ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 36 Juni 2025
Neurodiversity di Organisasi Modern: Tantangan Psikologis dan Peluang Inklusivitas
Oleh:
Muhammad Azruddin Nasution
Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara
Neurodiversity umumnya digambarkan sebagai reaksi dan tantangan terhadap model disabilitas 'medis' yang ada menggambarkan autisme dan bentuk-bentuk neurodivergensi lainnya sebagai cacat/kelainan neurologis yang hanya ada pada diri seseorang. Dengan model medis, masyarakat yang penuh kasih dan adil harus menginvestasikan sumber daya untuk mencoba menyembuhkan atau memperbaiki semua perbedaan neurologis secara medis atau untuk meningkatkan 'fungsi', di mana fungsi didefinisikan oleh ukuran statistik dan cita-cita budaya seperti kemandirian, produktivitas ekonomi, dan sosial. (Rosqvist, 2020)
Gerakan Neurodiversity secara historis dipimpin oleh dan terdiri dari para pendukung dan aktivis autisme dan neurodivergen lainnya, dengan sedikit keterlibatan dari para pemangku kepentingan neurotipikal. Kini, ketika gerakan Neurodiversity mendapatkan daya tarik dalam komunitas autisme yang lebih luas, kami mulai melihat pergeseran positif dalam sikap terhadap autisme pada pemangku kepentingan neurotipikal. (Den Houting, 2019). Pendukung yang paling vokal untuk menyuarakan Neurodiversity adalah orang-orang yang secara medis, kejiwaan, dan pendidikan atau “berada dalam spektrum autisme”. Namun, gerakan ini juga mencakup mereka yang memiliki perbedaan neurologis yang beragam seperti ADHD, disleksia, dispraksia, depresi, epilepsi, Sindrom Tourette, dan sejumlah gangguan kejiwaan dan neurologis lainnya yang telah meningkatkan logika pasar dan hak-hak individu ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. (Mcgee, 2012).
Salah satu keberatan yang paling umum terhadap pendekatan Neuorodiversity adalah bahwa pendekatan ini tidak dapat diterapkan pada penyandang autisme dengan disabilitas intelektual, yang terkadang disebut “Low-Functioning” (istilah yang ditolak oleh banyak pendukung keanekaragaman syaraf karena menstigmatisasi mereka yang memiliki disabilitas intelektual dan meremehkan tantangan dari penyandang autisme lainnya). (Dwyer, 2022). Dalam dunia kerja modern yang semakin dinamis dan kompleks, keberagaman menjadi kata kunci dalam membentuk organisasi yang inovatif dan adaptif. Namun, keberagaman tidak hanya mencakup latar belakang budaya, gender, atau usia melainkan juga keragaman neurologis atau yang dikenal dengan istilah neurodiversity. Istilah ini merujuk pada variasi cara kerja otak manusia, termasuk kondisi seperti autisme, ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder), disleksia, dan lainnya. Alih-alih dipandang sebagai “gangguan,” neurodiversity kini mulai dihargai sebagai bagian dari spektrum normal variasi neurologis manusia.
Dalam konteks sumber daya manusia (SDM), neurodiversity membuka percakapan baru mengenai inklusi yang lebih dalam—yakni menciptakan lingkungan kerja yang tidak hanya menerima keberagaman, tetapi juga merancang sistem yang memungkinkan semua individu, termasuk mereka yang neurodiverse, untuk berkembang secara optimal. Penelitian menunjukkan bahwa organisasi yang mengadopsi pendekatan inklusif terhadap neurodiversity tidak hanya berkontribusi pada kesejahteraan psikologis karyawan, tetapi juga meraih keunggulan kompetitif dalam bentuk peningkatan inovasi, produktivitas, dan loyalitas karyawan.
Sayangnya, banyak organisasi belum sepenuhnya memahami kebutuhan spesifik karyawan neurodiverse. Tantangan seperti stigma, miskomunikasi, hingga ketidaknyamanan sensorik seringkali menyebabkan individu neurodiverse mengalami tekanan psikologis atau bahkan tersingkir dari proses rekrutmen dan pengembangan karier. Oleh karena itu, penting bagi para praktisi HR dan pimpinan organisasi untuk memahami bagaimana menciptakan kebijakan dan budaya kerja yang benar-benar inklusif bagi semua tipe pikiran.
Penerapan inklusi neurodiverse dalam organisasi tidak lepas dari tantangan. Banyak individu neurodiverse menghadapi stigma dan miskonsepsi, yang sering kali menyebabkan tekanan psikologis serius. Mereka sering disalahpahami misalnya, karyawan di spektrum autisme mungkin dinilai kurang "ramah" hanya karena kesulitan membaca isyarat sosial, atau seseorang dengan ADHD dianggap "tidak fokus" padahal sebenarnya memiliki kemampuan berpikir cepat dan kreatif. Selain itu, lingkungan kerja yang ramai dan penuh stimulus, seperti kantor terbuka, dapat menyebabkan overstimulasi sensorik, memicu kecemasan, bahkan burnout pada karyawan dengan sensitivitas tinggi. Kesulitan dalam manajemen waktu, pengaturan prioritas, atau mengikuti struktur kerja yang kaku juga merupakan tantangan tambahan yang sering dihadapi. (Rollnik-Sadowska & Grabińska, 2024). Di sisi lain, manfaat mengintegrasikan neurodiversity dalam tenaga kerja sangat besar. Organisasi yang mengadopsi praktik inklusif untuk neurodiverse tidak hanya mengalami peningkatan produktivitas, tetapi juga lebih inovatif dan kompetitif. Individu dengan pola pikir neurodiverse sering kali menunjukkan keunggulan dalam hal kemampuan analitis, kreativitas, penyelesaian masalah kompleks, serta ketekunan terhadap detail kualitas yang sangat berharga di banyak bidang, dari teknologi hingga keuangan. Untuk mendukung karyawan neurodiverse, pendekatan berbasis kekuatan menjadi sangat penting. Alih-alih berfokus pada "kekurangan", organisasi perlu menciptakan lingkungan kerja yang menghargai keunikan mereka, menyediakan akomodasi seperti ruang kerja yang tenang, jadwal kerja fleksibel, serta dukungan alat dan teknologi untuk membantu mereka mengelola tugas sehari-hari. Pelatihan dan peningkatan kesadaran bagi seluruh staf tentang neurodiversity juga penting untuk membangun budaya kerja yang inklusif dan empatik.
Beberapa perusahaan besar seperti Microsoft telah memimpin gerakan ini melalui program seperti "Autism at Work", yang berhasil meningkatkan kualitas kerja dan loyalitas karyawan mereka. Data menunjukkan bahwa perusahaan yang secara aktif memfasilitasi kebutuhan neurodiverse mampu meningkatkan tingkat retensi karyawan secara signifikan, mengurangi biaya rekrutmen, serta memperkaya budaya inovasi di dalam organisasi. Kesimpulannya, neurodiversity di tempat kerja bukan hanya tentang keadilan sosial atau kepatuhan terhadap prinsip inklusi, melainkan tentang menciptakan organisasi yang lebih adaptif, inovatif, dan kuat secara psikologis. Untuk mencapai itu, perusahaan perlu mengubah pendekatan mereka: memahami kebutuhan unik karyawan neurodiverse, menyediakan dukungan yang tepat, serta membangun budaya kerja yang memberdayakan semua jenis kecerdasan manusia.
Referensi:
Den Houting, J. (2019). Neurodiversity: An insider’s perspective. Autism, 23(2), 271–273. https://doi.org/10.1177/1362361318820762
Dwyer, P. (2022). The Neurodiversity Approach(es): What Are They and What Do They Mean for Researchers? Human Development, 66(2), 73–92. https://doi.org/10.1159/000523723
Mcgee, M. (2012). Neurodiversity. Contexts, 11(3), 12–13. https://doi.org/10.1177/1536504212456175
Rollnik-Sadowska, E., & Grabińska, V. (2024). Managing Neurodiversity in Workplaces: A Review and Future Research Agenda for Sustainable Human Resource Management. Sustainability (Switzerland), 16(15). https://doi.org/10.3390/su16156594
Rosqvist, H. B. (2020). Neurodiversity Studies; A New Critical Paradigm (H. B. Rosqvist, N. Chown, & A. Stenning, Eds.; 1st ed., Vol. 1). Routledge. www.routledge.com/
Den