ISSN 2477-1686

 

Vol.6 No. 07 April 2020

Nyalakan Empati di Tengah Pandemi

Oleh

Selviana

Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia YAI

 

Pemberlakuan belajar dari rumah, bekerja dari rumah dan beribadah dari rumah selama masa pandemi virus corona sejak awal Maret 2020 menimbulkan banyak reaksi bagi masyarakat dunia khususnya di Indonesia. Betapa tidak, orang-orang yang dalam kesehariannya bisa bebas keluar-masuk rumah dan bisa bepergian kemanapun mendadak di rumah saja. Secara pribadi, tugas-tugas mengajar saya sebagai dosen yang biasanya dilakukan di kampus kini mendadak online dengan berbagai sistemnya dan dibalik sistem perkuliahan online yang harus saya ikuti, ada kenyataan lain di masyarakat yang menguji cara kita berempati.

Badai besar yang bernama virus corona kini merebak dan tak luput dari perhatian kita sebagai orang Indonesia yang dikenal gemar bergotong-royong. Di masa-masa menjalani imbauan pemerintah untuk menjaga jarak sosial, berbagai elemen masyarakat mulai dari para pengusaha, artis dan musisi, komunitas profesi serta yayasan sosial (termasuk komunitas yang saya ikuti) mulai menunjukkan empatinya dengan menggalang dana guna membantu kebutuhan pokok para pekerja harian yang penghasilannya berkurang akibat pandemic virus corona, membantu penyediaan APD (Alat Pelindung Diri) bagi para tenaga medis, memberikan layanan konseling psikologi dan kesehatan secara gratis, membagi-bagikan masker dan hand sanitizer secara gratis kepada masyarakat, menggalang penyemprotan desinfektan ke berbagai tempat, serta melakukan ibadah-ibadah online untuk saling menguatkan dan mendoakan. Inilah yang sesunggunya menjadi jati diri bangsa Indonesia, bangsa yang toleran dan peduli terhadap sesama tanpa memandang suku, status sosial dan agamanya.

Sebagai sesama manusia, kita disebut mahkluk termulia karena kita punya rasa. Rasa untuk saling mengasihi, saling berbagi, dan peduli pada kesulitan orang lain. Inilah yang disebut dengan empati. Seseorang yang memiliki empati terhadap orang lain tidak hanya mementingkan dirinya sendiri, tetapi berupaya menunjukkan kepeduliannya terhadap orang lain, khususnya yang sedang ditimpa kemalangan atau kesedihan yang ditunjukkan dengan penyesuaian diri terhadap kondisi yang dialami orang lain, sekaligus menunjukkan perhatian dan memberi bantuan (Selviana, 2016). Dalam Ilmu psikologi, empati banyak diteliti dan dikaji dalam hal moral (Cotton, 2012; Detert, Trevino & Sweitzer, 2008). Borba (2001) turut menyatakan bahwa empati merupakan salah satu kebajikan inti dalam moral seseorang yang memiliki pengaruh besar dari faktor-faktor lainnya sehingga dalam banyak penelitian moral, empati biasanya memberikan kontribusi besar yang mempengaruhi moral seseorang. Penelitan Selviana (2013) membuktikan bahwa faktor psikologis yang paling berpengaruh terhadap moral bukanlah religiusitas melainkan empati. Penelitian ini tidak bermaksud meniadakan faktor religiusitas, namun bermakna bahwa setinggi apapun ilmu agama seseorang atau sereligius apapun seseorang, orang tersebut dapat dikatakan bermoral bila memiliki empati terhadap orang lain dengan melakukan kebaikan-kebaikan. Hal ini nampaknya relevan bagi orang-orang Indonesia yang dikenal religius, karena pada dasarnya semua agama mengajarkan hal yang baik dan secara humanis, manusia pada dasarnya memiliki sifat positif yang membuatnya terdorong untuk melakukan kebaikan bagi orang lain.

Apa yang harus dilakukan di tengah pandemi virus corona?

Saat membaca pertanyaan di atas, kira-kira apa yang akan anda jawab? Mungkin jawabannya terkait menjaga kesehatan/daya tahan tubuh, tetap produktif sekalipun di rumah saja, menjaga jarak fisik atau rajin cuci tangan, rajin beribadah atau menolong orang lain yang sedang kesulitan. Saya yakin semua jawabannya baik dan sebagai refleksi diri, di bawah ini diuraikan tentang 3 zona yang dialami seseorang di era Covid-19:

1.    Zona Ketakutan, pada zona ini seseorang mengalami panic buying, sering mengeluh, mudah marah dan menyebarkan rasa takut dan marah.

2.    Zona Belajar, pada zona ini yang terjadi pada diri seperti mulai dapat menerima kenyataan, berhenti membaca berita yang membuat cemas, berhenti belanja berlebihan, mulai mengenali emosi diri sendiri dan meyadari bahwa semua pihak berusaha untuk melakukan yang terbaik.

3.    Zona bertumbuh, pada zona ini seseorang mulai memikirkan orang lain dan membantunya, penuh kasih sayang pada diri sendiri dan orang lain, berterima kasih dan mengapresiasi orang lain dan mencari cara untuk dapat beradaptasi terhadap perubahan.

Berdasarkan uraian di atas dan dengan melihat pada diri sendiri, kita dapat menentukan dimana posisi kita masing-masing saat ini dalam menghadapi wabah virus corona (covid-19). Pandemi virus corona memang membuat ruang gerak aktivitas harian kita terbatas, namun kenyataannya kita tidak pernah hidup sendiri. Selalu ada manusia lain disekitar kita yang kita sebut keluarga, kerabat, tetangga atau rekan kerja. Sarwono (2002) menyatakan bahwa sebagian besar dari kehidupan manusia dihabiskan bersama sanak saudara dan kerabatnya. Ini artinya, selain diri sendiri ada orang lain juga yang perlu kita jaga. Sayangnya, tamu yang tak pernah diundang bernama virus corona ini memang bisa membuat ujian nasional di Indonesia untuk sementara dihapuskan, namun justru dari sinilah ujian hidup sedang berlangsung.

Oleh karena itu, mari nyalakan empati di tengah pandemi dengan melihat segalanya dengan hati. Seseorang yang hatinya peduli akan tergugah dengan kesulitan yang dirasakan oleh orang lain, cepat tanggap untuk menolong orang lain dan tidak menghambat orang lain hanya karena ingin kepentingannya didahulukan (Selviana, 2016). Bila melihat gambar di atas, level seperti ini berada pada zona belajar sampai dengan zona bertumbuh. Misalnya, bila belum bisa berdonasi, tenaga bisa diberi. Bila belum bisa menjadi relawan kemanusiaan, doa-doa kita bisa turut menyertai. Bila tidak berprofesi sebagai tenaga medis yang merawat pasien-pasien yang terinfeksi, tidak berarti kita pantas menjauhi/menolak mereka karena takut tertular. Bila belum bisa memberi informasi yang bermanfaat, tidaklah bijak bila turut menyebarkan berita bohong atau berita yang menakutkan dan bila belum bisa berbuat banyak, tetaplah di rumah sebagai wujud dukungan untuk turut memutus mata rantai penyebaran virus corona. Dengan ini kita bisa lebih peduli, berkontribusi agar virus corona segera selesai dan banyak wajah kembali berseri-seri.

 

Referensi:

Borba, M. (2001). Building moral intelligence. San Fransisco: Jossey-Bass.

Cotton, K. (2012). Developing empathy in children and youth.School Improvement Research Series, 1, 1-18.

Detert, J. R., Sweitzer, V. L.,& Trevino, L. K. (2008). Moral disengagement in ethical decision making: A study of antecedents and outcomes. Journal of Applied Psychology, 93,374-391.

Sarwono, S. W. (2002). Psikologi sosial: Individu dan teori-teori psikologi sosial. Jakarta: Balai Pustaka.

Selviana. (2016). Empati dan penggunaan situs jejaring sosial sebagai faktor dalam membentuk moral remaja. Jurnal Psikoogi Ulayat, 3(2), 143-157.

Selviana. (2016). Membangun empati, Buletin KPIN, 2(12). Diakses dari https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/99-membangun-empati

Selviana. (2013). Perilaku moral pada remaja: Suatu penelitian pada remaja di Mahanaim. (Disertasi tidak dipublikasikan). Universitas Persada Indonesia YAI, Indonesia.