ISSN 2477-1686  

 Vol. 11 No. 36 Juni 2025

Support System atau Pressure Circle: Ketika Dukungan Berubah Menjadi Tekanan bagi Anak

 Oleh:

Widya Puspa Lestari

Magister Psikologi, Universitas Sumatera Utara

Di era digital dan kompetitif pada masa ini, peran orang tua dalam pendidikan anak tidak lagi terbatas pada lingkungan rumah. Banyak orang tua bergabung dalam komunitas atau kelompok, baik secara langsung maupun melalui platform daring, dengan tujuan untuk saling mendukung dan berbagi informasi mengenai tumbuh kembang anak. Keterlibatan ini semestinya membentuk support system atau dukungan yang mendampingi anak dalam proses tumbuh kembangnya. Namun, dalam praktiknya, dukungan ini dapat bergeser menjadi tekanan ketika ekspektasi orang tua melampaui kapasitas anak, menciptakan apa yang disebut sebagai pressure circle.

Komunitas Orang Tua: Antara Kolaborasi dan Kompetisi

Pada awalnya, komunitas orang tua terbentuk dengan tujuan yang positif: membangun komunikasi antara sekolah dan rumah, serta menciptakan ekosistem pembelajaran yang kondusif bagi anak. Pertemuan ini biasanya terjadi secara alami, seperti saat mereka menjemput atau mengantar anak ke sekolah, berdiskusi mengenai tugas sekolah, atau berbagi pengalaman dalam pengasuhan. Selain itu, sekolah juga rutin mengadakan pertemuan orang tua, seperti rapat wali murid, kegiatan sekolah, atau kolaborasi untuk meningkatkan program pendidikan. Dari interaksi ini, orang tua semakin akrab dan merasa perlu untuk membentuk wadah komunikasi yang lebih terstruktur, seperti grup WhatsApp atau pertemuan berkala, agar dapat terus berdiskusi mengenai perkembangan anak dan lingkungan sekolah mereka.

Joyce L. Epstein (2001) mengemukakan enam tipe keterlibatan orang tua dalam pendidikan, yaitu: pengasuhan, komunikasi, partisipasi di sekolah, pembelajaran di rumah, pengambilan keputusan, serta kerja sama dengan komunitas. Apabila keenam aspek ini diterapkan secara seimbang, maka akan memberikan manfaat positif bagi anak. Namun, dalam kenyataannya, interaksi antar orang tua sering kali bergeser menjadi arena perbandingan. Nilai rapor, jumlah kegiatan ekstrakurikuler, bahkan pencapaian non-akademik anak menjadi bahan diskusi dan tak jarang berubah menjadi kompetisi. Fenomena ini dikenal dengan istilah “mompetition”, yakni kompetisi antar orang tua dalam hal pencapaian anak, yang bukan bertujuan untuk mendukung, tetapi membuktikan siapa yang lebih unggul (Parapuan, 2023). Ketika dukungan antar orang tua bergeser menjadi ajang pembuktian siapa anak yang paling unggul, komunitas yang awalnya menjadi wadah saling bantu berubah menjadi lingkungan yang penuh tekanan, baik bagi orang tua maupun anak-anak mereka.

Dampak Psikologis terhadap Anak

Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh tekana akan menciptakan tekanan psikologis pada anak. Mereka tidak lagi belajar karena rasa ingin tahu, tetapi karena takut gagal memenuhi harapan. Penelitian dari Stanford University menunjukkan bahwa keterlibatan orang tua yang terlalu intens dapat berdampak negatif pada perkembangan perilaku anak, terutama ketika interaksi tersebut dipenuhi dengan tekanan dan kontrol (Stanford News, 2021). Dalam konteks Indonesia, fenomena ini juga kian terlihat, terutama di media sosial. Banyak orang tua yang secara tidak langsung menunjukkan capaian anak sebagai bentuk validasi sosial. Menurut Primaku (2023), praktik membandingkan anak dengan anak lain dapat menyebabkan perasaan rendah diri, stres, bahkan gangguan kecemasan pada anak. Selain itu, anak juga dapat mengalami kesulitan dalam mengenal jati diri mereka. Mereka lebih fokus pada memenuhi ekspektasi eksternal, daripada mengeksplorasi minat dan potensi pribadi mereka. Hal ini tidak hanya memengaruhi motivasi belajar, tetapi juga kesejahteraan emosional dan hubungan sosial anak. Lebih jauh lagi, tekanan semacam ini berisiko memicu konflik dalam hubungan anak dan orang tua. Anak mungkin merasa bahwa cinta dan perhatian yang mereka terima bersyarat, hanya diberikan jika mereka berprestasi. Kondisi ini tentu tidak ideal dalam proses pembentukan karakter dan kepercayaan diri anak.

Membangun Dukungan yang Sehat

Komunitas orang tua semestinya menjadi ruang aman untuk bertumbuh bersama, bukan tempat adu gengsi. Penting bagi orang tua untuk saling mengingatkan bahwa setiap anak memiliki jalan dan waktu tumbuh yang berbeda. Keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak idealnya berfungsi sebagai fondasi penguatan karakter, bukan sebagai sumber tekanan. Dukungan yang sehat berarti membimbing anak sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan mereka, bukan berdasarkan standar yang ditentukan oleh lingkungan atau komunitas sosial. Dalam konteks ini, orang tua dituntut untuk memiliki kepekaan dalam memahami bahwa setiap anak memiliki kecepatan belajar, minat, dan potensi yang berbeda. Menurut Carol Dweck (2006), psikolog dari Stanford University yang terkenal dengan konsep growth mindset, penting bagi orang tua untuk menghargai usaha dan proses belajar anak, bukan hanya menilai mereka berdasarkan hasil akhir seperti nilai ujian atau peringkat kelas. Ketika orang tua mengapresiasi proses, anak akan lebih termotivasi untuk belajar karena merasa dihargai atas kerja kerasnya, bukan semata-mata karena pencapaian akhir. Pendidikan bukanlah sebuah perlombaan, melainkan proses panjang yang memerlukan kesabaran dan kepekaan. Anak tidak membutuhkan tekanan untuk menjadi terbaik, tetapi dorongan untuk menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.

Referensi:

Dweck, C. S. (2006). Mindset: The new psychology of success. Random House.

Epstein, J. L. (2001). School, family, and community partnerships: Preparing educators and improving schools. Westview Press.

Parapuan. (2023). Mompetition: Mengapa ibu saling berkompetisi untuk urusan parenting? https://www.parapuan.co

Stanford University. (2021). Study reveals impact of too much parental involvement. https://news.stanford.edu

 

Primaku. (2023). Dampak Membandingkan Anak dengan Anak Lain. https://primaku.com