ISSN 2477-1686

Vol.5 No. 17 September 2019  

Lingkungan Sekolah Sebagai Penyebab Terjadinya Bullying  

Oleh

Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara

 

Fenomena Bullying di Sekolah

Maraknya terjadi kasus-kasus kekerasan pada anak dan pelajar membuat hal tersebut menjadi perhatian khusus bagi orang tua, guru, serta pemerhati perlindungan anak. Kasus kekerasan yang paling banyak dibicarakan adalah kasus kekerasan dalam bentuk bullying. Bullying didefinisikan sebagai sikap mengejek, menghina, mengancam, memukul, mencuri, dan serangan langsung yang dilakukan oleh seorang atau lebih terhadap korban (Yusuf, & Fahruddin, 2012 dalam Lestari, 2016). Bullying adalah kasus yang bisa terjadi dimana saja, baik di lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat. Pada kehidupan saat ini, bullying sering ditemukan di lingkungan sekolah, yang dimana sekolah seharusnya menjadi tempat siswa untuk menimba ilmu.

 

Perilaku bullying yang dilakukan oleh pelajar merupakan perilaku yang cukup banyak kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya seperti mengejek, mencemooh, dan bahkan mendorong, memukul serta penggunaan tindak kekerasan lainnya. Bagi pelaku bullying, hal seperti itu merupakan hal yang menyenangkan dirinya dan dapat memuaskan perasaannya, dan sebagai bentuk penunjukan eksistensi bahwa ia memiliki kekuasaan di sekolah. Namun bagi korban, perilaku bullying sangat tidak menyenangkan dan menggangu kehidupan mereka, bukan hanya kehidupan di sekolah namun juga pada kehidupan di luar sekolah. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa korban akan mengalami trauma akibat perilaku bullying yang ia terima sehingga muncul keengganan untuk kembali ke sekolah.

 

Dalam hal yang lain, sekolah merupakan tempat yang kurang terjangkau untuk diawasi oleh orang tua. Sehingga pelajar merasa akan lebih leluasa untuk melakukan perilaku bullying tanpa perlu takut perilakunya akan diketahui oleh orang tua mereka. Kebanyakan perilaku bullying dilakukan oleh siswa yang lebih tua dan dilakukan kepada adik kelas atau siswa yang lebih muda dari pelaku, atau yang lebih dikenal dengan istilah senioritas. Para senior merasa bahwa mereka memegang kekuasaan di sekolah dan adik kelas harus menghormati mereka. Mereka akan melakukan bullying ini dengan alasan bahwa adik kelasnya juga harus merasakan apa yang dulu pernah mereka rasakan dari seniornya. Mereka melakukan bullying tersebut kepada adik kelas yang dianggap lemah dan tidak bisa melawan perilaku mereka, karena mereka juga tahu bahwa korban tidak akan melaporkan perilaku tersebut kepada guru.

KPAI menemukan angka bahwa anak yang menjadi korban bullying di lingkungan sekolah sebesar (87.6%). Dari angka (87.6%) tersebut, (29.9%) kasus bullying dilakukan oleh guru, (42.1%) dilakukan oleh teman sekelas, dan (28.0%) dilakukan oleh teman lain kelas (Nauli, F. A., Novayelinda, R., & Putri, H. N., 2012). Data di atas dapat membuktikan bahwa sekolah menjadi penyumbang terbesar terhadap perilaku bullying. Data juga menunjukkan bahwa tindakan bullying juga dilakukan oleh guru, yang seharusnya mereka menjadi contoh bagi siswana. Jika guru saja melakukan aksi bullying, maka tidak menutup kemungkinan bahwa pelajar akan melakukan perilaku bullying karena mereka meilhat perilaku yang ditunjukkan oleh guru. Satu hal yang dapat terjadi adalah pelajar akan menganggap bahwa bullying menjadi suatu perilaku yang wajar dan tidak berbahaya bila dilakukan kepada temannya. Dan disatu sisi juga, pelajar akan menjadikan gurunya sebagai alasan jika ia ketahuan melakukan perilaku bullying kepada temannya, ia akan mengatakan bahwa ia meniru perilaku tersebut dari gurunya.

 

Faktor Penyebab Terjadinya Bullying di Sekolah

Selain faktor yang sudah dijabarkan diatas, ada beberapa faktor lain yang bisa menyebabkan bullying dapat terjadi di lingkungan sekolah. Faktor yang pertama adalah iklim sekolah. Jika iklim sekolah positif maka semakin rendah potensi bullying akan terjadi, namun jika iklim sekolah negatif maka semakin tinggi pula potensi perilaku bullying terjadi. Kondisi sekolah yang tidak mendukung kenyamanan pelajar di sekolah memungkinkan bullying terjadi. Seperti pengawasan guru yang tidak menyeluruh saat jam kosong atau istirahat, guru yang tidak peduli atau menjadi pelaku bullying, siswa lain yang tidak peduli terhadap bullying dan tidak melaporkan kepada guru jika melihat terjadinya bullying, serta minimnya informasi mengenai bahaya perilaku bullying di sekolah yang dapat menyebabkan bullying terjadi.

 

Faktor kedua berasal lingkungan kelompok teman sebaya. Kelompok teman sebaya dapat mempengaruhi terjadinya perilaku bullying. Jika seorang pelajar berteman atau bergaul dengan anak-anak yang memiliki masalah dalam lingkungan sekolahnya dan berperilaku tidak sopan, maka pelajar tersebut dapat terpengaruh untuk melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan temannya tersebut (Benitez, & Justicia dalam Usman, 2006). Anak akan lebih berani melakukan sesuatu yang negatif jika mereka memiliki teman yang mau melakukan hal yang sama dengan mereka. Karena jika mereka ketahuan, mereka tidak akan sendiri dalam menerima hukumannya termasuk dalam melakukan perilaku bullying, dimana tindakan bullying lebih sering dilakukan secara berkelompok daripada individu dan yang banyak menjadi korban adalah individu.

Faktor ketiga adalah perhatian pihak sekolah terhadap bullying yang terjadi di lingkungan sekolah. Cukup banyak sekolah yang mengabaikan perilaku bullying sehingga menjadi satu kekuatan yang cukup untuk pelajar melancarkan perilaku bullying. Hal ini juga didukung dengan rendahnya pengawasan dari pihak sekolah mengenai bullying yang terjadi dilingkungan sekolah, sehingga pihak sekolah juga sulit untuk melakukan tindakan pencegahan bullying maupun hukuman kepada pelaku bullying. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Tumon (2014) didapatkan bahwa dari 188 siswa, 76,6% mengatakan pihak sekolah tidak mengetahui adanya bullying, dan 62,8% mengatakan sekalipun pihak sekolah mengetahui namun mereka tidak melakukan sanksi apapun (Auli, R., & Fithria., 2016). Dari hasil penelitian di atas dapat dikatakan bahwa jika pihak sekolah juga lemah dalam memberikan sanksi kepada pelaku bullying, karena hal tersebut pelaku bullying dapat dengan mudah menyebarluaskan perilakunya di lingkungan sekolah.

 

Faktor terakhir adalah lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah dimana guru berbuat kasar kepada siswanya menyebabkan kegiatan belajar menjadi tidak menyenangkan dan efektif, peraturan dan kebijakan yang tidak konsisten atau peraturan dan kebijakan yang terlalu ketat membuat pelajar ingin melanggar peraturan tersebut, serta guru yang tidak memperhatikan pergaulan yang dilakukan siswanya selama di sekolah (Masitah, & Minauli, I., 2012). Perilaku bullying bisa terjadi di sekolah dengan lingkungan yang kurang pengawasan, lemah terhadap peraturan dan sanksi, dan pejabat sekolah yang tidak peduli terhadap bullying yang terjadi di sekolah. Pelajar akan merasa perilaku bullying menjadi hal yang biasa terjadi. Maka jika lingkungan sekolah tidak memberikan kondisi yang menyatakan bahwa bullying adalah tindakan berbahaya atau tidak adanya aksi nyata dari pihak sekolah, maka bullying akan terus berkembang dan menjadi semakin parah di lingkungan sekolah.

 

Pencegahan Bullying di Sekolah

Dari berbagai faktor yang telah dijelaskan di atas, dapat dikatakan bahwa sekolah menjadi salah satu bagian penyumbang terhadap terjadinya tindakan bullying di kalangan pelajar. Jika dari keempat faktor tersebut kita tidak melakukan perubahan apapun, maka perilaku bullying tetap bisa berkembang dan semakin besar kemungkinannya terjadi di lingkungan sekolah. Pihak sekolah juga merupakan pihak yang penting untuk memberikan sumbangsih terhadap pencegahan dari perilaku bullying setelah orang tua dan keluarga, sehingga jika pihak sekolah saja lemah dan terkesan tidak peduli serta menunda-nunda dalam menangani permasalahan ini, maka tidak menutup kemungkinan bullying akan menjadi tradisi dan kegiatan wajib tahun ke tahun oleh pelajar di dalam lingkungan sekolah.

 

Bullying dapat terjadi jika terdapat celah untuk melakukan tindakan bullying. Namun bila kita menutup celah tersebut atau mengurangi celah tersebut, maka perilaku bullying tidak akan terjadi atau seminimal mungkin frekuensi terjadinya di lingkungan sekolah akan menurun. Hanya dengan memberikan perhatian kecil kepada pelajar atas setiap perilaku yang mereka lakukan atau perhatian yang mereka harapkan dari kita, maka celah-celah tersebut dapat berkurang sedikit demi sedikit.

 

 

Referensi:

 

Auli, R., & Fithria. (2016). Faktor -faktor yang berhubungan dengan perilaku bullying. Idea Nursing Journal, 7(3), 9-17. Diambil darihttp://www.jumal.unsyiah.ac.id/INJ/artide/view/6440

 

Lestari, M. A. (2016). Analisis faktor- faktor penyebab bullying dikalangan peserta didik. SOSIO DIDAKTIKA: Social Science Education Journal, 3(2), 148-157. doi:10.15408/sd

 

Nauli, F. A., Novayelinda, R., & Putri, H. N. (2015). Faktor- faktor yang

 

berhubungan dengan perilaku bullying pada remaja. Jurnal Online Mahasiswa Universitas Riau, 2(2), 1149 - 1159. Diambil darihttps://media.neliti.com/media/publications/187389

 

Usman, I. (2013). Kepribadian, komunikasi, kelompok teman sebaya, iklim sekolah dan perilaku bullying. HUMANITAS: Indonesian Psychological Journal, 10(1), 50-60. doi:10.26555/humanitas.v10i1.328