ISSN 2477-1686  

 Vol. 11 No. 42 September 2025

Kompensasi dan Merit System: Solusi Adil dalam Hubungan Industrial Modern?

Oleh:

Adelia Tegar Alamsyah Putri dan Laila Meiliyandrie Indah Wardani

Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana

Kinerja organisasi berkorelasi secara langsung dengan kinerja pada bagian Sumber Daya Manusia (SDM). Karena hal tersebut, dapat mempermudah pencapaian tujuan sebuah organisasi (Hanif, 2016). Peningkatan kinerja SDM tersebut harus menjadi prioritas utama bagi organisasi. Secara teoritis, kinerja berkaitan dengan tingkat motivasi, yang mana salah satu faktor pentingnya yaitu kompensasi. Kompensasi ini dapat berupa bentuk finansial, seperti gaji, tunjangan, dan intensif, atau dapat juga berbentuk non-finansial seperti hak cuti, promosi jabatan, dll.

Sistem kompensasi menjadi salah satu komponen paling penting dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan perusahaan dan kesejahteraan karyawan. Kompensasi ialah bentuk bentuk penghargaan yang tak hanya sebatas gaji bulanan, tetapi juga penghargaan untuk kinerja, loyalitas, dan kontribusi seseorang (Chiang & Birtch, 2017). Dalam konteks hubungan industrial modern dan banyak pertanyaan muncul di tengah tuntutan yang tinggi terhadap efisiensi dan produktivitas, apakah merit system merupakan solusi yang paling adil?

Untuk memahami lebih lanjut, menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, sistem merit diartikan sebagai kebijakan dan pengelolaan ASN yang didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, serta kinerja. Sistem ini diterapkan secara adil dan objektif, tanpa diskriminasi berdasarkan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal-usul, jenis kelamin, status pernikahan, usia, atau kondisi disabilitas (Lisdiana et al., 2023). Sistem ini sering dianggap sebagai jawaban atas kebutuhan perusahaan modern yang dinamis, adaptif, dan kompetitif.

Namun, implementasi merit system ini tidak dapat berdiri sendiri dan keunggulannya dapat berfungsi secara optimal. Budaya organisasi yang mendukung pertumbuhan dan pengembangan individu juga harus mendukung sistem tersebut. Budaya organisasi yang terbuka terhadap feedback, apresiasi, dan pengembangan karir akan memperkuat efektivitas merit system. Menurut hasil penelitian oleh Stumpf dan Tymon (2017), perusahaan dengan budaya pertumbuhan yang kuat cenderung lebih berhasil menerapkan sistem berbasis prestasi, yang artinya membuktikan bahwa merit system tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus menjadi bagian dari strategi manajemen SDM secara keseluruhan.

Meskipun merit system menawarkan keuntungan dalam meningkatkan kinerja individu, perlu diingat bahwa sistem senioritas tetap penting dalam beberapa industri. Pengalaman dan loyalitas karyawan senior sering kali menjadi aset penting bagi perusahaan yang mengutamakan stabilitas dan keberlangsungan jangka panjang (Nguyen et al., 2022). Oleh karena itu, masih diperlukan keseimbangan antara penghargaan atas pengalaman dan penghargaan atas kinerja dalam praktik hubungan industrial.

Di sisi lain, beberapa sektor industri tidak dapat langsung menerapkan merit system dengan mulus. Misalnya, sektor pemerintah Indonesia masih menghadapi banyak masalah, terutama terkait dengan proses penilaian kinerja yang belum optimal (Handayani et al., 2025). Dalam beberapa kasus, bias atasan, hubungan personal, atau standar yang tidak konsisten dapat mempengaruhi penilaian. Jika ini terjadi, merit system dapat menimbulkan ketidakpuasan dan persepsi ketidakadilan, yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat motivasi.

Lebih jauh lagi, merit system, dapat mengancam solidaritas karyawan jika tidak dikomunikasikan dengan baik. Oleh karena itu, untuk menjaga keadilan, organisasi harus melibatkan semua pemangku kepentingan dalam proses desain dan implementasi sistem ini, termasuk serikat pekerja (Pichler et al., 2019). Untuk menghindari resistensi, penting untuk berkomunikasi dengan baik dan menjadi jelas tentang kriteria merit.

Mengingat pentingnya mempertahankan pengalaman kerja karyawan sekaligus mendorong kinerja tinggi, sistem hibrida sering dianggap sebagai pendekatan yang ideal. Sistem ini menggabungkan keunggulan sistem merit dengan pertimbangan loyalitas atau senioritas. Oleh karena itu, organisasi dapat memastikan bahwa karyawan yang berprestasi menerima penghargaan yang sesuai sambil mempertimbangkan pekerjaan mereka yang telah dilakukan selama bertahun-tahun (Park & Shaw, 2017).

Lebih dari itu, sistem kompensasi yang berbasis merit dapat membantuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih kreatif. Ketika karyawan tahu bahwa kerja keras, ide kreatif, dan pencapaian mereka dihargai secara nyata, mereka cenderung lebih terlibat aktif di tempat kerja. Menurut Robbins dan Judge (2011), peningkatan keterlibatan karyawan dapat dicapai melalui kompensasi yang adil dan berbasis prestasi. Pada akhirnya, ini akan menghasilkan peningkatan kinerja tim dan organisasi secara keseluruhan.

Namun, perlu diingat bahwa penerapan sistem merit membutuhkan komitmen jangka panjang. Organisasi harus selalu mengevaluasi ulang sistem kinerjanya untuk tetap sesuai dengan perubahan bisnis dan kebutuhan karyawan. Sistem yang tidak melakukan evaluasi merit secara teratur dapat menjadi kaku, bias, dan tidak berguna lagi sebagai alat untuk mencapai keadilan. Menurut Gerhart dan Rynes (2003), desain sistem kompensasi harus selalu berubah, fleksibel, dan mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan internal dan eksternal perusahaan.

Nah, dapat disimpulkan bahwa merit system, jika diterapkan secara hati-hati, transparan, dan profesional dapat berfungsi dengan baik dalam hubungan industrial modern. Dengan menggunakan sistem ini, organisasi dapat meningkatkan kinerja, menciptakan budaya kerja yang berpusat pada prestasi, dan memberikan insentif psikologis yang positif. Namun, untuk mencapai keadilan sejati, sistem ini harus diintegrasikan dengan nilai-nilai loyalitas dan penghargaan atas pengalaman. Dengan demikian, merit system akan menjadi alat yang berguna untuk membangun hubungan kerja yang harmonis dan berkelanjutan.

 

 

Referensi:

Chiang, F. F., Lemański, M. K., & Birtch, T. A. (2017). The transfer and diffusion of HRM practices within MNCs: lessons learned and future research directions. The International Journal of Human Resource Management28(1), 234-258. https://doi.org/10.1080/09585192.2016.1246461

Gerhart, B., & Rynes, S. L. (2003). Compensation: Theory, Evidence, and Strategic Implications. Sage Publications. https://doi.org/10.4135/9781452229256

Handayani, F. T., & Marlina, N. G. (2025). Pengaruh Sistem Merit Pay Terhadap Keadilan Pemberian Tunjangan Kinerja Bagi Pegawai Negeri Sipil Di Pemerintahan Daerah (Studi Penelitian di Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Jawa Tengah). Journal of Politic and Government Studies, 14(2), 1231-1256.

Hanif, H. (2016). Sistem Kompensasi PNS Berbasis Kinerja. Ikonomika: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam, 1(1), 92-104.

Lisdiana, L., Novaria, E., & Herni, E. T. (2023). Analisis Penerapan Sistem Merit Pada Balai Pemasyarakatan Kelas I Palembang. KNOWLEDGE: Jurnal Inovasi Hasil Penelitian dan Pengembangan, 3(3), 205-215.

Nguyen, T. T., Teo, S. T. T., Grover, S. L., & Nguyen, N. P. (2022). Fairness, trust, and commitment: Mediators in the relationship between HRM practices and employee outcomes. Human Resource Management Journal, 32(1), 39–55.

Park, T. Y., & Shaw, J. D. (2017). Turnover rates and organizational performance: A meta-analysis. Journal of Applied Psychology, 102(3), 371–402. DOI: 10.1037/a0030723

Pichler, S., Varma, A., & Budhwar, P. (2019). Performance management in a global context. International Journal of Human Resource Management, 30(5), 705–723.

Robbins, S.P.& Judge, T.A. 2011. Organizational Behavior. 14thed. New Jersey: Prentice Hall.

Stumpf, S. A., & Tymon, W. G. (2017). Transferring HR practices across cultures: Organizational determinants of effective transfer. Journal of World Business, 52(4), 489–501.