ISSN 2477-1686

 Vol.4. No.13, Juli 2018

Cuti Sebulan untuk Ayah Baru

Oleh:

Eriska Yunisha dan Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo

Program Studi Psikologi Fakultas Humaniora dan Bisnis

Universitas Pembangunan Jaya

Fenomena Post Partum Syndrome

Waldan (2014) menyebutkan bahwa 50% hingga 75% ibu yang baru saja melahirkan rentan mengalami post partum syndrome. Post partum syndrome adalah suatu sindroma spesifik yang biasanya terjadi pada Ibu yang baru saja melahirkan (Lanczikdkk, 1992).Biasanya post partum syndrome diidentifikasi sebagai meningkatnya kecerobohan, kemalasan, keegoisan, dan rasa tidak bersyukur pada ibu yang baru saja melahirkan (Dalton dalam Williamson, 1993).

Anthony dalam Williamson (1993) menyebutkan bahwa tiga bulan pertama sejak Ibu melahirkan adalah periode yang sangat rentan bagi ibu untuk mengalami post partum syndrome Selama periode ini, tentunya sang Ibu membutuhkan dukungan yang sangat besar dari ayah dalam menghadapi kehadiran sang buah hati. Hal ini karena ayah memiliki peran penting dalam memberikan dukungan emosional untuk Ibu pada saat Ibu melewati proses persalinan (Evereny, Hakimi&Padmawati, 2010).

Namun, bagaimana jika ayah terlalu sIbuk bekerja sehingga tidak dapat memberi dukungan yang optimal bagi Ibu yang baru melahirkan? Menurut McShane danVon Glinow (2010), salah satu hal yang dapat dilakukan oleh ayah agar bisa optimal dalam member dukungan pada Ibu yang baru melahirkan adalah dengan mengambilcuti pribadi bagi ayah baruatau dapat juga disebut sebagai paternity personal leave.

Kebijakan Cuti Bagi Ayah Baru

Di Indonesia, belum semua organisasi memberikan cuti dengan jumlah hari yang cukup untuk ayah baru. Hal berbeda kini datang dari organisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) (Ariyanti, 2018). Biro Kepegawaian Negara (BKN) memberikan pernyataan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) laki-laki dapat mengajukan Cuti Alasan Penting (CAP) selama paling lama satu bulan (Ariyanti, 2018). PNS yang mengajukan CAP dengan keperluan mendampingi istri melahirkan akan tetap menerima gaji secara utuh (Ariyanti, 2018). BKN mengatakan bahwa alasan utama dari pemberian cuti bagi pria yang menemani istri melahirkan dilandasi oleh rasa kemanusiaan (Ariyanti, 2018). Dengan ini, setidaknya resiko Ibu mengalami postpartum syndrome bisa menurun karena hadirnya dukungan dari ayah selama satu bulan pertama setelah melahirkan. Selain dukungan emosional saat melewati proses persalinan, dukungan ayah juga sangat dIbutuhkan oleh ibu baru yang harus menyusui (Evereny, Hakimi, dan Padmawati, 2010). World Health Organization (WHO) (dalam Evereny, Hakimi, dan Padmawati, 2010) merekomendasikan ibu untuk memberikan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif hingga bayi berusia 4-6 bulan. Melalui rekomendasi dari WHO, Menteri Kesehatan menetapkan pemberian ASI eksklusif dari yang semula 4 bulan menjadi 6 bulan (Evereny, Hakimi, &Padmawati, 2010). Lagi-lagi, salah satu faktor yang mempengaruhi efektifnya praktik memberi ASI eksklusif pada bayi adalah faktor dukungan sosial dari ayah dan keluarga (Evereny, Hakimi & Padmawati, 2010).  Selain memberikan dukungan sosial bagi ibu baru yang harus memberikan ASI eksklusif selama enam bulan, ayah juga mempunyai peran dalam proses pengambilan keputusan tentang pemberian makan bayi, perawatan anak, pekerjaan rumah tangga, ekonomi keluarga, serta berperan dalam menjaga keharmonisan hubungan rumah tangga (Evereny,Hakimi & Padmawati, 2010). Dukungan-dukungan seperti ini baru dapat diberikanoleh ayah secara optimal apabila ayah bisa mengambil waktu cuti yang cukup lama.

Manfaat Pemberian Cuti Bagi Ayah Baru

Pemberian cuti bagi PNS yang merupakan ayah baru ini termasuk kedalam hal yang juga dapat menurunkan stres kerja ayah. Terdapat kemungkinan ayah tidak dapat bekerja dengan tenang karena memikirkan istri yang sedang sendirian mengurus anak di rumah (McShane& Von Glinow, 2010).McShane & Von Glinow (2010) mengatakan bahwa  pegawai yang memiliki stres kerja rendah tandanya mempunyai kepuasan kerja yang tinggi.

Penelitian Saputra dan Raharjo (2017) memotret bahwa kepuasan kerja mempunyai pengaruh terhadap komitmen organisasi, salah satunya komitmen kelangsungan atau continuance commitment. Continuance commitment adalah komitmen seorang anggota terhadap organisasinya yang dipengaruhi oleh keuntungan-keuntungan tertentu yang diberikan oleh organisasi (McShane& Von Glinow, 2010). Cuti maksimal satu bulan bagi ayah baru adalah contoh dari keuntungan yang diberikan oleh BUMN kepada pegawainya.

Continuance commitment berdasarkan kasus pada artikel ini didasari oleh persepsi PNS akan harga yang harus dibayar dan keuntungan yang akan hilang apabila mereka tidak lagi bekerja sebagai PNS (McShane& Von Glinow, 2010). Hal ini karena keuntungan cuti bagi ayah baru selama maksimal satu bulan belum tentu diberikan oleh organisasi lain selain BUMN. Karena diberikannya keuntungan tersebut, PNS kemungkinan lebih memilih untuk berkomitmen dan tetap bekerja untuk organisasi BUMN. Selain mempengaruhi komitmen organisasi, kepuasan kerja juga berhubungan dengan kesejahteraan psikologis karyawan (Tanujaya, 2014).

Melalui pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa BUMN telah memberi kontrIbusi bagi kesejahteraan keluarga pegawainya.Hal ini meliputi Ibu baru melahirkan yang terhindar dari post partum syndrome. Ayah pun dapat menurunkan stress kerja, meningkatkan kepuasan kerja, serta meningkatkan kesejahteraan psikologisnya. Melalui artikel ini, penulis berharap agar organisasi-organisasi lainnya bias mencontoh kebijakan yang diberikan oleh BUMN untuk memberikan cuti bagi PNS laki-laki yang istrinya baru melahirkan.

 

Referensi

Ariyanti, F. (2018). Kini PNS pria bisa ajukan cuti saat istri melahirkan. Artikel. Diunduh dari http://bisnis.liputan6.com/read/3227693/kini-pns-pria-bisa-ajukan-cuti-saat-istri-melahirkan.

 

Evareny, L., Hakimi, M., dan Padmawati, R. S. (2010).Peran ayah dalam praktik menyusui. Berita kedokteran masyarakat.26(4). 187-195.. Diunduh dari: https://media.neliti.com/media/publications/163710-ID-peran-ayah-dalam-praktik-menyusui.pdf

 

Lanczik, M., Spingler, H., Heidrich, ., Becker, T., Kretzer, B. Albert, P., danFritze, J. (1992). Post partum blues: depressive disease or pseudoneurasthenic syndrome. Journal of affective disorders. 25.47-52. DOI: 10.1016%2F0165-0327%2892%29900092-k.

McShane, S.L. & Glinow, M. A. F. (2010).Organizational behavior. (5thed.). New York: McGraw Hill.

 

Saputra, M. & Rahardjo, W. (2017).Pengaruh iklim organisasi, kepuasan kerja, keterlibatan kerja terhadap komitmen organisasi pada karyawan PT X. Jurnal psikologi.10(1).Diunduh dari: https://media.neliti.com/media/publications/178566-ID-pengaruh-iklim-organisasi-kepuasan-kerja.pdf

 

Tanujaya, W. (2014).Hubungan kepuasan kerja dengan kesejahteraan psikologis (psychological well being) pada karyawan cleaner (studi pada karyawan cleaner yang menerima gaji tidak sesuai standar UMP di PT Sinergi Integra Service Jakarta). Jurnal psikologi.12 (2).. Diunduh dari: https://media.neliti.com/media/publications/126322-ID-hubungan-kepuasan-kerja-dengan-kesejahte.pdf

Waldan, N. K. (2014). Sekitar 75 persen wanita mengalami baby blues syndrome. Diunduh dari: http://nova.grid.id/Kesehatan/Wanita/Sekitar-75-Persen-Wanita-Mengalami-Baby-Blues-Syndrome

 

Williamson, G. L. (1993). Postpartum depression syndrome as a defense to criminal behavior. Journal of family violence.8(2). DOI: 10.1007%2Fbf00981765.