peristiwa tentu ada yang menyenangkan maupun tidak  menyenangkan, yakni ketika seseorang menghadapi penderitaan namun tetap dapat menemukan hikmah dan rasa syukur maka hal itu akan menjadikannya bahagia.

 

Selaras dengan pernyataan Frankl (2003), bahwa menerima dengan tabah, berani dan rasa syukur terhadap peristiwa tragis yang dialami merupakan cara bersikap agar hidup individu tetap memiliki makna. Didukung oleh hasil penelitian Limbert (2004), bahwa berpikir positif mempunyai peran dapat membuat individu menerima situasi yang tengah dihadapi secara lebih positif.

 

Simpulan yang didapat yaitu bahwa berpikir positif merupakan suatu keterampilan kognitif yang dapat dipelajari melalui pelatihan. Pada prinsipnya, kondisi pandemik Covid-19 diharapkan sebagai ajang pelatihan berpikir positif. Setiap individu mengalami proses pembelajaran keterampilan kognitif dalam memandang peristiwa yang dialami. Lebih mampu menemukan makna dari sebuah peristiwa yang terjadi untuk kreatif memotivasi diri agar terus berjuang menghadapi beragam kemungkinan yang bisa terjadi sebagai wujud syukur atas karunia hidup yang diterima secara nyata.

 

Referensi:

 

Bastaman, H.D. (2007). Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna. PT Raja Grafindo Persada.

 

Beck, A. T. (1985). Depression: Causes and treatment. University of Pennsylvania Press.

 

Burns, D.D. (1988). Feeling good: The new mood therapy [Terapi kognitif: Pendekatan baru bagi penanganan depresi]. Erlangga.

 

Dowd, E. T. (2004). Depression: Theory, assesment, and new directions in practice. International Journal of Clinical and Health Psychology, 413-423.

 

Frankl, E. V. (2003). Logoterapi Terapi Psikologi Melalui Pemaknaan Eksistensi. Kreasi Wacana.

 

Greenberger, D. & Padesky, C.A. (1995). Mind over mood: Change how you feel by changing the way you think. The Guilford Press.

 

Lazarus, R. S., (1991). Emotion and adaptation. Oxford University Press.

 

Limbert, C. (2004). Psychological wellbieng and satisfaction amongst military personel on unaccompanied tours: the impact of perceived social support and coping strategies. Journal of Military Psychology, 16(1), 37-51.

 

Martin, R.C., & Dahlen, E. R. (2005). Cognitive emotion regulation in prediction of depression, anxiety, stress, and anger. Personality & Individual Differences, 39, 1249-1260.

 

Stallard, P. (2005). A clinician’s guide to think good-feel good:using cbt with children and young people. John Wiley & Sons.