ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 35 Juni 2025
Verbivora: Makhluk Pemakan Kata-Kata
Oleh:
Princen
Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan
Ucapan adalah doa
Kata-kata ini merupakan ungkapan yang sering terdengar di percakapan sehari-hari kita. Tujuan dari ungkapan ini merupakan nasehat agar kita hati-hati dalam berucap dan mengatakan sesuatu. Di balik ungkapan sederhana ini terdapat pengertian mendalam bahwa kata-kata bukan sekadar alat komunikasi, melainkan sarana untuk membentuk kenyataan hidup. Dalam banyak ajaran agama dan tradisi juga dapat kita temukan pesan serupa dengan tujuan mengajarkan kita agar cermat dalam memilih perkataan dan menggunakannya untuk membangun. Kita barangkali menganggapnya hanya sebagai ajaran moral atau spiritual belaka, padahal secara psikologis dan sosial, pernyataan ini sangat tepat. Manusia, sadar atau tidak, hidup dari kata-kata yang ia ucapkan, dengar, dan ulang terus dalam hati. Seperti makhluk yang bergantung pada makanan, kita pun bergantung pada bahasa untuk membentuk makna, jati diri, dan masa depan. Kita adalah verbivora, makhluk pemakan kata-kata (Roberts, 1997, dalam Yarhouse & Sells, 2017). Lebih lanjut lagi, kata-kata tidak hanya merupakan sarana kita berkomunikasi, tetapi kata-kata menjadi bahan dasar dari cara kita memahami diri kita sendiri. Identitas diri kita tidak hanya terbentuk dari pengalaman kita, tetapi juga dari bagaimana kita memaknai pengalaman tersebut. Bahkan, seringkali kita juga sudah memaknai diri kita, bukan dari pengalaman yang kita rasakan, tetapi dari kata-kata atau label yang ditujukan kepada kita. Label dan sebutan yang diberikan orang lain akan kita “makan dan cerna” menjadi bagian dari diri kita.
Bayangkan seorang anak kecil yang selalu dimarahi, “Kamu bandel!” Setiap kali kata itu diucapkan, anak itu tanpa sadar mulai menerima label tersebut sebagai bagian dari identitas dirinya. Ketika anak itu menginternalisasi hal tersebut maka ia akan mulai bersikap seperti “anak bandel” karena itulah identitas yang dia dapatkan dari orang dewasa. Hal ini menggambarkan bagaimana kata-kata kita cerna dan kemudian membentuk perilaku dan pandangan diri seseorang. Ungkapan lain seperti “Lidah lebih tajam daripada pedang” juga menggambarkan kekuatan dari kata-kata yang dapat menyebabkan orang mengalami luka psikologis walaupun luka tersebut tidak tampak secara fisik. Konsep bahwa bahasa membentuk realitas ini juga mendapatkan bagian yang penting dalam dunia psikologi. Berbagai pendekatan terapeutik modern menekankan peran kata-kata dalam mempengaruhi pikiran dan emosi. Misalnya, dalam terapi naratif, klien diajak untuk menguraikan kembali cerita hidupnya. Proses menyusun ulang narasi ini bertujuan membebaskan individu dari cerita negatif yang selama ini membatasi, sehingga memungkinkan identitas baru yang lebih memberdayakan terbentuk (Narrative Therapy Centre, n.d.). Begitu pula dalam Acceptance and Commitment Therapy (ACT), di mana klien didorong untuk mengubah hubungan mereka dengan kata-kata dan pikiran yang mengekang, bukan dengan menghapusnya, melainkan dengan mengambil jarak dari pikiran yang mengekang, menerima dan mengubah maknanya (Harris, 2011).
Tidak hanya itu, terapi perilaku kognitif (CBT) juga mengajarkan bahwa pikiran, yang dalam bentuknya sering berupa kalimat atau kata-kata, berperan krusial dalam mengatur emosi dan perilaku. Dengan mengenali dialog internal yang negatif, individu dapat belajar untuk menggantinya dengan kata-kata positif dan realistis (American Psychological Association, 2017). Tak heran jika praktik konseling atau terapi wicara justru menempatkan dialog sebagai alat utama penyembuhan. Dalam sesi konseling, kata-kata bukan hanya menjadi sarana untuk menyampaikan masalah, tetapi juga sebagai media untuk merefleksikan dan menata ulang pandangan diri. Proses ini memungkinkan seseorang untuk melihat kembali cerita hidupnya dan menemukan kembali makna yang lebih konstruktif. Di ruang konseling inilah, manusia benar-benar tampil sebagai verbivora, makhluk yang diubah dan dibentuk oleh setiap kata yang diucapkan dan didengarnya.
Di balik semua teori dan praktik ini, tersimpan pesan bahwa kata-kata memiliki kuasa luar biasa. Mereka bukan hanya rangkaian bunyi atau teks semata, melainkan “makanan” yang dapat menjadi asupan atau racun jiwa. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk lebih cermat dalam memilih kata-kata, baik ketika mengucapkannya kepada orang lain maupun ketika berbicara kepada diri sendiri. Pada akhirnya, “ucapan adalah doa” mengandung makna bahwa setiap kata yang keluar dari bibir kita membawa potensi untuk mengubah realitas. Baik sebagai alat penyembuhan, penguat identitas, maupun sebagai cermin bagi pengalaman hidup. Dan seiring waktu, dengan memahami kekuatan ini, kita dapat belajar untuk lebih bijak dalam menata narasi kehidupan kita, sehingga identitas yang terbentuk bukanlah hasil dari kata-kata yang menyakiti, melainkan kata-kata yang menguatkan dan membangun.
Referensi:
American Psychological Association (2017). What is cognitive behavioral therapy? Diakses 3 Mei 2025 dari https://www.apa.org/ptsd-guideline/patients-and-families/cognitive-behavioral
Harris, R. (2011). Embracing your demons: An overview of acceptance and commitment therapy. Diakses 3 Mei 2025 dari https://www.psychotherapy.net/article/Acceptance-and-Commitment-Therapy-ACT
Narrative Therapy Centre (n.d.). About narrative therapy. Diakses 3 Mei 2025, dari https://narrativetherapycentre.com/about/
Yarhouse, M. A., & Sells, J. N. (2017). Family therapies: A comprehensive Christian appraisal (2nd ed.). InterVarsity Press.