ISSN 2477-1686

 

Vol.6 No. 07 April 2020

Berdamai dengan Emosi Saat Karantina Diri

Oleh

M. Agus Wahyudi
Program Studi Psikologi Islam IAIN Surakarta

 

Melakukan karantina diri saat menghadapi wabah Covid-19 salah satu usaha pencegahan untuk memutus laju penyebaran wabah Covid-19. Ketika melakukan karantina diri, tidak hanya berguna untuk diri sendiri, namun juga bermanfaat bagi orang lain yang berada di sekitar kita. Dengan demikian, secara implisit individu yang melakukan karantina diri dalam pencegahan Covid-19, telah mempraktikan apa yang diperintah oleh agama Islam. Sebagaimana hadis Rasulullah saw, “sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia”.  

Disamping itu, setiap individu memiliki pengalaman dan kondisi psikologis yang bermacam-macam saat menghadapi Covid-19. Khususnya individu yang melakukan karantina diri, stay at home, social distancing, physical distancing dan lain-lain. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas tentang pengalaman saat karantina diri. Semoga bermanfaat dan menjadikan kita memiliki mental yang kuat. Di dalam mental yang kuat terdapat imun yang kuat, daya imun yang kuat akan menjadi perisai diri ketika kita terserang oleh penyakit.

Pada awal melakukan karantina diri, saya merasakan hadirnya emosi negatif. Goleman (2002) emosi negatif meliputi perasaan gelisah, cemas, jenuh, takut, sedih bahkan sampai marah-marah. Jika diantara kalian mengalami dan merasakan hal yang serupa, itu wajar saja maka tetaplah tenang (santuy). Dan, jangan merasa ketika melakukan karantina diri, seakan-akan kita menjadi orang yang paling mederita di dunia ini. Diluar kita juga banyak orang mengalami kondisi yang sama, salah satunya saya. Kondisi tersebut muncul berdasar respon kita terhadap keadaan saat ini yang berbeda dengan sebelumnya, atau keadaan yang tidak menyenangkan. Oleh karena itu, munculah perasaan-perasan negatif (emosi negatif) yang tidak kita inginkan.

Di masyarakat terdapat stigma yang muncul mengenai emosi negatif. Emosi negatif diibaratkan sebagai musuh yang kerap meneror kita. Emosi negatif dianggap sebagai parasit yang bersarang di tubuh. Oleh karena itu, kita akan cenderung melakukan perlawanan dan menolak hadirnya emosi negatif dengan berbagai cara agar dapat terhidar dari emosi negatif tersebut. Apakah itu akan efektif untuk menghadapi emosi negatif? Sebelumnya, mari kita simak pemaparan berikut ini:

Susan David (Psikolog dari Universitas Harvard), mengatakan bahwa masyarakat dan bahkan diri kita sendiri seringkali menghakimi emosi negatif sebagai suatu hal yang buruk. Saat emosi negatif menyapa, kita cenderung ingin mengusirnya dan cuek, berharap seakan-akan bisa hilang dengan sendirinya. Kebiasaan tersebut tentu bisa berdampak pada kemampuan ketahanan mental diri dalam menghadapi kejadian yang buruk. Berikut beberapa tips yang bisa kita lakukan saat merasakan emosi negatif yang hadir:

Pertama, sadari emosi negatif, dalam psikologi terdapat istilah ruminasi.  Yakni bentuk respon diri terhadap sesuatu yang dilakukan dengan cara memikirkan kejadian yang membuat kita stres secara berulang-ulang. Misal, saat karantina diri gara-gara Covid-19 kita memiliki perasaan jenuh dan bosan, lalu kita berpikir bahwa setiap hari itu bakal menjenuhkan dan membosankan, padahal tidak seperti itu.

Selain itu, menyadari emosi negatif dapat dilakukan seperti halnya ini, kalau kita sedang sedih, maka sadari kalau kita sedang sedih. Ketika kita marah, maka sadari kalau kita memang lagi marah. Dengan demikian, penyadaran menjadi penanganan pertama saat menghadapi emosi negatif yang muncul. Penyadaran ini akan memberikan jalan kepada kita menuju sikap peberimaan diri.

Kedua, penerimaan emosi negatif, terdapat istilah keren Life isn’t about avoiding the storm, it’s about learning how to dance in the rain. Bentuk penerimaan bisa diwujudkan dengan merasakan perasaan tidak nyaman dari emosi negatif tanpa ada perlawanan diri.  Dikarenakan, jika emosi semakin dilawan maka emosi akan semakin kuat. Misal, saat kita merasa sedih karena tidak bisa bermain keluar rumah gara-gara wabah Covid-19 lalu jika kita melawan kesedihan itu malah perasaan sedih akan menjadi semakin kuat. Begitu juga dengan emosi negatif lainnya.

Dengan demikian, cara terbaik saat menghadapi emosi negatif yaitu disadari dan diterima bukan melawannya. Awalnya memang terasa sulit untuk menerima keadaan yang tidak menyenangkan. Namun, dengan melakukan penerimaan hadirnya emosi maka akan membuka ruang perasaan kita untuk memiliki perasaan lega dan damai dengan diri.

Ketiga, memaknai emosi negatif, maksudnya adalah kita memberikan reflesksi yang positif terhadap emosi negatif. Khususnya bagi individu yang memiliki perasaan tidak menyenangkan ketika melakukan karantina diri di saat menghadapi wabah Covid-19. Dikarenakan, setiap kejadian yang menimpa kita tentu membawa sebuah pelajaran. Adanya pemaknaan membuat kita menjadi dewasa secara emosional. Kerelaan diri (tawakal) terhadap setiap kejadian memberikan kekayaan bermakna dalam menjalani hidup. Salah satunya adalah wabah Covid-19.

Emosi membantu kita sebagai umpan balik atas sebuah peristiwa. Semua emosi itu penting, terlepas dari negatif atau positif emosi. Ketika emosi negatif hadir selayaknya kita terbuka untuk menerimanya. Menyadari hadirnya emosi negatif, melakukan penerimaan terhadap emosi negatif, dan memaknai kembali hadirnya emosi tersebut. Dengan demikian, ketika berdamai dengan emosi negatif, maka kita akan memiliki kehidupan yang optimal dan berkualiatas. Dikarenakan, Yusuf (2006) mengungkapkan, emosi negatif dapat melemahkan semangat, menghambat atau mengganggu konsentrasi belajar, terganggu penyesuaian sosial dan lingkungan.

 

Referensi:

HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani  dalam Shahihul Jami’ no: 3289.

David, Susan. 2016. EMOTIONAL AGILITY: Get Unstuck, Embrace Change, and Thrive in Work and Life. (Ebook)

Goleman, Daniel. 2002. Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Yusuf, Syamsu. 2004. Psikologi Perkembangan anak & Remaja. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.