ISSN 2477-1686 

   Vol.5 No. 9 Mei 2019

Melatih Optimisme, Sistem Imun Psikologis Pada Manusia

Oleh

Garvin

Program Studi Psikologi, Universitas Bunda Mulia

 

Gangguan psikologis seperti depresi dan kecemasan nampaknya tidak bisa disepelekan. World Health Organization (WHO) mengklaim bahwa sekitar 10% dari populasi dunia mengalami gangguan mental. Tapi, mari kita tidak menyentuh sesuatu yang jauh lebih dulu. Mari kita lihat kehidupan kita sehari-hari. Apakah banyak orang di sekitar anda yang mengalami stres, mengalami kecemasan, atau bahkan mengalami depresi? Baik itu masalah psikologis yang muncul akibat tempat kerja yang kurang kondusif, permasalahan dalam relasi sosial anda, atau masalah keluarga yang tak kunjung usai. Hal-hal tersebut dapat memicu stres dan kecemasan, atau bahkan depresi.

 

Saya ingat sekali ketika saya duduk di bangku SMP, ada dua orang teman saya yang memiliki kejadian memalukan: sama-sama mendapatkan nilai 20 pada ulangan fisika. Keduanya sama-sama dipanggil ke depan kelas oleh guru dan sama-sama merasa malu karena menjadi dua orang yang memiliki nilai terendah dalam pelajaran fisika. Bahkan guru fisika saya sempat mengatakan bahwa mereka terancam tidak naik kelas apabila nilainya tidak segera diperbaiki. Saya yang melihat kejadian itu saja merasa ini gawat! Kedua teman saya itu hanya tertunduk diam.

 

Namun mereka memiliki respon yang bereda setelah kejadian itu. Sebut saja salah satunya bernama Andi, yang setelah itu merasa sangat cemas. Ia langsung terduduk lesu di depan meja. Kepalanya menunduk, suaranya melirih. “Saya sudah tidak punya harapan!” ucapnya putus asa. Ia kemudian meremas kertas ulangannya dan melemparnya ke tempat sampah. Sedangkan teman saya yang satu lagi, sebut saja Budi, menunjukkan respon yang lain. Ia justru menghampiri Andi yang sedang tertunduk lesu dan berkata, “Belum tentu, bagaimana kalau kita belajar dengan lebih giat? Mungkin kita masih bisa mengejar ketertinggalan ini.” Andi tidak menggubris dan pergi begitu saja, dalam keputusasaan. Mengapa Andi dan Budi bisa mengalami satu kejadian yang sama, namun memiliki tanggapan yang berbeda terhadap kejadian buruk itu?

 

Dalam psikologi positif dikenal istilah optimisme, yakni sikap yang memiliki keyakinan atas segala sesuatu dari sudut pandang baik dan menyenangkan, sikap selalu mempunyai harapan baik dalam segala hal. Menurut Seligman (1991), seseorang yang optimis meyakini bahwa kekalahan ataupun kesulitan yang mereka hadapi adalah sementara. Mereka tidak gentar ketika dihadapkan pada situasi buruk. Justru, mereka menganggapnya sebagai tantangan dan berusaha lebih keras lagi (Seligman, 1991). Orang yang optimis akan percaya bahwa masa depan bisa berbeda dengan kondisi negatif yang pernah ditemuinya pada masa lalu (Peterson, 2006).

 

Di sisi lain, Seligman (1991) juga memperkenalkan istilah pesimisme, yakni kecenderungan untuk memandang segala sesuatu dari sisi buruknya saja. Menurut Seligman (1991), orang yang pesimis cenderung menyakini bahwa kejadian buruk akan terus terjadi dalam waktu yang lama, dan merekalah penyebab dari kejadian buruk itu. Orang yang pesimis tidak memikirkan langkah apa yang bisa ia lakukan untuk mengubah kondisi, sebab ia menganggap bahwa kondisi negatif tersebut adalah permanen.

 

Apa yang terjadi pada Andi dan Budi adalah contoh pesimisme dan optimisme. Mari kita lihat Andi, ia menganggap kegagalannya dalam ulangan fisika adalah hal yang permanen. Ia mengatakan bahwa ia sudah tidak memiliki harapan lagi. Sedangkan Budi, ia adalah contoh dari optimisme. Ia tahu bahwa saat ini ia sedang mengalami sebuah kejadian yang tidak menyenangkan, tetapi ia juga tahu bahwa situasi ini bisa diubah apabila ia mau berusaha. Ia pun bangkit dan belajar dengan lebih giat.

 

Sikap pesimis ini, apabila terus dipupuk, tentu akan berbahaya. Pesimisme akan melahirkan apa yang disebut sebagai Martin Seligman sebagai learned helplessness, atau ketidakberdayaan yang dipelajari (Seligman, 1991). Seligman menyadari konsep ini ketika ia melakukan eksperimen terhadap seekor anjing bersama koleganya. Anjing yang pertama, diberi kejutan listrik secara berkala dan kejutan listrik tersebut dapat dihentikan apabila anjing tersebut menekan sebuah tombol dengan hidungnya. Sedangkan anjing yang kedua, diberi kejutan listrik yang sama pula, tetapi tidak ada upaya yang dapat ia lakukan untuk menghentikan kejutan listrik itu.

 

Setelahnya, kedua anjing tersebut dipindahkan ke ruangan baru. Baik anjing pertama dan kedua diberikan kejutan listrik lagi, bedanya kali ini terdapat pagar kecil yang bisa dilompati oleh anjing untuk melarikan diri. Dan di sinilah terjadi sesuatu yang menarik.

 

Apa yang terjadi?

 

Anjing pertama, ketika diberikan kejutan listrik di ruangan yang baru, langsung melompati pagar kecil dan keluar dari ruangan tersebut. Sedangkan anjing kedua, hanya pasrah ketika dikejutkan secara listrik. Ia hanya duduk diam, pasrah. Sekalipun ia tahu bahwa ada pagar yang bisa dilompati untuk melarikan diri, ia tetap duduk pasrah dan terdiam.

 

Anjing yang kedua menunjukkan sikap yang disebut sebagai learned helplessness. Ia merasa tidak berdaya, tidak mampu menyelamatkan dirinya. Sedangkan anjing yang partama menunjukkan sikap learned optimism, ia tahu bahwa ia mampu menyelamatkan dirinya, ia melompati pagar.

 

Apa kaitannya dengan stres, kecemasan, dan depresi?

 

Seligman (1991) menyatakan bahwa depresi adalah bentuk yang serupa dengan learned helplessness, yakni kondisi seseorang sudah merasa menyerah dengan situasi buruk yang ia hadapi. Orang yang depresi menganggap hidupnya tidak bernilai lagi, bahwa ia tidak lagi memiliki harapan untuk melanjutkan hidupnya, bahkan sampai menganggap bahwa mengakhiri hidup merupakan jalan keluar. Bila gejala tersebut merupakan bentuk ketidakberdayaan, lalu dari mana ketidakberdayaan itu dipelajari? Jawabannya adalah dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Ketika seseorang terus mengalami masalah dan menyikapinya secara pesimis, imaka kondisinya akan terus terpuruk. Kemudian ia akan menganggap bahwa ia tidak berdaya lagi.

 

Oleh karena itu, Seligman (1991) menyarankan agar kita senantiasa mengembangkan sikap optimisme. Seseorang yang optimis akan lebih terlindungi dari berbagai permasalahan psikologis seperti stres, kecemasan, atau depresi. Mereka tahu bahwa permasalahan yang mereka alami bukanlah akhir dari segalanya, dan oleh sebab itulah mereka berusaha untuk keluar dari masalah itu. Dan kabar baiknya, setiap seseorang berhasil keluar dari satu masalah, optimisme yang dimilikinya akan meningkat. Inilah optimisme yang dipelajari (learned optimisme), sebuah “sistem imun psikologis” manusia dalam menghadapi stres, kecemasan, dan depresi.

 

Lantas, bagaimana caranya mengembangkan optimisme?

 

Pertama, dengan memiliki pandangan bahwa masalah adalah hal yang sementara. Seligman (1991) mengemukakan bahwa seseorang merasa tidak berdaya karena ia menganggap masalah yang terjadi adalah permanen. Ini tentu pandangan yang pesimis. Brahm (2015), salah seorang tokoh spiritual dunia, menyatakan bahwa semua masalah pasti memiliki akhir. Ini adalah pemikiran yang optimis. Alih-alih memikirkan bahwa hidup kita dihancurkan oleh masalah, lebih baik kita memikirkan bahwa tingkat kedewasaan kita meningkat karena berhasil menghadapi masalah.

 

Kedua, dengan memahami bahwa sebuah masalah memiliki sebab dan akibat yang spesifik. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Manusia cenderung lebih mudah untuk melihat sebuah titik hitam kecil dibandingkan bagian putih yang masih tersisa pada selembar kertas. Pemikiran yang tidak rasional membuat kita melebih-lebihkan kejadian buruk (maximization) dan mengecilkan kejadian baik (minimization). Hal ini membuat kita memandang bahwa dampak dari sebuah kejadian buruk akan meluas. Misalnya, ketika seorang anak mengalami tidak naik kelas; pemikiran yang pesimis membuatnya berpikir bahwa setelah ini orangtuanya akan membencinya, ia akan dijauhi oleh teman-temannya, dan sisa hidupnya akan berantakan karena tinggal kelas. Tentu ini akan menyebabkan kecemasan dan bahkan depresi apabila didiamkan saja. Padahal, dampak dari tidak naik kelas tentu tidak sampai separah itu. Akibat dari sebuah kejadian adalah spesifik, bukan meluas.

 

Ketiga, dengan tidak mengatribusikan kejadian-kejadian buruk secara internal. Maksudnya adalah dengan tidak menganggap semua kejadian buruk terjadi karena ada yang salah dengan diri kita. Pikiran yang pesimis akan selalu menyalahkan diri sendiri atau memandang diri sendiri sebagai penyebab berbagai kejadian buruk. Ketika kejadian yang tidak menyenangkan terjadi, pikiran kita langsung bergerak dengan cepat. Misalnya, ketika kita berpapasan dengan seseorang yang kita kenal dan orang tersebut tidak menyapa kita. Pikiran yang pesimis akan muncul dengan pemikiran:

 

1.    “Dia membenci saya.”

2.    “Saya memang selalu dibenci orang.”

3.    “Saya orang yang tidak berharga di mata orang.”

4.    “Kalau saya lebih kaya, mungkin ia akan lebih menghargai saya.”

5.    Dsb.

 

Dengan kata lain, jangan mempersonalisasikan sebuah masalah. Pikiran-pikiran pesimis seperti itu perlu dengan cepat kita sadari dan kita interupsi dengan pola pemikiran yang lebih optimis (Peterson, 2006), misal:

 

1.    “Dia sedang terburu-buru.”

2.    “Suasana hatinya sedang buruk.”

3.    “Dia sedang memikirkan hal yang lain.”

4.    “Dia tidak melihat saya.”

5.    Dsb.

 

Dengan melatih pola-pola pemikiran seperti itu, maka pikiran kita akan terkondisi untuk optimis.  Sistem “kekebalan atau imun psikologis” kita akan lebih kuat dari berbagai terpaan masalah kehidupan.

 

Maka, sikap mana yang ingin anda kembangkan pada diri anda? Optimisme atau pesimisme? Ingin bahagia atau menderita? Pilihan berada di tangan anda sendiri.

 

Referensi

 

Brahm, A. (2015). Opening the door of your heart. Sydney: Hachette Australia.

Kiken, L.G., & Shook, N.J. (2011). Looking up: Mindfulness increases positive judgments and reduces negativity bias. Social Psychological and Personality Science, 2(4), 425-431.

Malinowski, P., & Lim, H.J. (2015). Mindfulness at work: Positive affect, hope, and optimism mediate the relationship between dispositional mindfulness, work engagement, and well-being. Mindfulness, 6(6), 1250-1262.

Peterson, C. (2006). A primer in positive psychology. NY: Oxford University Press.

Seligman, M. (1990). Learned optimism: How to change your mind and your life. NY: Vintage Books.