ISSN 2477-1686  

 Vol. 11 No. 41 September 2025

 

Mengenal Make-believe play dan Tantangannya Saat Ini 

Oleh:

B. Primandini Yunanda Harumi

Program Studi Sarjana Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Bermain pura-pura atau make-believe play adalah salah satu bentuk permainan yang melibatkan aktivitas imajinasi. Dalam permainan ini, anak-anak berperan sebagai karakter-karakter imajiner, berinteraksi dengan benda yang tidak memiliki makna literal, dan menciptakan narasi atau cerita dalam dunia mereka sendiri. Bentuk permainan ini bukan hanya menyenangkan bagi anak, tetapi juga memiliki manfaat perkembangan yang signifikan, baik secara kognitif, sosial, maupun emosional.

Konsep Make-believe play

Make-believe play dapat diartikan sebagai permainan di mana anak-anak melakukan suatu perilaku atau memanfaatkan benda untuk membuat skenario atau karakter yang tidak nyata. Proses membuat skenario atau melakukan karakter yang tidak nyata tersebut yang dimaknai sebagai pura-pura. Misalnya, menggunakan boneka untuk berperan sebagai anggota keluarga atau benda seperti sendok sebagai alat memasak dalam permainan dapur. Anak-anak yang terlibat dalam permainan ini cenderung berpikir secara simbolik, di mana benda yang mereka gunakan untuk berperan memiliki makna yang lebih dalam dari fungsi aslinya.

Pada pendekatan kognitif, make-believe play dapat dikatakan sebagai symbolic play. Symbolic play merupakan bentuk permainan di mana anak-anak menggunakan benda atau tindakan untuk mewakili objek atau ide yang tidak ada secara fisik. Hal tersebut dinilai sebagai simbolik karena benda yang digunakan dalam permainan tidak lagi memiliki makna literal, tetapi dapat menggambarkan sesuatu yang lebih besar atau imajiner. Misalnya, menggunakan sendok sebagai pisau atau berpura-pura menjadi dokter. Dalam konteks ini, anak-anak belajar berpikir abstrak dan mengembangkan keterampilan kognitif yang lebih kompleks. Jean Piaget menyebutkan bahwa symbolic play mulai berkembang sejak masa kanak-kanak ketika tahap praoperasional mulai berkembang.

Meski mulai dapat dimainkan anak-anak pada masa dini, make-believe play dinilai memerlukan peran orang lain, dalam hal ini individu dewasa. Konsep scaffolding yang dikembangkan Lev Vygotsky menekankan pentingnya dukungan dan pendampingan orang dewasa untuk membantu anak mengembangkan ide berpikir, dalam hal ini mengembangkan skenario atau karakter yang lebih kompleks, sehingga memungkinkan anak secara perlahan mengembangkan proses berpikir pada tingkat yang lebih tinggi.

Karakteristik Make-believe play

Make-believe play memiliki beberapa karakteristik yang dapat diamati dalam aktivitas bermain anak, diantaranya adalah:

Imaginative role-play

Bentuk permainan di mana anak-anak berperan dalam skenario imajinatif, seringkali dilakukan dengan meniru atau menggambarkan peran tertentu, seperti menjadi orang dewasa, profesi tertentu, hewan, atau karakter imajinasi lainnya. Secara ilmiah, imaginative role-play memberi anak kesempatan dan ruang untuk mengeksplorasi peran sosial, mengekspresikan diri, sera mengembangkan keterampilan komunikasi, hingga memecahkan masalah.

Symbolic Representation

Kemampuan untuk memanfaatkan benda, objek, kata, atau tindakan untuk menggambarkan sesuati yang tidak ada secara fisik. Misalnya, menggunakan balok untuk digunakan sebagai telepon genggam atau menggunakan tali untuk dimainkan sebagai stetoskop, Kemampuan ini memungkinkan anak untuk mengembakan keterampilan berpikir simbolik yang mana dapat menjadi dasar pemahaman tentang bahasa, berhitung, dan konsep kompleks lainnya.

Interaksi sosial

Permainan ini sering melibatkan interaksi dengan teman sebaya atau orang dewasa, yang memperkaya pengalaman sosial anak

Perkembangan Make-believe play pada Anak Masa Kini

Adanya perkembangan teknologi dan perubahan sosial dirasa memengaruhi cara anak-anak bermain. Masa kini, anak-anak tidak hanya terlibat pada permainan fisik maupun tradisional dengan teman sebaya atau keluarga, tapi juga terpapar pada permainan digital. Hal ini juga mencakup make-believe play. Meskipun anak-anak pada masa kini berpotensi terpapar pada penggunaan perangkat digital, make-believe play tetap relevan meskipun dalam bentuk yang lebih “modern”. Aplikasi atau permainan digital memungkinkan anak untuk berimajinasi dan berperan secara virtual, seperti bermain dengan permainan open world games yang menawarkan skenario atau karakter imajinasi yang bisa dikendalikan. Namun, interaksi virtual ini tidak sama dengan permainan secara fisik yang mampu mendorong anak untuk berinteraksi secara langsung dengan situasi di sekitarnya. Mereka bisa saja kehilangan kesempatan untuk belajar mengenai aspek sosial yang lebih dalam, seperti kolaborasi atau komunikasi nonverbal yang biasanya dapat terjadi saat melakukan make-believe play secara langsung. Tantangan yang dapat muncul karena perkembangan teknologi lainnya adalah ketidaksetaraan kondisi para “pemain” yang melakukan make-believe play secara virtual. Tidak adanya kisaran usia para pemain dan batasan usia tertentu untuk bermain pura-pura secara virtual berpotensi menjadi celah pelecehan seksual bagi pemainnya, terlebih pada anak. Permainan virtual dapat mengubah cara anak berinteraksi dengan teman sebaya karena pada beberapa situasi, anak lebih memilih untuk bermain secara daring (online games) untuk berinteraksi dengan temannya secara virtual.

Make-believe play merupakan satu aktivitas yang dinilai penting untuk dilakukan dalam perkembangan anak, yang mana dapat membantu mengembangkan keterampilan sosial, kognitif, dan emosional. Pada masa kini, meskipin anak semakin mudah terpapr pada perangkat elektronik maupun bermain secara daring, penting untuk memastikan make-believe play tetap dilakukan untuk menyeimbangkan permainan fisik dan digital, khususnya pada balita yang sedang berkembanga kemampuan belajarnya melalui imajinasi dan pemahaman akan aksi-reaksi. Beberapa cara yang dapat dilakukan dengan bantuan orangtua atau pendamping adalah menyeimbangkan screentime dan bermain secara fisik, menggunakan aplikasi atau permainan digital yang menstimulasi imajinasi, serta turut terlibat dalam dalam permainan anak (misalnya mendampingi, mengarahkan, atau memberikan pandangan objektif).

Referensi:

Berk, L. E. (2009). Child Development, 8th Edition. Pearson Education.

Cohen, D. (2006). Development of Play, 3rd Edition. Routledge.

Miller, K. (2021, March 4). The importance of dramatic play in early childhood. Verywell Family. https://www.verywellfamily.com/dramatic-play-290162

O’Sullivan, D., & Alam, A. A. (2021). Hybrid digital-physical play and child development: A systematic review. arXiv preprint arXiv:2105.10731. https://arxiv.org/abs/2105.10731

Smith, P. K. (2010). Children and Play. Wiley Blackwell.