Keluarga yang Normal, yang Bagaimana?

 

Oleh

Melok Roro Kinanthi

Fakultas Psikologi Universitas YARSI

 

Anda, yang mengalami era delapan puluhan, mungkin masih ingat dengan cerita keluarga Pak Sukri dalam sinetron Rumah Masa Depan yang ditayangkan Televisi Republik Indonesia (TVRI)? Keluarga yang terdiri dari Pak Sukri, Bu Sukri, dengan sepasang anak laki dan perempuan (Bayu dan Gerhana) ini, dikisahkan sebagai keluarga harmonis yang tinggal di desa Cibeureum, Cianjur, yang sejuk dan damai. Bersama mereka, juga tinggal tokoh kakek dan nenek.  Sinetron TVRI lainnya yang menjadikan keluarga sebagai tokoh sentral adalah Keluarga Marlia Hardi. Serial ini menceritakan kehidupan sehari-hari sebuah keluarga harmonis yang terdiri dari ayah, ibu, dengan tiga anak bernama Didu, Kiki, dan Ruri, serta seorang pembantu rumah tangga bernama Bi Supi. Kita juga mengenal kisah Keluarga Cemara, yang terdiri dari abah, emak, dan tiga orang anak perempuan. Dalam setting urban yang lebih modern, Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) pernah menayangkan serial keluarga Harmoni, yang diperankan Sena Utoyo (sebagai ayah), Minati Atmanegara (sebagai ibu), dan anak-anaknya (diantaranya diperankan oleh Derry Drajat). Apa kesamaan sinetron-sinetron tersebut? Berbagai sinetron tersebut menampilkan keluarga dengan struktur dan peran tradisional yang sangat lazim di masa itu: keluarga utuh yang terdiri dari ayah dan ibu yang menikah secara sah di mata hukum Negara dan agama, yang kemudian menghasilkan dan membesarkan anak-anak kandung. Tokoh ayah digambarkan sebagai pemimpin keluarga yang bijaksana, yang berperan sebagai pencari nafkah bagi keluarga. Sementara, tokoh ibu merupakan sosok keibuan yang penuh welas asih dan sabar, yang berperan mengelola urusan domestik. Apakah para keluarga harmonis itu mengalami konflik? Tentu saja, namun selalu dapat diselesaikan dengan dialog manis di meja makan.

 

Definisi Keluarga ‘Normal’ yang Dinamis

Potret keluarga dalam sinetron-sinetron di atas merupakan cerminan dari ‘keluarga normal’ pada masanya. Walsh (2012) menyatakan definisi normal yang dilekatkan pada keluarga, umumnya merupakan hasil konstruksi sosial, yang dibangun oleh kelompok yang dominan (mayoritas) dalam lingkungan tersebut. Gambaran keluarga yang ditampilkan oleh sinetron-sinetron era lampau lekat dengan citra keluarga yang ingin dibangun oleh pemerintah Orde Baru, yang diidealkan dalam konsep Nilai Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera atau popular disingkat NKKBS: keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dua atau lebih anak, senantiasa harmonis dan happily ever after. Hal tersebut menjadi patokan dalam membuat definisi keluarga normal. Sayangnya, menurut Walsh (2012), definisi normal cenderung digunakan untuk mem-patologi-kan keluarga yang tidak memenuhi standar yang berlaku di lingkungannya.

 

Seiring dengan perkembangan jaman, serta semakin beragam dan kompleksnya dinamika keluarga, definisi keluarga normal (seharusnya) juga mengalami perubahan. Potret keluarga yang ditampilkan dalam film pada dekade dua ribuan, tidak melulu menampilkan apa yang dianggap ideal di masa lampau. Film Lovely Man yang dibuat oleh sutradara Teddy Soeriatmaja, misalnya, menceritakan tentang sosok ayah yang merupakan seorang banci. Ia mungkin bukan gambaran ayah yang ideal seperti era pak Sukri: meninggalkan anaknya di usia balita, lalu mencuri uang supaya bisa operasi kelamin demi menikah dengan seorang pria. Potret keluarga yang tercerai berai, dimana ayah dan ibu berpisah karena perselingkuhan, tergambar dengan apik dalam film Kata Maaf Terakhir yang diperankan oleh Tio Pakusadewo dan Maia Estianty. Konflik keluarga yang terjadi dalam kedua film tersebut bukan konflik ‘sederhana’ yang bisa diselesaikan hanya dengan mengobrol di meja makan seperti dalam sinetron-sinetron jaman dulu, melainkan konflik yang panjang (bertahun-tahun), rumit, serta melibatkan gejolak emosi yang dalam.

Jika dahulu keluarga yang dianggap ‘normal’ terdiri dari ayah yang bekerja di luar rumah dan ibu yang mengurus rumah tangga, kini kita dapat menemui banyak keluarga yang tidak mengemban peran tradisional tersebut. Sejumlah penelitian di Indonesia telah memotret fenomena keluarga dual career atau dual earner (misalnya Rahmatika & Handayani, 2012; Hidayati, 2016; Luthfia & Kinanthi, 2016; Hendrayu, Kinanthi, & Brebahama, 2017), dimana  istri/ibu secara aktif turut bekerja di luar rumah, baik karena alasan ekonomi maupun aktualisasi diri. Fenomena bapak rumah tangga atau stay at home dad  (salah satunya tergambar dalam penelitian Widhiastuti & Nugraha, 2013) juga semakin lumrah di Indonesia. Lantas, apakah keluarga yang demikian dianggap tidak normal hanya karena tidak memenuhi standar yang berlaku pada suatu masa?

 

Keluarga Normal, yang Seperti Apa?

Walsh (2012) mengakui sulitnya mendefinisikan ‘keluarga normal’.  Bukan hanya perkembangan keluarga yang dinamis dari masa ke masa, namun juga karena definisi normal amat dipengaruhi oleh subyektivitas lingkungan/kelompok sosial. Meski begitu, setidaknya ada empat acuan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan ‘keluarga normal’.

Keluarga normal dapat didefinisikan sebagai keluarga yang bebas dari masalah (Walsh, 2012). Keluarga yang tidak mengalami stres atau tidak mengalami konflik yang serius merupakan contoh keluarga normal menurut definisi ini. Definisi dari sudut pandang klinis ini memiliki keterbatasan: ia hanya bertumpu pada absennya ciri patologis dan fokus pada atribut negatif (simtom distres, tingkat keparahan masalah, dan sejenisnya). Padahal, tidak ada keluarga yang bebas dari masalah atau stres, bahkan keluarga yang harmonis sekalipun!. Mengingat stres adalah hal yang lumrah dalam kehidupan suatu keluarga, maka definisi lainnya dari keluarga normal adalah ketika mampu menampilkan kesesuaian dengan pola umum atau ekpektasi yang disematkan oleh masyarakat pada keluarga (Walsh, 2012).  Meski demikian, definisi ini juga memiliki keterbatasan, yakni ekspektasi tersebut bersifat subyektif dan berbeda antar budaya.

Keluarga yang normal juga dapat didefinisikan sebagai keluarga yang sehat, artinya memiliki trait atau karakteristik sifat tertentu untuk menjalankan fungsinya dengan optimal. Keluarga yang normal dicirikan dengan menampilkan pola-pola interaksi yang mendukung integrasi keluarga (misalnya peduli, nurturance, melindungi) dan mampu menghadapi situasi sulit (Walsh, 2012). Definisi lainnya, keluarga normal dapat dicirikan dengan keluarga yang kuat. Seperti apa keluarga yang kuat itu? Menurut Setiono (2011), yaitu keluarga yang menunjukkan penghargaan dan kasih sayang, komitmen, komunikasi yang positif, kebersamaan yang menyenangkan, spiritual well being, dan mampu menangani stres secara efektif. Kiranya, definisi yang bertumpu pada karakteristik (trait, kepribadian) positif yang menunjang pertumbuhan keluarga inilah yang mendekati ideal.

 

Referensi

Hendrayu, V., Kinanthi, M.R., & Brebahama, A. (2017). Resiliensi keluarga pada keluarga yang memiliki kedua orang tua bekerja. Schema, 3(2), 104-115.

Hidayati, L. (2016). Model pengasuhan alternatif pada dual-career family pemenuhan kebutuhan asah, asih, dan asuh anak pada keluarga ayah-ibu bekerja di kabupaten Tuban. Jurnal Pendidikan Anak, 2(2), 41-54.

Lutfia, S & Kinanthi, M, R. (2016). Job Stress And Marital Satisfaction Among Husband in Dual-Earner Marriages. Proceedings on Social Science and Humanities, 1

Rahmatika, N, S & Handayani, M, M. (2012). Hubungan antara bentuk strategi coping dengan komitmen perkawinan pada pasangan dewasa madya dual karir. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan, 1(3), 1-8.

Setiono, K. (2011). Psikologi Keluarga. Bandung: Alumni.

Walsh, F. (ed). (2012). Normal Family Process : Growing Diversity and Complexity. New York: The Guilford Press.

Widhiastuti, C., & Nugraha, M.D.Y.H. (2013). Peranan stay at home dad dalam membentuk keluarga sehat dan harmonis. Psibernatika, 6(2), 59-71.

Orde Baru dan Politik Sektarian Setelahnya (2019, 12 Mei). Diakses dari https://tirto.id/kekeluargaan-orde-baru-dan-politik-sektarian-setelahnya-cr4N pada 12 Mei 2019.