ISSN 2477-1686

 Vol.5 No. 2 Januari 2019

Kami Bahagia Dengan atau Tanpa Buah Hati

(Perkawinan Terhormat, Bahagia, dan Kekal)

Oleh

Yuarini Wahyu Pertiwi

Fakultas Psikologi, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Pasangan suami-istri, pada umumnya, ingin memiliki keluarga kecil utuh, keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan anak  (Goode, 2004) Tidak dipungkiri memiliki buah hati merupakan harapan setiap pasangan perkawinan, karena anak mempunyai banyak arti serta fungsi bagi keluarga  (Koentjaraningrat, 2009) Berdasarkan hal itu, muncul pertanyaan “apakah kebahagiaan perkawinan berkaitan dengan kehadiran keturunan?”. Menurut survey tahun 2015 yang dirilis Care.com dan Yahoo Parenting, kebahagiaan perkawinan tanpa buah hati lebih tinggi daripada perkawinan dengan memiliki buah hati  (Setiawan, 2015) Pada hal ini, diketahui bahwa ketidakhadiran buah hati di kehidupan perkawinan bukan menjadi alasan pasangan menjadi tidak bahagia, karena mereka tetap mempertahankan keharmonisan rumah tangga  (Yani, 2018) Sebaliknya, hasil penelitian  (Mardiyan & Kustanti, 2016) menyimpulkan bahwa ketidakhadiran anak memengaruhi kebahagian perkawinan dimana muncul perasaan sedih, kesepian, ketidaknyamanan dan kejenuhan dalam perkawinan.

Ada beberapa kasus perkawinan tanpa buah hati yang berusia belasan tahun namun bisa bertahan dan tidak melakukan adopsi, sebaliknya, ada juga pasangan yang memiliki buah hati namun belum sesuai dengan harapan, buah hati dalam jumlah yang banyak sehingga memengaruhi kondisi ekonomi mereka ataupun hal lain, dan sebagainya, meski demikian para pasangan tersebut tetap berbahagia dan bertahan menjalankan bahtera rumah tangga dengan nyaman, aman dan tenteram. Menilik teori triangular of love dari  (Steinberg & Barnes, 1988) dijelaskan bahwa komponen dari cinta adalah Intimacy, Passion, dan Commitment. Berkaitan teori tersebut, perjalanan kehidupan perkawinan tentu perlu dilandasi cinta, dimana dengan adanya cinta tentu pasangan secara otomatis melandasi perilakunya dengan tiga komponen: pertama, keintiman yaitu merasa dekat dan terikat sehingga pasangan saling terbuka, hangat dan saling percaya. Kedua, hasrat yaitu hal yang mengarah kepada sisi romantisme guna menjaga hubungan pasangan baik kedekatan fisik dan psikis. Ketiga, komitmen yaitu keputusan untuk mencintai pasangan dan mempertahankan cinta tersebut. 

Pada satu sisi, perkawinan tanpa buah hati, kondisi intim yang baik menjadikan pasangan saling terbuka akan kondisi dan saling support dalam berusaha memperoleh buah hati serta tetap memiliki kehangatan maupun rasa percaya terhadap pasangan. Selain itu dengan mempertahankan hasrat terhadap pasangan maka pasangan saling berusaha memunculkan sisi romantisme demi tumbuh berkembangnya kedekatan baik melalui sentuhan fisik maupun memupuk batin, yaitu dengan tetap menjadi seperti manusia dan bukan menjadi setan atau malaikat dimana dengan menjadi manusia pasangan tidak akan saling berbuat jahat ataupun mengalah dan bertahan berusaha menjadi baik meski tersakiti. Tujuannya yaitu untuk menjadi apa adanya dan terus saling melengkapi. Kedua hal tersebut tentu terkait dengan komitmen, yaitu adanya keputusan untuk selalu mencintai pasangan dan mempertahankan cinta dengan sering merasa jatuh cinta kepada pasangan tanpa merasa bosan meskipun dalam kehidupan perkawinan hanya berdua.

Pada sisi lain, kehidupan perkawinan dengan buah hati juga perlu menjaga keintiman agar bisa saling memahami peran sebagai ayah dan ibu serta saling dukung dalam rumah tangga sehingga tidak muncul siapa yang paling berhak ataupun yang paling bertanggung jawab. Pasangan juga perlu menjaga hasrat karena meski lelah dengan peran yang bertambah dan perubahan-perubahan yang menyulut amarah, diharapkan pasangan terus mempertahankan sisi romantis dengan menjaga kualitas sentuhan fisik dan bukan kuantitas, serta menjaga perasaan satu sama lain dengan menjadi pendengar yang baik. Apabila komitmen terbentuk dengan baik, pasangan tumbuh bersama menjadi orang tua yang baik dengan melaksanakan peran secara tepat. Sehingga ketika terjadi perubahan eksternal baik finansial, waktu, dan hal lain tidak akan menjadi pengaruh fatal.

Seyogyanya, kehidupan perkawinan dibangun dengan terhormat, bahagia dan kekal. Keputusan menikah bukan hal mudah meski tidak sulit, namun status kehidupan perkawinan haruslah terhormat karena janji suci perkawinan ditetapkan di hadapan Tuhan YME sehingga setiap langkah dalam kehidupan perkawinan tidak hanya dilandasi sisi manusia atau duniawi saja. Perkawinan juga wajib bahagia, dan hanya bisa tumbuh dalam kebersamaan pasangan dimana satu sama lain saling terbuka dan mendukung serta bukan saling bersembunyi dan berkompetisi. Selanjutnya, hendaknya perjalanan kehidupan perkawinan bersifat kekal, dimana ketika sudah memilih pasangan maka yakin adalah yang terbaik dan tetap menerima bagaimanapun keadaannya. Sehingga meski ada kondisi tertentu yang membolehkan meninggalkan pasangan tentunya hal ini tidak menjadi pengaruh pada diri masing-masing pasangan. Utamanya, perkawinan dilandasi dengan niat ibadah sehingga ketika tidak dikaruniai buah hati, pasangan tidak saling menyalahkan, membenci dan meninggalkan. Sebaliknya, ketika dikaruniai buah hati dan terjadi kondisi di luar harapan maupun adanya perubahan yang signifikan dalam rumah tangga maka perlu dipegang teguh kewajiban sebagai orang tua terhadap titipan Tuhan YME, yaitu buah hati.

Referensi

Goode, W. (2004). Sosiologi keluarga. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Koentjaraningrat. (2009). Pengantar ilmu antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Mardiyan, R., & Kustanti, E. (2016, Agustus). Kepuasan pernikahan pada pasangan yang belum memiliki keturunan. Empati, 5.

Setiawan, S. (2015, Mei 27). Pasangan tanpa keturunan lebih bahagia, benarkah? Retrieved Januari 11, 2019, from Kompas.com: https://lifestyle.kompas.com/read/2015/05/27/202000520/Pasangan.Tanpa.Keturunan.Lebih.Bahagia.Benarkah.

Steinberg, R., & Barnes, M. (1988). The psychology of love. New Have: Yale University Press.

Yani, I. (2018). Harmonisasi keluarga pasangan suami-istri. JOM Fisip, 5.