ISSN 2477-1686

Vol.3. No.8, Agustus 2017

Perempuan dan Diskriminasi Di Tempat Kerja 

Olivia Ariantje Josephine & Clara Moningka

Universitas Pembangunan Jaya

 

Seiring dengan perkembangan zaman, peran perempuan juga mulai berubah. Dahulu,perempuan berperan dalam ranah domestik sebagai ibu rumah tangga, saat ini banyak perempuan yang bekerja dan menjadi perempuan karir. Perubahan peran pada perempuan juga berdampak pada keberagaman di tempat kerja. Keragaman dalam lingkungan pekerjaan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu surface-level diversity dan deep-level diversity. Deep-level diversity merupakan perbedaan karakteristik psikis karyawan, seperti keyakinan, kepribadian, nilai-nilai, dan sikap. Sedangkan surface-level diversity merupakan perbedaan demografis dan fisiologis manusia yang dapat diamati, seperti ras, etnis, usia, kemampuan fisik, dan gender (McShane & Von Glinow, 2010).

Jenis kelamin merupakan hal yang kerap menjadi isu di tempat kerja. Fokus pada artikel ini adalah perempuan yang kerap dianggap sebagai minoritas dalam lingkungan pekerjaan. Di Indonesia sendiri isu mengenai diskriminasi terhadap perempuan di tempat kerja sudah tidak terlalu menonjol. Tren global menunjukkan negara-negara berkembang mengungguli negara maju dalam hal keragaman kepemimpinan di dunia bisnis pertumbuhan sebesar 16 %  dari tahun 2015 menempatkan Indonesia masuk dalam 10 besar negara di dunia untuk jumlah perempuan di posisi manajemen senior perusahaan (Priherdityo, 2016).

Walaupun demikian, perempuan kerap mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan di tempat kerja. Jumisih, Ketua Federasi Buruh Lintas Pabrik (dalam Wahyuni, 2015), mengemukakan bahwa perempuan kerap mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan di tempat bekerja. Banyak kasus dimana buruh perempuan yang mengalami keguguran akibat tidak adanya pengurangan beban kerja. Tak sampai di situ, tidak adanya fasilitas air minum yang layak di beberapa pabrik, juga memaksa ibu-ibu hamil berusaha lebih keras dalam mempertahankan kesehatan janinnya. Mereka meminum air rebusan dari kaleng besar yang biasanya digunakan untuk memanaskan setrikaan. Jumisih menilai ini akan membahayakan kehamilan. Dalam hal ini kesempatan bekerja tetap diberikan, namun fasilitas atau regulasi yang mendukung perempuan adalah sangat kurang.

Di Amerika sendiri, berdasarkan data statistik United States Department of Labor (n.d) menunjukkan bahwa pada tahun 2015, jumlah perempuan yang bekerja di US sekitar 46.8% dari populasi penduduk, sedangkan jumlah pria yang bekerja adalah 53.2%. Dalam hal ini perempuan juga tidak mendapatkan diskriminasi dan mendapatkan kesempatan yang hampir sama. Verizon Communication merupakan perusahaan teknologi komunikasi terbesar di dunia dan terkenal akan keragaman dalam lingkungan bekerja. Pada tahun 2015, Verizon memiliki 117.000 karyawan, dimana sekitar 36% jumlah karyawan merupakan perempuan (Pretz, 2016). Kita lihat contoh perusahaan lain yang mempekerjakan perempuan dalam bidang teknologi adalah VMware. VMware merupakan perusahaan software yang memiliki karyawan berjumlah 19.000 orang. Menurut Amber Boyle (dalam Pretz, 2016), 20% karyawan teknik dalam perusahaan adalah perempuan. Mengapa dalam bidang teknologi, perempuan merupakan minoritas? Hal tersebut ternyata tidak lepas dari stereotype yang ada mengenai perempuan atau bahkan mengenai bidang teknologi itu sendiri. Beberapa stereotype yang berkembang adalah bahwa perempuan dianggap kurang rasional dibandingkan pria, bidang teknologi merupakan dunianya pria, dan adanya bias gender dalam perekrutan karyawan (Javan Team, n.d).

Meskipun dalam beberapa bidang perempuan masih minoritas, tetapi data-data yang dipaparkan di atas cukup memberikan gambaran bahwa ada perubahan peran pada perempuan. Di Amerika sendiri, sudah ada komisi untuk kesetaraan antar pekerja, yaitu Equal Employment Opportunity Commission (EEOC). EEOC merupakan komisi yang bertanggungjawab untuk menegakkan hukum federal yang membuat diskriminasi terhadap pelamar pekerjaan atau karyawan karena ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, asal kebangsaan, usia, dan orang yang cacat menjadi ilegal (U.S. Equal Employment Opportunity Commission, n.d). Meskipun sudah ada EEOC, tetapi nyatanya diskriminasi terhadap perempuan masih juga terjadi. Di Indonesia terdapat UU no. 13 Tahun 2003 mengenai ketenagakerjaan dan perlindungan terhadap pekerja dan buruh. Walaupun ada komisi dan UU yang melindungi, diskriminasi tetap masih terjadi. Pada tahun 2015 di Amerika, seorang perempuan bernama Tina Huang mantan pemrogram peranti lunak Twitter, mengajukan gugatan bersama yang memprotes proses promosi yang dinilai lebih mengutamakan laki-laki. Manajemen tingkat atas Twitter, yang sebagian besar adalah laki-laki, bertanggungjawab atas semua keputusan perekrutan dan promosi yang dinilai Huang cenderung mendukung laki-lakiKasus gugatan juga pernah dialami oleh Microsoft. Pada Kamis, 17 September 2015, mantan teknisi perusahaan tersebut, yaitu Katherine Moussouris mengajukan gugatan atas dugaan diskriminasi. Dia mengaku telah dilewatkan untuk promosi, dan jabatan yang kosong tersebut diberikan kepada pria dengan kualifikasi keahlian yang lebih rendah dibanding dirinya (Akbar, 2015).

Di Indonesia sendiri, berdasarkan data survey yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (dalam Silaen, 2016), pada tahun 2013 menunjukkan bahwa ada sekitar 57% perempuan yang dipekerjakan di sektor informal. Berdasarkan data yang sama dari BPS, penghasilan rata-rata perempuan yang bekerja di sektor di luar agrikultur hanya sekitar 80% dari penghasilan laki-laki. Berdasarkan data dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2013, menunjukkan bahwa hanya 18% dari total 1.1 juta perempuan bekerja yang memegang posisi tinggi di berbagai sektor pekerjaan. Data ini menunjukkan bahwa perempuan kerap mendapatkan pekerjaan rendah dengan gaji atau upah di bawah laki-laki.

Mengapa diskriminasi ini dapat terjadi?

Diskriminasi pada perempuanjuga karena adanya stereotype tentang seks yang ada. Sebelum kita mengenal lebih jauh diskriminasi pada perempuan, kita perlu mengetahui apa itu diskriminasi. Diskriminasi dapat didefinisikan sebagai perilaku negatif terhadap orang yang menjadi target prasangka (Prawasti, 2009). Fiske (dalam Prawasti, 2009) mengatakan bahwa perempuan dilihat ‘ramah, namun tidak kompeten’, sedangkan pria dilihat sebagai ‘mungkin tidak ramah, namun kompeten. Selain itu diskriminasi terhadap perempuan juga terjadi karena perempuan memiliki posisi yang lebih rendah dibandingkan pria dalam lingkungan bisnis, pemerintahan, dan pekerjaan (Hogg dan Vaughan, 2008).

Dalam dunia pekerjaan, praktik diskriminasi terhadap perempuan sering dikenal dengan istilah glass ceiling. Glass ceiling merupakan pembatan/hambatan yang tidak terlihat yang membuat perempuan atau etnis minoritas kesulitan dalam meningkatkan karir mereka (Santrock, 2006). Diskriminasi terhadap perempuan dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, tetapi yang paling umum dilakukan adalah pengambilan keputusan yang didasarkan pada persepsi seseorang mengenai jenis kelamin seseorang (Hays dan Morrow, 2013).

Bentuk diskriminasi lainnya yang sering dihadapi perempuan adalah sexual harassment. Berdasarkan hukum, sexual harassment dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu quid pro quo dan hostile environment (Aamodt, 2010). Quid pro quo merupakan bentuk harassment dimana keinginan seksual disamai dengan keputusan untuk mempromosikan dan menaikkan gaji karyawan. Sedangkan hostile environment dapat terjadi ketika pola perilaku yang tidak diinginkan yang berkaitan dengan gender mengganggu kinerja individu, seperti komentar, rayuan romantisme atau seksual yang tidak diinginkan, atau menunjukkan poster atau tanda-tanda yang merendahkan.

Diskriminasi dalam lingkungan pekerjaan juga dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu diskriminasi formal dan informal. Diskriminasi formal mengacu kepada bias terhadap alokasi sumber daya, seperti gaji, promosi, dan tanggungjawab pekerjaan. Sedangkan diskriminasi informal berpusat kepada interaksi yang timbul antar karyawan dan kualitas dari hubungan yang dibentuk (Adu-Oppong dan Arthur, 2015).

Pada dasarnya basis kompetensi merupakan hal yang perlu diutamakan. Dalam hal ini perlu kesadaran dari pihak pemberi kerja bahwa kompetensi merupakan  melebihi batas gender atau jenis kelamin. Perempuan juga memiliki kekuatan dan keahlian yang setara dengan laki-laki. Memberikan fasilitas yang memang dapat mendukung perempuan (seperti beban dikurangi saat hamil di pabrik, atau memberikan tempat untuk menyusui, dan lain sebagainya) bukanlah mendukung kelemahan perempuan namun merupakan perilaku menghargai. Semoga perlakuan terhadap perempuan menjadi lebih baik lagi. 

Referensi

Aamodt, M. G. (2010). Industrial/Organizational Psychology. (6thed.). Wadsworth: Cengage

Learning.

Hogg, M. A., & Vaughan, G. M. (2008). Social Psychology. (5thed.). London: Pearson

Education Limited.

McShane, S. & Von Glinow, M.A. 2010. Organizational Behavior: Emerging

Knowledge and Practice for the Real World. (5thed.). New York: McGraw-Hill/Irwin.

Prawasti, C. Y. (2009). Stereotip, Prasangka, dan Diskriminasi. Dalam Sarwono, S. W., dan

Meinarno, E. A (Ed.), Psikologi Sosial (pp. 223-244). Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.

Santrock, J. W. (2006). Human Adjustment. New York: McGraw-Hill.

Adu-Oppong, A. A., & Arthur, C. (2015). Gender Dicrimination in the Workplace: A Study

Of Women’s Participation in Higher Education Management in Ghana. Afro Asian Journal of Social Sciences, 6(3), 1-15.

Akbar, R.J. (2015). Diduga diskriminasi pekerja perempuan, Microsoft digugat. Diunduh dari http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/675378-diduga-diskriminasi-pekerja-perempuan-microsoft-digugat..

Hays, N., & Morrow, K. (2013). Gender discrimination in the workforce. Diunduh dari

http://digitalcommons.calpoly.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1120&context=socssp.

Javan Team. (n.d). Mengapa hanya ada sedikit perempuan yang terjun di industri

teknologi? inilah 3 penyebabnya. Diunduh dari https://blog.javan.co.id/mengapa-hanya-ada-sedikit-perempuan-yang-terjun-di-industri-teknologi-inilah-3-penyebabnya-4. Pada tanggal 16 Maret 2017.

Kementerian PPN/Bappenas. (n.d). Penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk. Diunduh dari http://www.bappenas.go.id/files/2113/5216/0318/bab-10---penghapusan-diskriminasi__20090202213335__1758__10.pdf.

Pretz, K. (2016). What high-tech companies are doing to increase diversity. Diunduh dari

http://theinstitute.ieee.org/career-and-education/career-guidance/what-hightech-companies-are-doing-to-increase-diversity.

Prihadi, S.D. (2015). Cerita diskriminasi perempuan di perusahaan teknologi. Diunduh dari

http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150330095201-185-42877/cerita-diskriminasi-perempuan-di-perusahaan-teknologi/.

Priherdityo, E.(2016). Wanita karier Indonesia terbanyak keenam di dunia. Diunduh dari https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160308121332-277-116053/wanita-karier-indonesia-terbanyak-keenam-di-dunia/

Silaen, F. (2016). Perempuan masih alami diskriminasi di dunia kerja. Diunduh dari

https://beritagar.id/index.php/artikel/gaya-hidup/perempuan-masih-alami-diskriminasi-di-dunia-kerja.

United States Department of Labor. (n.d). Women In labor force, civilian labor force by sex. Diunduh dari https://www.dol.gov/wb/stats/facts_over_time.htm.

U.S. Equal Employment Opportunity Commission. (n.d). About EEOC. Diunduh dari

https://www.eeoc.gov/eeoc/.

 

Wahyuni, T. (2015). Kisah buruh perempuan di tempat kerja. Diunduh dari https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20151219032825-277-99253/kisah-buruh-perempuan-di-tempat-kerja/