ISSN 2477-1686
Vol.4. No.17 September 2018
Amalkan Pancasila: Kita Bhinneka, Kita Indonesia*
Oleh
Eko A Meinarno
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Pendahuluan
Gejala keseharian di sekitar kita tanpa disadari sangat erat dengan hubungan antarkelompok. Kondisi di Jakarta sebagai miniatur Indonesia adalah contoh nyata dari hubungan antarkelompok. Umumnya ibukota negara atau ibukota provinsi menjadi tempat pertemuan banyak kelompok. Namun perilakunya tidak mencerminkan hubungan antarkelompok yang baik. Hubungan antarkelompok di satu pihak menjadi ajang saling kenal dan memungkinkan untuk terjadinya kerja sama yang baik. Kehidupan gotong-royong yang didengungkan ada dalam kehidupan kita adalah salah satu bentuk positif dari kehidupan antarkelompok. Akan tetapi hubungan itu tak selamanya mulus. Ada beberapa atau bahkan banyak situasi dan kondisi yang membuat hubungan tadi terganggu atau bahkan rusak. Namun ada lagi cara pandang lain yang mencoba membahas hubungan antarkelompok dengan merujuk pada bagaimana persepsi individu melihat posisinya dalam kelompok. Sudut pandang ini yang kemudian dikenal sebagai identitas sosial (Tajfel & Turner, 1979).
Jangan Lupakan Konteks
Konteks Indonesia adalah beragam. Keberagaman itu harus diakui rawan perpecahan. Namun di satu sisi keberagaman itu juga mengikat satu sama lain sehingga sistem yang terbangun menjadi rumit dan tidak mudah runtuh. Konteks sosial amat penting untuk memahami perilaku antarkelompok dan bagaimana teori psikologi sosial dapat diterapkan atau menjawab kejadian. Konteks Indonesia secara alami adalah persilangan geografis, geologi, dan kebudayaan maka dapat diasumsikan secara alami juga lebih dapat menerima keberagaman perilaku sosial khususnya dalam kerangka hubungan antarkelompok yakni sejak Sumpah Pemuda 1928 dinyatakan. Saat itu Indonesia yang masih disebut Hindia Belanda dan dibedakan berdasar kelompok etnis (suku bangsa). Melalui Sumpah Pemuda dimulailah era identitas yang “satu”. Identitas-identitas serba “satu” adalah identitas tanah air, sebutan bangsa dan menerima bahasa persatuan yang satu yakni tanah air Indonesia, bangsa Indonesia, dan bahasa persatuan bahasa Indonesia. Walau demikian, kesatuan ini tetap mempunyai warna khas masing-masing etnis.
Sebuah Penelitian Kekinian
Untuk mengetahui dan menggali identitas sosial remaja Indonesia maka penulis melakukan survei kepada para remaja, khususnya mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta (tahun 2016, penelitian yang tidak dipublikasikan). Kepada mereka ditanyakan tentang prioritas identitas sosial yang mereka utamakan dengan cara menuliskan urutan dari yang paling utama hingga yang kurang utama. Adapun pilihan prioritas identitas sosial itu adalah sebagai bangsa Indonesia, sebagai etnisnya, dan menjadi kelompok agamanya.
Hasil penelitian menunjukkan pola partisipan. Pertama, data yang berhasil dikumpulkan adalah 202. Namun setelah dibersihkan maka data yang dapat terolah adalah 147. Gambaran umum terdapat 33 lelaki dan 114 perempuan. rerata usia adalah 18,87 tahun. Kedua, hasil olahan data menunjukkan bahwa prioritas utama adalah identitas Agama 51,7%, yang paling banyak dipilih oleh perempuan 62 (42,18%). Prioritas kedua adalah sebagai bangsa (40,14%). Prioritas ketiga adalah etnis (61,22%). Hal ketiga adalah bagaimana jika urutan yang diharapkan adalah bangsa, agama, dan etnis? Ternyata hanya 36 orang yang mau membuat urutannya demikian.
Hasil ini agak perlu diperhatikan lebih lanjut, karena kecenderungan identitas agama yang dipilih oleh para partisipan sebagai identitas sosial yang paling utama. Bahkan identitas nasional yakni sebagai bangsa Indonesia tidak menjadi prioritas. Ada apa ini? Agama tampaknya dianggap lebih universal. Artinya identitas agama lebih dapat diterima di mana-mana. Misalnya ketika orang bepergian ke tempat lain yang bukan tempat etnisnya sama, ia dapat beribadah di tempat ibadah yang ia yakini. Selama agamanya sama maka ia dapat beribadah. Ketika urutan prioritas urutan identitas yang diharapkan peneliti yakni bangsa, agama, dan etnis hanya diisi oleh 36 orang juga menimbulkan pertanyaan. Padahal dalam Sumpah Pemuda 1928 hanya ada satu kelompok agama yang ikut serta yakni kelompok Islam (http://sumpahpemuda.org/, diunduh 27 Februari 2016).
Mencari Kesamaan dalam Perbedaan
Analogi alam Indonesia yang penuh keragaman hayati dapat diterapkan pada alam sosial Indonesia. Para pendiri bangsa melihat ada pola yang sama pada masyarakat Indonesia. Wujud kepekaan mereka dapat dilihat dari Sumpah Pemuda 1928. Perwujudan “tanah” berikutnya adalah ketika Soekarno dalam rapat BPUPKI mengajukan ide ikatan nasional Indonesia. Ikatan yang disebut sebagai pandangan hidup (lihat Meinarno, 2017). Penulis mencoba untuk lebih membumikannya dalam bentuk yang lebih mudah untuk dipahami dalam kehidupan sehari-hari (tabel 1).
Tabel 1. Pengejawantahan nilai nasional (Pancasila) (lihat Putri & Meinarno, 2016; Meinarno, Putri, 2017).
Nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa
Definisi
Percaya pada Tuhan dan menjalankan perintah-Nya sesuai keyakinan dan tidak memaksakan kepercayaan pada orang lain
Rincian
faithfulness, toleransi pada kelompok yang berbeda keyakinan, spirituality and religiousness
Nilai
Kemanusiaan yang adil dan beradab
Definisi
Mengakui persamaan hak dan kewajiban, sayang pada sesama, menjalin hubungan dengan bangsa lain berdasar sikap saling menghormati
Rincian
respek, fair, courage
Nilai
Persatuan Indonesia
Definisi
Mengutamakan kepentingan bangsa daripada diri/kelompok, cinta tanah air dan bangsa dan mengembangkan rasa persatuan bagi bangsa.
Rincian
loyalitas, kewarganegaraan (memiliki pendirian yang kuat terhadap kewajibannya, setia kawan)
Nilai
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
Definisi
Pengambilan keputusan berdasar musyawarah untuk kepentingan bersama dengan tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, dapat dipertanggungjawabkan dan melaksanakan keputusan yang diambil.
Rincian
Tanggung jawab, harmoni
Nilai
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Definisi
Menjaga keseimbangan hak-kewajiban sosial dengan mawas diri (dalam bentuk kualitas luhur manusia) dan pengembangan diri yang bertujuan untuk memajukan kehidupan sosial.
Rincian
Persahabatan, keadilan dan kerendahatian, menolong
Penutup
Tantangan utama dari Pancasila bukan adanya lawan ideologi (yang itu terlalu jauh dari diri individu). tantangan terbesar adalah kemauan dan kemampuan untuk selrasakan ide dan tingkah laku sesuai dengan nilai yang disepakati. Bukan lagi urusan dia suku bangsa apa atau agama apa atau golongan apa, tapi seberapa diri saya dan lingkungan saya dapat jalankan Pancasila. Ber-Pancasila lekat dengan memahami ada yang beda dan ada yang sama, karena memahaminya maka diri ini adalah orang Indonesia. Indonesia.
* Naskah ini dipaparkan dalam acara seminar internal SMA Strada St. Thomas Aquino, Tangerang, 23 Februari 2018. Modifikasi dilakukan untuk buletin K-PIN.
Referensi:
Meinarno, EA., Putri MA. (2017). Nilai Bangsa dalam Abad 21: Mengungkap hubungan globalisasi dan Pancasila. Kongres Pancasila IX. Gadjah Mada University Press. Hlm. 53.
Meinarno, EA. (2017). Peran identitas etnis, identitas agama, dan identitas nasional yang dimediasi nilai nasional terhadap Bhinneka Tunggal Ika. Disertasi tidak dipublikasikan. Universitas Persada Indonesia YAI, Jakarta.
H Tajfel and J Turner, An integrative theory of intergroup. Dalam WG Austin dan Worchel (penyunting), The Social Psychology of Intergroup Relations, 33-47. Monterey, CA: Brooks/Cole (1979).
MA Putri, EA Meinarno. (2016). Studi lintas generasi: Penghayatan Pancasila dan patriotisme pada era globalisasi. Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016: Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat, Malang, 27-28 Agustus 2016.