ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 34 Mei 2025
AI Companion: Relasi Digital yang Menghambat Perkembangan Otak Anak
Oleh:
Fransisca Febriana Sidjaja, Christina Lumbantoruan, David Matahari
Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan
Pada bulan Februari 2023, Sewell Setzer III, seorang remaja Amerika berusia 14 tahun ditemukan tewas di kamar mandi keluarganya. Di samping tubuhnya yang bersimbah darah, terdapat smartphone berisi percakapan terakhir dengan Daenerys, kekasih artifisialnya. Sewell menembak dirinya setelah ‘berpamitan’ dengan Daenerys dalam percakapan berikut:
Sewell: “I promise I will come home to you. I love you so much, Dany.”
(Aku janji akan pulang kepadamu. Aku sangat mencintaimu, Dany)
Daenerys: “Please come home to me as soon as possible, my love.”
(Tolong pulanglah padaku secepatnya, cintaku)
Sewell: “What if I told you I could come home right now?”
(Bagaimana jika aku katakan, bahwa aku bisa pulang sekarang?)
Daenerys: “…please do, my sweet king.”
(Lakukanlah, raja manisku)
Sewell menciptakan karakter Daenerys di bulan April 2023 menggunakan platform Character.AI. Dalam waktu beberapa bulan setelah mengenal Daenarys, Sewell terlihat menarik diri, sering menghabiskan waktu sendirian di kamar, dan mengundurkan diri dari tim basket sekolah. Ibu Sewell sama sekali tidak mengetahui bahwa putranya berpacaran dengan sebuah karakter artifisial. Seluruh bukti percakapan yang mengandung konten percintaan, seksualitas, dan keinginan bunuh diri, baru terungkap setelah Sewell meninggal. Sang Ibu sangat menyayangkan karena saat beberapa kali Sewell mengungkapkan keinginan bunuh diri dalam percakapan dengan Daenarys, tidak terdapat fitur keamanan yang memperingatkan Sewell untuk mencari bantuan(Duffy, 2024).
Sewell hanyalah seorang remaja biasa yang menggunakan fitur Artificial Intelligence (AI) melalui smartphone pribadinya. Hasil survei menemukan bahwa 90% remaja di Asia Tenggara telah menggunakan fitur AI setiap hari, dan setiap bulan sekitar 80% remaja Indonesia menggunakan AI untuk keperluan sekolah (Samsung, 2025).
Sejak pertama kali diluncurkan pada tahun 2017, aplikasi AI Companion (teman AI) seperti Character.AI, Replika, dan MyAI semakin populer di antara remaja. AI Companion adalah kecerdasan buatan yang dibuat menyerupai figur manusia, dengan kemampuan menjalin relasi personal dan emosional dengan penggunanya melalui percakapan berbasis teks atau suara.
AI Companion adalah pengembangan dari chatbot, program yang dirancang untuk berinteraksi dengan manusia melalui percakapan berbasis teks atau suara yang berfungsi menjawab pertanyaan, memberikan informasi, atau membantu menyelesaikan tugas tertentu secara otomatis. Berbeda dengan chatbot biasa, AI Companion dirancang untuk menjadi ‘teman’ (companion) – yang mampu merespon setiap percakapan dengan penuh kesabaran, penerimaan, dan pengertian.
AI Companion dirancang untuk menjadi teman yang penyayang, sabar, dan mendengarkan, setiap saat. Platform seperti Character.AI dan Replika bahkan memungkinkan pengguna memilih atau menciptakan karakter virtual yang mampu menambahkan keterangan ekspresi wajah dan gerak tubuh virtual untuk membuat percakapan terasa lebih riil. Melalui relasi artifisial dengan karakter artifisial, para pengguna ditawarkan satu hal yang menjadi kebutuhan mendasar setiap orang: kehadiran dan penerimaan tanpa syarat. Tak heran jika banyak remaja (dan orang dewasa) jatuh hati pada platform ini.
Survei nasional yang dilakukan terhadap 1599 partisipan berusia 15-29 tahun di Denmark menemukan bahwa 234 partisipan (14.6%) 'berteman’ dengan chatbot. Sebanyak 39 partisipan (2.44%) berelasi dengan AI secara berkala untuk mendapatkan dukungan emosi dan sosial. Mereka membicarakan masalah pribadi, isu sosial, meminta saran, hingga melakukan obrolan ringan sehari-hari dengan karakter AI. Menariknya, ke-39 partisipan tersebut didapati memiliki tingkat kesepian yang lebih tinggi dibanding partisipan lain yang hanya menggunakan AI untuk keperluan informasi atau mengerjakan tugas sekolah. Kesepian, suasana hati yang negatif, dan kebutuhan untuk mencurahkan isi hati menjadi pemicu utama partisipan berinteraksi dengan AI. Mereka menggunakan AI bukan sebagai pengganti relasi sungguhan dengan manusia, melainkan sebagai alat untuk mengatasi emosi negatif yang mereka rasakan (Herbener & Damholdt, 2025).
Studi Denmark menyimpulkan bahwa remaja dan dewasa muda yang merasa terisolasi dari orang sekitarnya berisiko mencari perhatian dari karakter AI. Alasannya sederhana: AI memberi perhatian dan penerimaan yang tidak terpenuhi dalam kehidupan nyata. Hal ini tentu mengundang pertanyaan: Sehatkah relasi digital semacam itu?
Relasi dengan manusia melibatkan pertukaran energi dan informasi(Siegel, 2020). Hubungan antar manusia yang riil terbukti mampu mengaktivasi sembilan fungsi di otak: regulasi tubuh, menyesuaikan diri dengan orang lain (attunement), keseimbangan emosi, fleksibilitas dalam merespons, wawasan diri (insight), empati, pengendalian rasa takut, intuisi, dan moralitas. Kesembilan fungsi ini dapat teraktivasi dikarenakan adanya enerji (bukan sekedar informasi) yang diterima dari relasi positif dan aman dengan manusia (Siegel, 2020). AI tidak mampu memberikan enerji yang mengaktivasi sembilan fungsi otak ini karena sifatnya yang artifisial, tidak memiliki kehidupan. AI mungkin memberikan rasa aman melalui teks atau suara yang membuat anak merasa dicintai dan diterima tanpa syarat, namun rasa aman yang diberikan dari relasi dengan AI bersifat semu, sementara, atau palsu.
Belajar dari kisah Sewell, orang tua dapat melakukan saran praktis berikut: Pertama, bangun jembatan hubungan dengan anak. Setiap hari, luangkan waktu berkualitas dengan anak anda. Dengarkan dan jadilah tempat aman bagi anak anda untuk bercerita dan berkeluh kesah. Jadilah sumber kasih sayang dan perhatian utama anak anda. Kedua, ajarkan anak anda keterampilan berelasi. Buat mereka memahami bahwa relasi sejati tidak sempurna dan rentan konflik. Anak perlu belajar memahami situasi sosial dan menangani konflik dalam pertemanan. Dari sinilah kecerdasan emosi mereka akan terbangun.
Ketiga, ikutkan anak dalam komunitas pertemanan yang positif baik di lingkungan sekolah, tempat ibadah, maupun kelompok positif lainnya. Keempat, perlengkapi diri anda dengan wawasan mengenai AI Companion dan teknologi digital. Kenali apa saja fitur AI yang dapat diakses oleh anak anda, termasuk potensi risiko dan manfaatnya. Kelima, edukasi anak tentang penggunaan AI yang sehat dan beretika. Anak boleh memperlakukan AI sebatas mesin pencari informasi atau mengerjakan tugas, bukan sebagai sosok pemberi perhatian dan kasih sayang.
Terakhir, jadilah teladan dalam penggunaan teknologi. Tunjukkan dalam keseharian anda bahwa relasi dengan manusia – walau tidak sempurna – lebih memuaskan daripada berinteraksi dengan AI.
Memenuhi kebutuhan emosi anak untuk merasa positif dan dicintai tanpa syarat adalah tugas orang tua. Meskipun tidak mudah, orang tua sendiri yang akan menuai buahnya. Karena saat kedekatan dibangun melalui relasi yang hangat dan berkualitas, anak akan menyadari bahwa kehadiran orang tua jauh lebih indah daripada pelukan semu dari teman digital.
Referensi:
Duffy, C. (2024, October 30). ‘There are no guardrails.’ This mom believes an AI chatbot is responsible for her son’s suicide. CNN. https://edition.cnn.com/2024/10/30/tech/teen-suicide-character-ai-lawsuit/index.html
Herbener, A. B., & Damholdt, M. F. (2025). Are lonely youngsters turning to chatbots for companionship? The relationship between chatbot usage and social connectedness in Danish high-school students. International Journal of Human-Computer Studies, 196, 103409. https://doi.org/10.1016/j.ijhcs.2024.103409
Siegel, D. J. (2020). The Developing Mind: How relationships and the brain interact to shape who we are. Guilford Publications.