ISSN 2477-1686

Vol.5 No. 24 Desember 2019

Apakah Transgender Tidak Berhak Diterima Masyarakat?

 

Oleh

Pravetya Syahira dan Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo

Mahasiswa dan Dosen Program Studi Psikologi

Fakultas Humaniora dan Bisnis Universitas Pembangunan Jaya

 

 

Transgender adalah sebutan yang ditujukan bagi individu yang mengubah jenis kelamin sesuai sesuai keinginan melalui prosedur medis (Chandra & Wae, 2019). Contohnya adalah perempuan yang berubah menjadi laki-laki ataupun sebaliknya. Hal itu terjadi karena seseorang merasa tidak mengenali identitas seksualnya atau merasa lahir dengan jenis kelamin yang bukan dirinya. Misalnya seseorang terlahir dengan jenis kelamin laki-laki, tetapi ia merasa dirinya feminin dan menganggap dirinya perempuan sehingga ia kemudian mengganti jenis kelaminnya menjadi perempuan. Afriani dan Primanita (2019) menyebutkan transgender dipengaruhi oleh faktor biologis yang berhubungan dengan hormon dan gen.

 

Trangender menjadi bagian dari kelompok LGBT, bersama-sama dengan kelompok Lesbian Gay Biseksual lainnya. Transgender sendiri berbeda dengan orientasi seksual yaitu ketertarikan seksual seseorang - baik pada jenis kelamin yang berbeda (heteroseksual), atau jenis kelamin yang sama (homoseksual) atau kedua jenis kelamin (biseksual) (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Namun baik lesbian, gay, biseksual maupun transgender sama-sama sulit diterima masyarakat khususnya di Indonesia. Khusus kelompok transgender, sebagian besar anggota masyarakat menjadikan kelompok ini sebagai bahan tertawaan. Dalam kehidupan sehari-hari, kelompok ini kerap dijumpai sebagai laki-laki yang berdandan seperti wanita serta bekerja sebagai pengamen jalanan. Menurut Renaldi (2019a), kriminalisasi terhadap kelompok ini nyaris terjadi apabila Indonesia meloloskan revisi RUU KUHP.

 

Padahal organisasi kesehatan dunia World Health Organization menghapuskan transgender dari “ketidaksesuaian gender” dalam daftar gangguan mental sejak 2018 dan memberlakukannya ke semua negara per tahun 2020 mendatang (Renaldi, 2019b). Artinya transgender semestinya dapat menjalani hidup dengan hak-hak yang sama seperti anggota masyarakat lainnya tanpa mengalami diskriminasi. Kenyataan bahwa transgender mengganti jenis kelaminnya karena merasa terlahir di tubuh yang salah seharusnya tidak jadi alasan sehingga mereka tak diterima masyarakat. Mereka adalah manusia yang juga memiliki hak yang sama seperti pendidikan, pekerjaan dan hidup bersama dalam masyarakat. Namun pada kenyataannya, transgender menghadapi berbagai penolakan.

 

Oleh karena itu, kita layak memberikan apresiasi pada Pesantren Al-Fatah. Sebagaimana diberitakan oleh Umara (2019), pesantren di Yogyakarta ini khusus untuk kelompok transgender - beroperasi sejak 2008, sempat ditutup di tahun 2016 karena dianggap tempat maksiat, kemudian kembali beroperasi. Pesantren ini menjadi tempat bagi mereka yang selama ini ditolak di tempat-tempat lain – tak hanya untuk belajar agama tetapi juga tata rias, tari, memasak dan berbagai kegiatan lain. Keterampilan tersebut diharapkan membuat mereka dapat bekerja di berbagai bidang. Shinta, pengasuh pesantren ini, adalah seorang transgender yang mendapat penghargaan sebagai pembela hak asasi manusia dari Front Line Defenders yaitu organisasi perlindungan hak asasi manusia internasional dari Irlandia dimana Shinta menjadi satu-satunya wakil di Asia Pasifik. Arif Nuh Safri Sitompul, dosen Institut Ilmu Al-Quran Yogyakarta, merupakan salah satu dari sederetan pengajar yang memberi ilmu dengan pandangan bahwa transgender juga manusia dan punya hak untuk mengenal penciptanya. Sementara masyarakat sekitar mengapresiasi keberadaan pesantren, tak sedikit komentar negatif dari warga ditigal lainnya.

 

Mengurangi prasangka negatif terhadap kelompok transgender dapat dimulai dengan mengenal mereka. Prasangka negatif dan perilaku buruk terhadap transgender bisa dikurangi dengan psikoedukasi. Debineva dan Pelupessy (2019) berpendapat bahwa dengan mengurangi prasangka negatif terhadap transgender, maka dukungan publik terhadap dapat pemenuhan hak-hak mereka bisa ditingkatkan.

 

Referensi:

 

Afriani, M. & Primanita, R. Y. (2019). Hubungan self-awareness dengan adversity

quotient pada LGBT di Sumatera Barat. Jurnal Riset Psikologi, Vol. 2019 No 2. Diakses 6 Oktober 2019 melalui

 http://103.216.87.80/students/index.php/psi/article/view/6204/3116

Chandra, Y. & Wae, R. (2019). Fenomena LGBTdi kalangan remaja dan

tantangan konselor di era Revolusi Industri 4.0. Prosiding Konvensi Nasional XXI Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Bandung 27-29 April 2019. Diakses pada 6 Oktober 2019 melalui

http://proceedings.upi.edu/index.php/konvensiabkinxxi/article/view/444/400

Debineva, F & Pelupessy, D.C. (2019). Mengurangi prasangka negatif terhadap

transpuan dengan metode kontak imajiner melalui photovoice kepada orang muda di Tangerang, Indonesia. Intuisi: Jurnal Psikologi Ilmiah Vol. 11. No. 1. Diakses 6 Oktober 2019 melalui

https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/INTUISI/article/view/20113/9413

 

Papalia, D., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human development. 11th edition. New York: McGraw Hill.

Renaldi, A. (2019a). Merekam jatuh bangun satu-satunya pesantren khusus

transpuan di Indonesia. Diakses 6 Oktober 2019 https://www.vice.com/id_id/article/59nm4x/merekam-jatuh-bangun-satu-satunya-pesantren-khusus-transpuan-di-indonesia-shinta-ratri

Renaldi, A. (2019b). Transgenderisme kata WHO bukan lagi gangguan mental, tapi

risiko diskriminasi masih tinggi. Diakses 6 Oktober 2019 melalui https://www.vice.com/id_id/article/mb8pvb/who-hapus-transgenderisme-dari-daftar-gangguan-mental-risiko-diskriminasi-masih-tinggi.

Umara, R. (2019). Pahlawan waria dari yogyakarta. Diakses 8 Oktober 2019 

https://www.cnnindonesia.com/tv/20190217151426-415-369995/pahlawan-waria-dari-yogyakarta--bagian-1-