ISSN 2477-1686

Vol.5 No. 23 December 2019

Bunuh Diri Akibat Bullying

Oleh

Cornelius Vito Pascal Pradhana

Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia YAI

Belum lama ini Tribun News menyoroti kekerasan yang terjadi di Kupang, YSS (14 tahun) siswa SMP yang tewas gantung diri di tempat ibunya tewas akibat dibunuh ayahnya. Semasa hidupnya, YSS dikenal sebagai siswa cerdas. Paman YSS menyebutkan keponakannya ini selalu mendapat ranking di kelas dan bahkan waktu di SD dia juga dapat beasiswa karena berprestasi dan berhasil mendapat sepeda dari Jokowi saat beliau ke Kupang. Namun dalam beberapa waktu terakhir prestasi YSS mengalami penurunan

Sebelum bunuh diri, YSS membuat surat wasiat bahwa ia berterima kasih kepada keluarga yang sudah merawat dia dan meminta maaf tidak bisa membantu banyak. Menurut YSS, ada 2 cara yang bisa dilakukan yaitu tetap sekolah sampai SMA dan membantu pamannya, lalu kemudian balas dendam kepada ayahnya dengan tangan sendiri karena sang ayah telah menghilangkan nyawa ibunya dan ia juga berharap bahwa kematiannya tidak perlu dirayakan/dilakukan suatu proses adat apapun.

YSS merasa bahwa dia bisa saja menghapus dendamnya, namun dendamnya semakin menjadi-jadi terutama ia merasa bahwa di mata semua orang ia bersalah dan menjadi korban bullying karena ia adalah keturunan dari seorang ayah yang membunuh istrinya sendiri. Bullying yang terjadi sejak YSS lulus SD hingga di bangku SMP inilah yang membuat dendam YSS terhadap ayahnya menjadi semakin dalam dan membuat dirinya nekat untuk melakukan aksi bunuh diri. Di akhir surat wasiatnya, YSS meminta surat ini diteruskan ke seseorang agar orang tersebut bisa melanjutkan keinginan YSS untuk membalas dendam ke ayahnya dan berharap si ayah membaca surat ini.

Bullying merupakan suatu perilaku negatif berulang yang bermaksud menyebabkan ketidaksenangan atau menyakitkan oleh orang lain, baik satu atau beberapa orang secara langsung terhadap seseorang yang tidak mampu melawannya (Olweus, 2006). Menurut Coloroso (2007), bullying merupakan tindakan intimidasi yang dilakukan secara berulang-ulang oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah, dilakukan dengan sengaja dan bertujuan untuk melukai korbannya secara fisik maupun emosional. Bullying menurut Coloroso (2007) memiliki 3 bentuk, yaitu verbal bullying (dalam bentuk ucapan), physical bullying (bentuk fisik baik yang mengandung kekerasan atau tidak), dan relational bullying (bentuk isolasi, penghindaran, dan pengeluaran dari kelompok tertentu).

Penelitian yang dilakukan oleh Riauskina dkk (2005) juga menemukan bahwa korban merasakan banyak emosi negatif (marah, dendam, kesal, tertekan, takut, malu, sedih, tidak nyaman, terancam) ketika mengalami bullying, namun tidak berdaya menghadapi kejadian bullying yang menimpa mereka. Dalam jangka panjang emosi-emosi tersebut dapat berujung pada munculnya perasaan rendah diri dan merasa bahwa dirinya tidak berharga. Menurut Borowsky IW, Taliaferro LA, McMorris BJ (dalam Journal of Adolescent Health, 2013), ada hubungan yang kuat antara faktor internal dan eksternal bullying secara verbal dan sosial yang berakibat pada percobaan bunuh diri.

Menurut Peterson (dalam Berthold dan Hoover, 2000), bullying akan mempengaruhi self-esteem korbannya dan hal tersebut merupakan hal yang ditimbulkan dari pengaruh jangka panjang. Demikian pula Olweus (dalam Berthold dan Hoover, 2000) menyatakan bahwa bullying memiliki pengaruh yang besar bagi kehidupan korbannya hingga dewasa. Saat masa sekolah akan menimbulkan depresi dan perasaan tidak bahagia untuk mengikuti sekolah, karena dihantui oleh perasaan cemas dan ketakutan. Selain itu menurut Swearer, dkk (2010) korban bullying juga merasa sakit, menjauhi sekolah, prestasi akademik menurun, rasa takut dan kecemasan meningkat, adanya keinginan bunuh diri, serta dalam jangka panjang akan mengalami kesulitan-kesulitan internal yang meliputi rendahnya self-esteem, kecemasan, dan depresi. Studi terbaru dari California Healthy Kids Survey pada 2019 menunjukkan, bullying memiliki efek jangka pendek dan jangka panjang bagi remaja. Remaja yang dirundung oleh teman-temannya karena alasan apa pun memiliki dampak kesehatan mental jangka panjang yang lebih buruk daripada anak-anak yang diperlakukan buruk oleh orang dewasa. Remaja yang mengalami bullying lebih mungkin mengalami kecemasan, depresi dan mempertimbangkan melukai diri sendiri dan bunuh diri di kemudian hari.

Bunuh diri yang dilakukan YSS adalah suatu bentuk konsekuensi dari bullying yang terjadi di sekitar sekolah dan lingkungan. Selama 7 tahun sejak kematian ibunya oleh ayahnya sendiri, YSS mengalami tekanan dari lingkungan karena merupakan satu-satunya anak kandung dan mendapat stigma bahwa ia adalah anak pembunuh. YSS memiliki self-esteem yang rendah akibat hal ini sehingga ia kerap menyalahkan dirinya sendiri. YSS yang awalnya merupakan anak cerdas, lama kelamaan mengalami penurunan minat belajar sehingga ia tidak berprestasi seperti waktu SD saat ibunya masih ada.

Tidak ditemukan adanya intervensi dari sekolah maupun sekitar untuk upaya menjaga kesehatan mental YSS, walaupun menurut testimoni sekitar anaknya periang dan bandel seperti anak SMP pada umumnya. Melalui supervisi dan monitoring, peraturan, diskusi dan bimbingan, program intervensi yang mantap dapat mengembangkan dan membentuk lingkungan sekolah yang nyaman dan aman. Selain model pencegahan seperti disebutkan di atas, terdapat program intervensi yang menggunakan pendekatan pemulihan (rehabilitation). Hal ini penting sebagai peringatan kepada kita bahwa tidak jarang ditemukan kasus dimana korban bullying melakukan bunuh diri ketika dia sudah tidak sanggup menanggung penderitaan fisik dan psikologis akibat perilaku bullying terhadap dirinya.

Referensi:

Coloroso, Barbara. (2007). Stop Bullying: Memutus Rantai Kekerasan Anak dari Prasekolah hingga SMU. Diterjemahkan oleh: Santi Indra Astuti. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.

Olweus, Dan.(2006). Bullying in Schools: Facts and Intervention. Norwegia: Research Center for Health Promotion , University of Bergen.

Borowsky IW, Taliaferro LA, McMorris BJ. (2013). Suicidal thinking and behavior among youth involved in verbal and social bullying: Risk and protective factors. Journal of Adolescent Health, 53, 4-12.

Berthold, K. A. and Hoover, J. H. (2000). Correlates of Bullying and Victimization among Intermediate Students in the Midwestern. USA: Sage Publication

Swearer, S. M. (Ed.). (2010). Assessment of bullying/victimization: The problem of comparability across studies and across methodologies. New York: Routledge/Taylor & Francis Group

Riauskina, I.I., Djuwita, R., dan Soesetio, S.R. (2005). “Gencet-gencetan” dimata siswa/siswi kelas 1 SMA: Naskah kognitif tentang arti, scenario, dan dampak “gencet-gencetan”. Jurnal Psikologi Sosial, 12(01), 1-13.