ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 34 Mei 2025
Dilema Self-Reward: Apresiasi Diri atau Perilaku Konsumtif?
Oleh:
Annisa Fitri Mulyani
Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara
Di era digital saat ini, tren self-reward semakin populer, terutama di kalangan generasi muda. Fenomena ini kerap muncul di media sosial, di mana banyak orang membagikan pengalaman mereka saat memberikan self-reward, seperti membeli barang mewah, menikmati kuliner favorit, atau melakukan perjalanan wisata. Hal ini menunjukkan bahwa self-reward erat kaitannya dengan kegiatan mengeluarkan uang demi mengapresiasi diri. Konsep self-reward sekilas terlihat positif karena dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis. Namun, di sisi lain, kebiasaan ini juga dapat memicu perilaku konsumtif yang tidak terkontrol. Fenomena ini menimbulkan dilema: apakah self-reward benar-benar dilakukan sebagai bentuk apresiasi diri, atau justru hanya menjadi alasan untuk berperilaku konsumtif?
Self-reward pada dasarnya merujuk pada cara seseorang menghargai dirinya sendiri, baik melalui apresiasi maupun pemberian hadiah, sebagai wujud apresiasi terhadap upaya yang telah dilakukan hingga berhasil mencapai suatu tujuan (Wahyuningsari et al., 2022). Secara psikologis, self-reward dapat meningkatkan motivasi serta memberikan kepuasan emosional. Namun, dalam praktiknya, banyak individu yang menggunakan konsep ini sebagai justifikasi untuk melakukan pembelian barang atau jasa yang sebenarnya tidak dibutuhkan.
Pada beberapa individu, self-reward sering kali berubah menjadi perilaku konsumtif yang dilakukan hanya untuk menuruti nafsu semata (Wahyuningsari et al., 2022). Mereka menggunakan konsep self-reward untuk melakukan pembelian implusif yang sebenarnya tidak diperlukan sehingga berujung pada perilaku pemborosan. Padahal idealnya, keputusan pembelian yang dilakukan seseorang seharusnya didasarkan pada faktor kebutuhan, manfaat, dan perencanaan keuangan yang matang (Rick et al., 2008). Penelitian menunjukkan bahwa perilaku konsumtif sering kali menghasilkan kepuasan jangka pendek dan dapat berujung pada tantangan finansial dan emosional dalam jangka panjang (Celestin & Vanitha, 2021). Semakin sering seseorang berperilaku konsumtif, semakin besar kemungkinan mereka merasa menyesal setelahnya, yang kemudian dapat berdampak negatif pada kondisi emosional mereka.
Lalu, bagaimana cara agar self-reward tetap menyenangkan tanpa membuat dompet menjerit? Simak beberapa strategi bijak agar self-reward benar-benar bermanfaat tanpa berujung pada perilaku konsumtif!
- Prioritaskan Kebutuhan Utama: Pastikanlah bahwa self-reward tidak mengesampingkan kebutuhan yang lebih penting dan mendesak dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai kebiasaan self-reward mengorbankan kebutuhan penting lainnya seperti tabungan, biaya pendidikan, atau dana darurat.
- Buat Perencanaan Keuangan yang Matang: Tetapkan anggaran khusus untuk self-reward agar pengeluaran tidak mengganggu kestabilan finansial dan tetap dalam batas wajar.
- Kendalikan Diri dari Belanja Implusif: Hindari godaan untuk membeli sesuatu hanya karena keinginan sesaat atau karena tren yang sedang viral di media sosial. Tunda pembelian selama beberapa waktu untuk memastikan apakah barang tersebut memang bermanfaat.
- Jadilah Konsumen Cerdas: Sebelum membeli atau melakukan suatu kegiatan sebagai bentuk self-reward, lakukan riset terlebih dahulu dan pastikan barang atau aktivitas tersebut benar-benar bermanfaat bagi diri sendiri.
- Self-reward Tidak Selalu Harus Membeli Barang: Sebagai alternatif, self-reward dapat berupa kegiatan yang mendukung kesejahteraan psikologis, seperti menyisihkan waktu untuk menjalani hobi, menghabiskan momen berkualitas bersama keluarga, atau sekadar beristirahat dari kesibukan sehari-hari untuk menyegarkan pikiran.
Selain menerapkan empat strategi di atas, penting untuk diketahui bahwa self-reward hanya akan berhasil jika diberikan setelah seseorang benar-benar mencapai tujuannya (Koch et al., 2014). Jika seseorang tetap memberikan self-reward pada dirinya meskipun gagal mencapai suatu target, maka efektivitas self-reward untuk menjadi motivasi pada pencapaian-pencapaian berikutnya akan berkurang. Artinya seseorang harus bisa menahan diri untuk tidak melakukan self-reward jika gagal mencapai suatu target. Hal ini didukung oleh pernyataan Wahyuningsari (2022) bahwa self-reward bertujuan untuk memberikan kebahagiaan bagi diri sendiri setelah melewati proses kerja atau berhasil menyelesaikan suatu tugas. Oleh karena itu, self-reward sebaiknya diberikan dengan bijak dan sesuai dengan pencapaian agar tetap bermanfaat sebagai bentuk apresiasi diri, bukan malah menjadi perilaku konsumtif.
Referensi:
Celestin, M., & Vanitha, N. (2021). The psychology of spending: Why we buy things we don’t need. International Journal of Advanced Trends in Engineering and Technology, 6(2), 55–63. https://www.researchgate.net/publication/386216116_THE_PSYCHOLOGY_OF_SPENDING_WHY_WE_BUY_THINGS_WE_DON’T_NEED
Koch, A. K., Nafziger, J., Suvorov, A., & Ven, J. van de. (2014). Self-rewards and personal motivation. European Economic Review, 68, 151–167. https://doi.org/10.1016/j.euroecorev.2014.02.003
Rick, S. I., Cryder, C. E., & Loewenstein, G. (2008). Tightwads and spendthrifts. Journal of Consumer Research, 34(6), 767–782. https://doi.org/10.1086/523285
Wahyuningsari, D., Hamzah, M. R., Arofah, N., Hilmiyah, L., & Laili, I. (2022). Maraknya hedonisme berkedok self-reward. Jurnal Ilmu Sosial Humaniora Indonesia, 2(1), 7–11. https://doi.org/10.52436/1.jishi.24