ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 38 Juli 2025
Jejak Psikologis di Balik Tradisi Merantau Suku Minangkabau
Oleh:
Laurentius Purbo Christianto dan Felicia Natalie Irawan
Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Suku Minangkabau atau Minang adalah salah satu kelompok etnis terbesar di Indonesia. Suku Minangkabau berasal dari dataran tinggi Minangkabau di provinsi Sumatera Barat. Suku Minangkabau tersebar secara geografis mulai dari Sumatera Barat, hingga Riau, Bengkulu, Jambi, Aceh, dan Negeri Sembilan di Malaysia (Heriyani, 2024). Walaupun salah kaprah, orang dari suku Minangkabau sering dipanggil dengan sebutan “orang padang”; padahal ini hanya karena banyak orang Minangkabau atau orang Minang yang tinggal di kota Padang. Pada kenyataannya orang Minangkabau ditemui di mana saja karena mereka memiliki tradisi merantau yang kuat.
Suku Minangkabau terkenal dengan tradisi merantau. Tradisi ini terkait dengan sistem matrilineal yang diterapkan. Sistem kekerabatan di Minangkabau didasarkan pada garis keturunan Ibu. Daniswari (2022) menulis bahwa dalam sistem matrilineal perempuan memiliki kedudukan yang istimewa, salah satunya adalah hak penguasaan harta. Laki-laki Minangkabau sebenarnya bisa melakukan usaha di atas harta keluarga, tetapi mereka tidak dapat mewariskan harta tersebut kepada turunannya. Sistem matrilineal ini ditengarai menjadi akar dari tradisi merantau suku Minangkabau (Aprial, 2020; Daniswari, 2022). Laki-laki Minangkabau disarankan untuk merantau, dan mencari kehidupan layak serta harta di wilayah lain, karena mereka tetap harus bertanggungjawab terhadap keluarga.
Walaupun sistem matrilineal dianggap menguntungkan perempuan, ternyata ditemukan pula bahwa perempuan Minangkabau juga gemar merantau (Oktaviani, Safitri, & Herminasari, 2022). Perempuan Minangkabau memiliki peran domestik yang besar, hanya saja ini dianggap membatasi aktualisasi diri mereka. Merantau membuat perempuan Minangkabau dapat meraih pendidikan yang lebih baik, dan peran serta karier yang lebih bermakna Tradisi merantau suku Minangkabau ternyata begitu kuat; baik laki-laki maupun perempuan Minangkabau memiliki dorongan kuat untuk merantau. Merantau umum dilakukan orang Minangkabau, sehingga mereka terkenal sebagai perantau.
KBBI (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016) mendefinisikan merantau sebagai berlayar untuk mencari penghidupan di sepanjang rantau (sungai atau pantai sepanjang teluk); atau bisa juga dimaknai sebagai pergi ke negeri lain (untuk mencari penghidupan, ilmu, dan sebagainya). Definisi ini dapat disederhanakan dengan memaknai merantau sebagai pergi ke wilayah lain, melewati perairan, untuk mencari penghidupan. Secara umum merantau dimaknai sebagai aktivitas perpindahan seseorang dari tempat asal ke wilayah lain untuk menjalani kehidupan baru, guna mencari pengalaman, pekerjaan, maupun pendidikan. Paparan sebelumnya telah menunjukkan bagaimana Daniswari (2022) menjelaskan akar budaya dari tradisi merantau orang Minangkabau; akan tetapi sebagai sebuah perilaku manusia, maka tradisi ini juga dapat dijelaskan dengan teori psikologi. Teori eksistensialisme Rollo May akan digunakan untuk menelusuri jejak psikologis tradisi merantau suku Minangkabau.
Rollo May (dalam Feist, Roberts, & Feist, 2021) berpendapat bahwa sebagian besar perilaku manusia didorong oleh perasaan takut dan kecemasan yang mendalam. Manusia mengalami kecemasan ketika mereka menyadari bahwa keberadaan mereka, atau nilai-nilai penting yang mereka pegang, dapat saja hancur. May bahkan mendefinisikan kecemasan sebagai keadaan subjektif individu yang sadar bahwa keberadaan mereka dapat “dihancurkan”, dan bahwa ia dapat menjadi “tidak ada”. Definisi ini menunjukkan bahwa kecemasan manusia dapat muncul baik dari kesadaran akan kemungkinan menjadi tidak berada, atau ancaman akan eksistensi mereka. Walaupun begitu, May meyakini bahwa kecemasan bisa jadi bersifat konstruktif, yang dapat memberikan energi dan semangat kepada manusia. Menurut May (dalam Feist, Roberts, & Feist, 2021), kecemasan manusia muncul Ketika mereka menyadari bahwa eksistensi atau nilai-nilai penting dalam hidupnya dapat terancam. Pada konteks laki-laki Minangkabau, sistem matrilineal membuat mereka tidak memiliki penguasaan atas harta pusaka keluarga, tetapi mereka tetap dituntut untuk bertanggung jawab terhadap keluarga. Kondisi ini dapat menimbulkan kecemasan eksistensial, yaitu kesadaran bahwa keberadaannya dalam komunitasnya ternyata terbatasi oleh sistem sosial yang sudah ada. Merantau menjadi solusi bagi laki-laki Minangkabau untuk mengatasi kecemasan tersebut dengan mencari kebebasan ekonomi dan sosial di tempat lain, sehingga mereka dapat membangun identitas dan eksistensi mereka sendiri.
Bagi perempuan Minangkabau, kecemasan muncul karena kesadaran bahwa peran mereka yang begitu dominan dalam kehidupan keluarga dapat membatasi aktualisasi diri mereka. Mereka menyadari bahwa jika mereka tetap tinggal dalam komunitasnya, mereka berisiko kehilangan peluang untuk meraih prestasi atau pencapaian hasrat pribadi mereka. Perempuan Minangkabau yang memilih merantau berusaha mengatasi kecemasan dengan memperluas pilihan hidup mereka, mengejar pendidikan, karier, dan kebebasan pribadi yang lebih besar. May (dalam Feist, Roberts, & Feist, 2021) juga berpendapat bahwa kebebasan manusia tidak dapat terwujud tanpa kecemasan, dan kecemasan tidak akan muncul tanpa kebebasan. Pada konteks merantau, laki-laki dan perempuan Minangkabau menghadapi dilema antara tetap berada dalam lingkungan sosial yang telah ditentukan atau menghadapi ketidakpastian di tempat baru. Merantau menjadi bentuk keberanian untuk menerima kecemasan sebagai bagian dari pencarian makna dan eksistensi mereka. Tradisi merantau Minangkabau mencerminkan konsep kecemasan dalam teori Rollo May. Pergi mencari penghidupan ke “negeri lain” bukan sebagai sesuatu yang harus dihindari, tetapi sebagai dorongan bagi orang Minangkabau untuk bertumbuh, menemukan kebebasan, dan membentuk identitas diri yang lebih kuat. Hasrat besar untuk mempertahankan “keberadaan” diri adalah alasan kenapa suku Minangkabau memiliki tradisi merantau.
Referensi:
Aprial, D. (2020). Tradisi Merantau pada Masyarakat Minang Kabau dalam Perspektif Teori. Jurnal Kependidikan Dasar Islam Berbasis Sains, 5(02), 229-220.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2016). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Diambil kembali dari KBBI VI Daring: https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Merantau
Daniswari, D. (2022, Mei 6). Mengapa Orang Minang Suka Merantau. Kompas.com.. https://regional.kompas.com/read/2022/05/06/220933878/mengapa-orang-minang-suka-merantau
Feist, G. J., Roberts T., & Feist, J. (2021). Theories of Personality. Tenth Edition. New York: McGraw-Hill Education.
Heriyani, W. (2024, November 8). Apakah Orang Minang sama dengan Orang Padang? Ternyata ini bedanya! Travel.okezone.com.. https://travel.okezone.com/read/2024/11/08/25/3083644/apakah-orang-minang-sama-dengan-orang-padang-ternyata-ini-bedanya
Inayyah, T. P., & Nurchayati. (2020). Gambaran Kebutuhan Eksistensial di Kalangan Perempuan. Jurnal Penelitian Psikologi, 10(02), 243-267 .
Oktaviani, R., Safitri, D., & Herminasari, N. S. (2022). Budaya Merantau Perempuan Minangkabau (Studi Pada Pedagang Perempuan Minangkabau di Pasar Kemiri Muka Beji Kota Depok Provinsi Jawa Barat). Jurnal Studi Budaya Nusantara, 6(1), 1-14.
Wicaksono, B. W. (2020, Oktober 8). Merantau dan Pulang Sebagai Kewajiban. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-bontang/baca-artikel/13443/Merantau-dan-Pulang-Sebagai-Kewajiban.html