ISSN 2477-1686

Vol.6 No. 07 Maret 2020

 

 

Karantina Diri : Perubahan Kebiasaan sebagai Sarana Pembelajaran

Oleh:

Shahnaz Safitri

Eko A. Meinarno

Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

 

As long as habit and routine dictate the pattern of living, new dimensions of the soul will not emerge – Henry van Dyke

Ketidaksiapan Karantina Diri

Hadirnya pandemic virus Covid-19 yang sedang berlangsung di Indonesia diikuti oleh imbauan hingga peraturan pemerintah bagi masyarakat untuk menjalankan karantina diri (self quarantine). Berbagai macam kegiatan masyarakat yang adalah cermin berlangsungnya peradaban, seperti proses belajar di sekolah, aktivitas perkantoran, kegiatan jual-beli pada transaksi pasar, seluruhnya dengan serta merta dikonversikan menjadi suatu aktivitas digital mengunakan sarana-sarana daring. Transisi ini diperkuat oleh kemunculan jargon-jargon sosialisasi yang trending di jagad maya, seperti “Work from Home”, “Belajar dari Rumah”, “#DiRumahAja”, dan berbagai istilah lainnya. Meski demikian, keharusan untuk menjalankan karantina diri terbilang muncul secara cukup mendadak sebagai kebijakan preventif pemerintah Indonesia dalam mengontrol penyebaran  virus Covid-19.

Di sisi lain, masyarakat sebagai subjek dari kebijakan karantina diri umumnya belum menyiapkan diri dalam menghadapi proses tersebut. Lebih mendasar lagi, masyarakat belum seluruhnya menyadari apa yang sepatutnya akan dihadapi dengan diterapkannya karantina diri tersebut, mengingat instruksi serupa belum pernah berlangsung sebelumnya. Sementara, dari sinilah keputusan terkait persiapan diri menjalani karantina baru benar-benar bisa dilakukan dengan tepat. Dalam kerangka teori pengambilan keputusan, salah satu dasar dari proses pembuatan keputusan ialah bagaimana persepsi individu terhadap informasi sesuai dengan pemaknaannya, diikuti dengan pemilihan respons sebagai sikap terhadap informasi tersebut yang mengacu pada keluasan pengalaman serta kompleksitas kognitif individu (Putra, 2009). Dalam hal ini, informasi merujuk pada perintah tentang karantina diri, dimana individu memang membutuhkan pengetahuan atau pengalaman terkait untuk dapat mengambil keputusan yang efektif sebagai respons dari perintah tersebut.

 

Disonansi Kognitif

Dalam situasi ketidaktahuan akan informasi yang relevan sebagai dasar pertimbangan untuk mengambil keputusan, individu dapat mengalami ketidaknyamanan psikologis yang dikenal dengan istilah disonansi kognitif. Disonansi kognitif ialah suatu fase dimana muncul konflik internal di dalam diri individu terkait pertentangan antara pengetahuan, sikap, maupun perilaku satu dengan yang lain yang dianggap sebagai ideal (Wibowo, 2009). Dalam kasus karantina diri, proses karantina dengan mengisolasi diri di rumah merupakan kegiatan yang tidak umum dilakukan oleh individu kebanyakan, yang bertentangan dengan kebiasaan keseharian dimana individu memperoleh ekspektasi sosial untuk terlibat aktif di dalam kehidupan kemasyarakatan melalui aktivitas pilihannya. Perubahan ekspektasi sosial, dari keterlibatan aktif menjadi isolasi diri, menuntut perubahan perilaku yang drastis bagi individu. Dalam hal ini, disonansi kognitif dapat terjadi dalam bentuk ketidaknyamanan menjalani paket rutinitas baru sepanjang karantina diri. Lebih lanjut, apabila kita tilas balik kepada periode awal penetapan karantina diri, muncul pula beragam perilaku lainnya sebagai reaksi ketidaknyamanan psikologis atas berlangsungnya proses karantina ini. Ragam perilaku tersebut hadir mulai dalam bentuk penyangkalan atas ancaman virus Covid-19, penerimaan karantina diri dengan persiapan yang ekstrem melalui panic buying dan obsesi akan kebersihan, hingga bersikap pasrah cenderung pada abai akan pandemik tersebut.

 

Arus Informasi Mengurangi Disonansi Kognitif

Sebagai respons atas ketidaknyamanan kolektif yang dirasakan di awal periode karantina diri, babak kedua dari periode ini ditandai oleh arus kemunculan informasi di jagad maya terkait ragam sarana daring yang dapat digunakan untuk menunjang pelaksanaan rutinitas harian individu sebagai bagian dari masyarakat. Informasi ini hadir dalam bentuk poster digital di sosial media dan aplikasi percakapan (messenger apps), seminar, workshop, dan pelatihan daring dalam skema telekonferensi, maupun berbasis teks tertulis yang dikirimkan pada khalayak luas. Seluruhnya berusaha merincikan: (1) jenis-jenis sarana daring untuk beragam aktivitas harian, tata cara menggunakannya, (2) fitur yang tersedia, (3) kelebihan dan kekurangan setiap sarana, dan (4) perlengkapan yang dibutuhkan untuk mengakses setiap sarana. Apabila ditinjau lebih lanjut, adanya arus informasi tersebut selaras dengan prinsip dalam mengurangi ketidaknyamanan psikologis dari disonansi kognitif. Disebutkan bahwa memang salah satu cara untuk mengurangi disonansi kognitif ialah dengan mencari atau terpapar pada informasi baru yang mendukung penerapan perilaku baru sebagai jalan keluar dari konflik internal yang dirasakan (Wibowo, 2009).

 

Arus Informasi Sebagai Sarana Pembelajaran

Dengan demikian, gelombang kedua dari karantina diri yakni hadirnya arus informasi terkait transisi digital dari aktivitas masyarakat secara tidak langsung menandakan bahwa karantina diri menjadi wadah berlangsungnya aktivitas belajar yang intensif pada kebanyakan individu. Sebagai bentuk menyelaraskan diri dari ketidaknyamanan internal yang dirasakan, periode karantina diri dapat menjadi medium dan mengkondisikan individu untuk lambat laun belajar akan informasi baru yang sekiranya relevan dengan kesulitan yang dirasakannya sepanjang periode karantina diri. Dengan kata lain, individu belajar untuk membentuk suatu perilaku baru.

Jika dikembalikan kepada definisi dari belajar (learning), ia merujuk pada suatu proses perubahan perilaku sebagai hasil dari pengalaman yang berlangsung secara menetap atau permanen (Domjan, 2014). Mengacu kepada definisi ini, maka proses karantina diri sebaik-baiknya dapat diarahkan untuk menjadi katalis bagi individu dan masyarakat secara kolektif agar setiap orang memiliki repertoire perilaku baru yang adaptif terhadap situasi lingkungan. Pada dasarnya, belajar memang diarahkan untuk memupuk adaptabilitas individu dalam menyesuaikan diri dengan perubahan di sekitar. Kuncinya ialah terletak pada proses belajar sebagai produksi “perubahan perilaku yang menetap”, dimana pengetahuan dan keterampilan yang sudah diperoleh seyogyanya tersimpan dengan baik untuk menjadi acuan bertingkah laku di kemudian hari dalam mengalami situasi serupa. Akhir kata, tulisan ini hendak menyoroti situasi karantina diri dari pandemik Covid-19 sebagai salah satu peristiwa sejarah yang sejatinya memiliki potensi untuk kembali menunjukkan sejauh mana daya adaptif manusia sebagai individu dapat mewujud.

 

 

Referensi

Domjan, M. (2014). The principles of learning and behavior. Nelson Education.

Wibowo, I. (2009). Sikap. Dalam S.W. Sarwono & E.A. Meinarno (Eds.), Psikologi sosial (pp. 79-102). Salemba Humanika.

Putra, I.E. (2009). Pengambilan keputusan. Dalam S.W. Sarwono & E.A. Meinarno (Eds.), Psikologi sosial (pp. 199-222). Salemba Humanika.