ISSN 2477-1686 

   Vol.5 No. 7 April 2019

Faktor Psikologis Financial Technology

 Oleh

Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo

Program Studi Psikologi, Fakultas Humaniora dan Bisnis, Universitas Pembangunan Jaya

 

Berkat kemajuan teknologi, maka transaksi keuangan dapat kita lakukan lewat telpon genggam. Dalam hal ini, Indonesia tak ketinggalan, terbukti dari tercatatnya Indonesia termasuk negara dengan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara (Tribunnew, 2019). Tak heran, 69% populasi Indonesia memiliki telpon genggam.  

Di sisi lain, ternyata baru 48.9% orang dewasa Indonesia memiliki rekening bank, jauh lebih kecil dibandingkan rata-rata dunia yaitu 69% (Tribunnews, 2019). Mereka yang tak punya akses perbankan (dikenal sebagai unbankable) umumnya bekerja di sektor swasta dan mendapat upah tunai. Padahal jika mereka punya akses perbankan, maka mereka berpeluang mendapatkan layanan keuangan yang aman, nyaman dan terjangkau –dengan kata lain, keuangan inklusif (financial inclusion) pun tercapai.  

Apa itu financial inclusion? Financial inclusion merupakan upaya memberi akses, termasuk pada kelompok masyarakat rentan dan kurang beruntung, untuk mendapatkan layanan keuangan seperti tabungan, kredit maupun asuransi. Bank Indonesia (2019) mendorong financial inclusion karena memberi manfaat seperti meningkatkan efisiensi ekonomi, berkontribusi positif pada pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, mengurangi kesenjangan serta mendukung peningkatan Human Development Index (HDI).  

Untuk mengatasi kesenjangan tersebut, ekonomi digital dipandang sebagai salah satu strategi penetrasi, lebih khusus lagi melalui melalui financial techonology (fintech). Apa itu fintech? Fintech adalah layanan keuangan berbasis teknologi informasi, seperti membayar aneka tagihan menggunakan aplikasi di telpon genggam (mobile payment). Demi financial inclusion, Indonesia mendorong fintech dan upaya ini membawa dengan hasil tak mengecewakan.  Menurut laporan Global Financial Inclusion Index (Findex) Bank Dunia, dalam tiga tahun terakhir financial inclusion di Indonesia, terutama pada kelompok perempuan, mencapai kemajuan terpesat di Asia Timur dan Pasifik (Fintechnews Singapore, 2018). Salah satu pintu masuk fintech adalah melalui online peer-to-peer lending (P2P lending).  

Apa itu P2P lending? P2P lending adalah ketika pihak yang butuh dana (borrower) bertemu - di platform digital penyedia layanan jasa keuangan lewat aplikasi di telpon genggam - dengan pihak yang bersedia memberi pinjaman (lender). Maka cara bertele-tele ala industri jasa keuangan konvensional dipangkas oleh kemajuan teknologi, hal yang menghembuskan angin segar pada financial inclusion (Tempo.co, 2018). Menyitir laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Zulkifli (2019) memproyeksi pertumbuhan fintech dengan angka fantastis: 800%. Di sisi lain, terdapat tantangan tersendiri, tercermin dari 1.330 pengaduan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) akhir November 2018 dari mereka-mereka yang berkasus dengan P2P lending ilegal, antara lain bunga pinjaman mencekik, intimidasi saat penagihan utang dan penyebarluasan data pribadi (Fernando, 2018).  

Menghadapi fenomena ini, psikologi sejatinya punya peran berarti – sebagaimana tercermin dari rangkuman penelitian-penelitian berikut. Terkait pemberian pinjaman microfinancing (diberikan dalam jumlah kecil pada pelaku bisnis kecil), perilaku prososial (prosocial behavior) disimpulkan berpengaruh (Galak, Small & Stephen, 2011). Penelitian Wang (2015) juga Yang dan Lee (2016) tentang fintech menyimpulkan kepercayaan (trust) sebagai faktor psikologis penentu keputusan lenders memberi dana pada borrower. Duarte, Siegel dan Young (2012) menyimpulkan bahwa penampilan yang tampak terpercaya (trustworthy appearance) mampu memprediksi pemberian kredit. Lebih jauh lagi, Matugorn dan Zhihong (2017) menyimpulkan karakteristik pribadi seperti gender, kedekatan jarak psikologis (proximity) dan latar belakang pekerjaan menjadi penentu.  

Sayangnya, sebagaimana dapat ditelisik di Referensi, penelitian-penelitian yang semuanya mengerucut pada faktor-faktor psikologis justru tidak datang dari bidang Psikologi; apalagi dengan konteks Indonesia. Mengingat pesatnya perkembangan fintech di Indonesia, maka para praktisi dan ilmuwan Psikologi perlu terjun ke bidang ini agar tidak ketinggalan.  

Referensi

Bank Indonesia (2019). Keuangan inklusif: Apa, mengapa, bagaimana dan siapa. Diakses darihttps://www.bi.go.id/id/perbankan/keuanganinklusif/Indonesia/Contents/Default.aspx

DetikNews, 27 Desember dan diakses dari https://news.detik.com/kolom/d 4361041/menyongsong-babak-baru-peer-to-peer-lending

Duarte, J.; Siegel, S. & Young, L. (2012). Trust and credit: The role of appearance in peer-to-peer lending. The Review of Financial Studies 25, 8, 2455-2483. Diakses dari  https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1343275

Fernando, N. (2018). Menyongson babak baru “peer to peer lending.” Dimuat dalam Fintechnews Singapore (2018). World bank global findex: Indonesia leads in financial inclusion progress. Dipublikasikan 20 April dan diakses dari http://fintechnews.sg/19095/indonesia/world-bank-global-findex-financial-inclusion-unbanked/

Galak, J. Small, D. & Stephen, A.T. (2011). Microfinance decision making: A field study of prosocial lending. Journal of Marketing Research, 48, 130-137. Diakses dari https://pinnacle.allenpress.com/doi/10.1509/jmkr.48.SPL.S130

Matugorn, L. & Zhihong, L. (2017). The impact of personal characteristics on lenders’ trus in online P2P lending Journal of Business and Management 19 , 11, 48-54. Diakses dari http://www.iosrjournals.org/iosr-jbm/papers/Vol19-issue11/Version-7/H1911074854.pdf

Tempo.co (2018). Mengulik kemudahan dan risiko fintech peer to peer lending. Dipublikasikan 24 November dan diakses dari https://nasional.tempo.co/read/1149294/mengulik-kemudahan-dan-risiko-fintech-peer-to-peer-lending/full&view=ok

Tribunnews (2019). Membantu fintech di Indonesia mengakselerasi keuangan inklusif. Dipublikasikan 17 Januari dan diakses dari http://www.tribunnews.com/techno/2019/01/17/membantu-fintech-di-indonesia-mengakselerasi-keuangan-inklusif

Wang, P. et al (2015). Exploring the critical factors influencing online lending intentions. Financial Innovation 1, 8 Diakses dari https://link.springer.com/article/10.1186/s40854-015-0010-9

Yang, Q. & Lee, Y-C (2019). Critical factors of the lending intention of online P2P: moderating role of perceived benefit. Dipublikasikan dalam Proceedings of the 18th Annual International Conference on Electronic Commerce: e-Commerce in Smart Connected World dan diakses dari https://dl.acm.org/citation.cfm?id=2971618

Zulkifli, A. (2019). 2019, Penentu arah keberlangsungan fintech Indonesia. Dipublikasikan di

Berita Satu, 8 Februari dan diakses dari https://id.beritasatu.com/home/2019-penentu-arah-keberlangsungan-fintech-indonesia/185235