ISSN 2477-1686

 

                                                                                       Vol.4. No.22 November 2018

Weaning With Love : Menyapih dengan Cinta

Implementasi Teori Psikososial Erik Erikson

 

Oleh:

Sarita Candra Merida

Fakultas Psikologi, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

 

Apa itu Weaning With Love ?

Sebelumnya kita pahami terlebih dahulu menyapih adalah menghentikan proses menyusui. Menghentikan proses menyusui tidak seperti menghentikan proses makan dan minum selayaknya kita sudah kenyang. Mengingat dalam proses menyusui banyak muatan emosi terutama emosi positif antara ibu dan anak. Selama proses menyusui, hormon oksitosin berperan cukup besar. Hormon oksitosi atau biasa dikenal dengan hormon cinta atau kasih sayang. Saat menyusui, tubuh seorang ibu akan menghasilkan hormon oksitosin. Hormon oksitosin ini menyebabkan otot otot kecil yang ada di sekitar payudara memeras susu melalui kelenjar air susu. Kelenjar air susu ini akan membantu jalan keluar air susu ke dalam mulut bayi. Jika bayi mendapatkan susu dari ibunya, akan menimbulkan perasaan senang, aman, nyaman karenan kebutuhannya terpenuhi.

Saat menyusui kita penuh dengan cinta, dalam menghentikan proses menyusui pun harus diiringi dengan cinta dan kasih sayang sehingga muncul istilan weaning with love atau menyapih dengan cinta. Menyapih dengan cinta dan kasih sayang menghentikan proses menyusui dengan memberikan rasa nyaman antara ibu dan bayi. Seperti artikel yang ditulis (AIMI, 2008) bahwa sesungguhnya menyapih adalah bukanlah melepaskan bonding atau ikatan ibu dengan anak melainkan membentuk bonding dengan cara berbeda. Maka dari itu, agar bonding itu tetap bisa terjaga antara ibu dan anak perasaan nyaman inilah yang harus dipelihara.

 

Keterkaitan dengan Psikosial Erik Erikson

Pada saat awal kehidupan seorang anak yaitu saat bayi baru lahir, menurut teori Erik Erikson dalam Santrock (2012) pada tahap ini, bayi berada pada tahap perkembangan kepercayaan versus ketidakpercayaa atau lebih dikenal dengan trust vs mistrust. Pada masa bayi, kepercayaan akan menentukan landasan bagi ekspektasi seumur hidup bahwa dunia akan menjadi tempat tinggal yang baik dan menyenangkan. Bagaimana seorang bayi yang baru lahir mengetahui dunia  itu aman bagi dirinya ? Salah satunya lewat proses menyusui. Saat bayi merasa lapar, haus mereka hanya bisa menangis sekencang-kencangnya berharap dengan tangisannya, mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Jika saat bayi menangis, seorang ibu lalu menyusuinya kemudian mendekapnya dengan penuh kasih sayang saat menyusui, bayi tersebut akan mengembangkan rasa percaya. Setelah itu Ibu akan menimangnya perasaan percaya pun akan muncul. Erikson berpendapat bahwa bayi mempelajari rasa percaya lewat pengasuhan secara konsisten dan hangat.

 

Usia 1-3 tahun setelah mereka mendapatkan kepercayaan dari pengasuhnya, mereka mulai menyatakan rasa kemandirian dan otonominya. Pada rentang inilah, tahap menyapih dimulai. Pada tahap ini, terdapat keterkaitan yang jelas bahwa alasan World Health Organization (WHO) dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menganjurkan untuk menyapih anak pada usia 2 tahun. Hakikatnya pada usia 2 tahun anak mulai mengembangkan kemandiriannya dengan asumsi mereka sudah memperoleh kepercayaan dasar dari proses menyusui yang telah dijalaninya.

 

Erikson dalam Santrock (2012) mengatakan bahwa rasa percaya versus tidak percaya muncul lagi dalam tahap perkembangan selanjutnya. Seorang anak yang pada masa bayi dapat mengembangkan rasa percaya, pada tahap selanjutnya belum tentu rasa percaya itu dapat dibangun kembali. Dapat dibayangkan jika saat proses menyapih seperti mitos yang berkembang di masyarakat diberikan jamu atau obat yang memberikan rasa tidak enak pada payudara, diberikan lipstik, obat penghilang luka supaya anak tidak mau lagi menyusu pada ibunya, pada saat itu anak akan merasa tertolak oleh ibunya. Tidak hanya itu bahkan anak dititipkan ke rumah nenek atau saudaranya. Proses menyapih itu, seorang anak tidak hanya berpisah dengan payudara ibunya. Saat menyusui, seorang anak bisa lebih dekat dengan ibunya karena dapat didekap dan diberikan sebuah pelukan oleh ibunya. Hal itulah salah satunya yang membuat anak itu nyaman. Bisa dibayangkan saat seorang anak harus tinggal bersama orang lain, berpisah dengan ibunya sudah menyakitkan apalagi harus menyesuaikan dengan lingkungan baru. Hal ini menyebabkan anak juga akan merasa tertolak oleh ibunya sehingga rasa tidak percaya pun akan dikembangkan. Jika seorang anak akan mengembangkan rasa tidak percaya pada tahapan perkembangannya, bagaimana dia akan percaya diri dalam mengambil keputusan.

 

Lain halnya jika proses menyapih itu dikomunikasikan dengan anak dan kita menggantikan bonding menyusui dengan lebih sering beraktivitas bersama seperti bermain bersama, mengerjakan aktivitas di rumah bersama, membacakan buku cerita. Di samping sering memberikan pelukan dan ciuman kepada anak. Dengan seperti itu, akan tetap dapat memelihara rasa percaya yang sudah dibangun saat menyusui. Anak pun menjadi lebih berani dan mandiri dalam bertindak. Seorang anak akan percaya, ketika dirinya melakukan kesalahan ada orangtuanya yang akan membantunya.

 

Referensi:

 

 AIMI (2008, November). Menyapih dengan kasih. Diunduh dari https: //aimi-asi.org/layanan/lihat/menyapih-dengan-kasih/.

 

Santrock, J.W. (2012). Life span development (13 th ed.). Jakarta: Erlangga