ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 26 Januari 2025
Self-Criticism menuju Self-Love: Perjalanan Menerima dan Mencintai Diri Apa Adanya
Oleh:
Popi Avati
Fakultas Psikologi, Universitas Mercubuana
Mengapa Kita Sulit Mencintai Diri Sendiri?
Banyak di antara kita yang tanpa disadari sangat mudah berempati, memberikan semangat, sampai dengan mudah mencintai orang lain namun sering susah untuk menyemangati bahkan mencintai diri sendiri. Kita lebih mudah dalam menemukan kekurangan dibandingkan dengan kelebihan yang ada pada diri, lebih cepat menyalahkan diri sendiri daripada memberi apresiasi atas usaha yang telah dilakukan. Fenomena ini disebut sebagai self-criticism, suatu pola pikir yang sering kali berkembang akibat pengalaman masa kecil, standar sosial yang tinggi, serta pengaruh budaya yang menekankan kesempurnaan. Menurut penelitian oleh Gilbert dan Procter (2006), self-criticism memiliki hubungan erat dengan gangguan kecemasan. Hal ini terjadi karena kritik diri yang berlebihan dapat menghambat seseorang untuk melihat potensinya dan justru membuatnya takut untuk mencoba. Sebuah kegagalan kecil bisa dianggap sebagai bukti bahwa dirinya tidak cukup baik, sehingga menimbulkan perasaan tidak berharga yang semakin dalam. Selain itu pengaruh media sosial juga turut serta memberikan dampak terhadap self criticism ini. Melalui media sosial, orang-orang sering kali membandingkan diri dengan standar yang tidak realistis, melihat kehidupan orang lain yang tampak lebih sempurna di layar ponsel, tanpa menyadari bahwa apa yang mereka lihat hanyalah bagian terbaik yang dipilih untuk ditampilkan. Hal ini menciptakan ilusi bahwa diri sendiri selalu tertinggal, selalu kurang, dan tidak pernah cukup baik (Twenge & Campbell, 2009).
Bagaimana caranya menuju Self Love ?
Untuk bisa merubah kebiasaan mengkritik sendiri tentunya bukan hal yang mudah. Hal ini perlu kesadaran, komitmen dan latihan yang konsisten. Kristin Neff (2011), ahli psikologi yang menemukan konsep self-compassion, menyatakan bahwa mencintai diri sendiri bukan berarti memanjakan atau membenarkan semua tindakan tanpa evaluasi, melainkan belajar menerima diri secara utuh, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki.Salah satu langkah awal yang bisa dilakukan adalah menyadari bagaimana kita berbicara kepada diri sendiri. Sering kali, kita menggunakan kata-kata yang jauh lebih keras kepada diri sendiri dibandingkan dengan yang kita gunakan untuk teman atau orang yang kita sayangi. Jika seorang teman melakukan kesalahan, kita cenderung memberikan kata-kata yang menenangkan seperti, "Tidak apa-apa, semua orang pernah mengalami ini." Namun, ketika diri sendiri melakukan kesalahan, responsnya bisa berbeda, seperti "Aku memang bodoh," atau "Aku selalu gagal dalam segala hal." Dengan mengubah cara berbicara kepada diri sendiri menjadi lebih lembut dan penuh pengertian, kita mulai melatih self-compassion. Selain itu hal lain yang bisa menemukan agar lebih mencintai diri sendiri adalah dengan menerima kegagalan dan ketidak sempurnaan sebagai bagian dari kehidupan dan aspek penting dalam perjalanan kehidupan. Brown (2010) dalam bukunya The Gifts of Imperfection menekankan bahwa manusia tidak dituntut untuk sempurna, dan justru dalam ketidaksempurnaanlah kita bisa menemukan makna dan pertumbuhan. Dengan memahami bahwa kegagalan bukanlah cerminan dari nilai diri yang rendah, melainkan bagian dari proses belajar, kita dapat lebih mudah memaafkan diri sendiri dan terus melangkah maju. Terakhir, hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan self love adalah menemukan dan membangun lingkungan yang positif. Lingkungan yang dipenuhi dengan orang-orang yang saling mendukung dan menghargai akan membantu kita merasa lebih aman dan diterima. Sebaliknya, lingkungan yang dipenuhi dengan kritik, persaingan tidak sehat, atau ekspektasi yang tidak realistis hanya akan semakin memperkuat pola pikir self-criticism. Oleh karena itu, penting untuk memilih lingkungan sosial yang sehat, di mana kita bisa tumbuh tanpa rasa takut akan penilaian negatif yang berlebihan.
Manfaat dari Self Love
Salah satu manfaat dari kemampuan mencintai diri sendiri adalah memiliki kematangan emosi yang baik, percaya diri dan memiliki kemampuan dalam menghadapi tantangan tanpa mudah menyerah. Studi yang dilakukan oleh MacBeth dan Gumley (2012) menunjukkan bahwa semakin mereka mampu mencintai diri sendiri maka peluang untuk munculnya depresi dan kecemasan semakin bisa di teka. Selain itu, self-love juga membawa dampak positif pada hubungan interpersonal. Ketika seseorang mencintai dirinya sendiri, mereka tidak lagi mencari validasi dari orang lain secara berlebihan dan lebih mampu menjalin hubungan yang sehat serta saling mendukung. Mereka lebih cenderung menetapkan batasan yang sehat dalam hubungan, sehingga tidak mudah terjebak dalam pola hubungan yang toksik atau merugikan.
Kesimpulan
Perjalanan dari self-criticism ke self-love bukanlah sesuatu yang dapat dicapai dengan mudah, tetapi dengan kesadaran dan usaha yang konsisten, kita bisa mulai membangun hubungan yang lebih sehat dengan diri sendiri. Mengubah cara berbicara kepada diri sendiri, menerima ketidaksempurnaan, memilih lingkungan yang mendukung, serta menerapkan self-compassion adalah beberapa langkah yang dapat membantu kita menuju kehidupan yang lebih bahagia dan seimbang. Seperti yang dikatakan oleh Brene Brown, "Mencintai diri sendiri berarti memiliki keberanian untuk menerima diri apa adanya, tanpa syarat dan tanpa takut akan penilaian orang lain."
Referensi
Brown, B. (2010). The gifts of imperfection: Let go of who you think you're supposed to be and embrace who you are. Hazelden Publishing.
Gilbert, P., & Procter, S. (2006). Compassionate mind training for people with high shame and self-criticism: Overview and pilot study of a group therapy approach. Clinical Psychology & Psychotherapy, 13(6), 353–379. https://doi.org/10.1002/cpp.507
MacBeth, A., & Gumley, A. (2012). Exploring compassion: A meta-analysis of the association between self-compassion and psychopathology. Clinical Psychology Review, 32(6), 545–552. https://doi.org/10.1016/j.cpr.2012.06.003
Neff, K. (2011). Self-compassion: Stop beating yourself up and leave insecurity behind. HarperCollins.
Twenge, J. M., & Campbell, W. K. (2009). The narcissism epidemic: Living in the age of entitlement. Atria Books.