ISSN 2477-1686  

 Vol. 10 No. 21 November 2024

Bolehkah Menggunakan Campuran Bahasa dalam Berkomunikasi?

 

Oleh:

Chandra Yudistira Purnama

Fakultas Psikologi, Universitas Jenderal Achmad Yani Cimahi

 

Pernahkah Anda mendengar mahasiswa menggunakan kalimat seperti ini: "Nanti gue mau ke library buat ngerjain tugas.", "Bentar ya, gue check dulu di email.", atau “Ntar siang kita lunch apa yah?.”. Jika ya, maka Anda telah menyaksikan fenomena yang cukup umum dalam percakapan sehari-hari mahasiswa, yaitu penggunaan bahasa campur antara Bahasa Indonesia dan bahasa asing, biasanya Bahasa Inggris.Bahasa campur, atau yang sering disebut code-switching, bukanlah fenomena baru, terutama di kalangan anak muda dan mahasiswa saat ini (Sahrawi et al., 2019). Hal ini sering muncul dalam interaksi sehari-hari, baik di lingkungan akademis, sosial, secara daring maupun luring. Banyak dari kita mungkin bertanya-tanya, "Mengapa sih mereka suka mencampur bahasa?" atau bahkan, "Apa dampaknya pada cara mereka berkomunikasi dan berinteraksi?" Dalam tulisan ini, penulis akan membahas fenomena bahasa campur ini dari sudut pandang psikologi. Melalui tulisan ini mencoba mengeksplorasi bagaimana penggunaan bahasa campur mempengaruhi mahasiswa, baik dari sisi psikologi maupun dalam interaksi sosial mereka di lingkungan kampus.

Perspektif Psikologi dalam Penggunaan Bahasa Campur

Code-switching, atau fenomena penggunaan bahasa campur, telah menjadi bagian yang semakin menonjol dalam komunikasi sehari-hari di Indonesia (Foster & Welsh, 2021). Istilah ini merujuk pada praktik berpindah-pindah bahasa dalam percakapan yang sama, misalnya dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris, atau sebaliknya (Suhardianto & Afriana, 2022). Di lingkungan kampus, fenomena ini semakin mudah ditemukan, terutama di kalangan mahasiswa yang terbiasa menggunakan kedua bahasa tersebut (Ajiza, 2022; Thesa, 2017). Dari sudut pandang psikologi, code-switching bisa mencerminkan lebih dari sekadar keinginan untuk tampil modern; hal ini juga berkaitan erat dengan identitas sosial, kebutuhan komunikasi, serta proses kognitif yang kompleks.

Pada dasarnya, code-switching bisa terjadi karena berbagai alasan (Suhardianto & Afriana, 2022; Wahyuni et al., 2023). Salah satu faktor yang sering muncul adalah kemampuan bilingualisme, di mana seseorang menguasai lebih dari satu bahasa. Menurut teori psikologi kognitif, otak manusia yang mampu memproses lebih dari satu bahasa sering kali beradaptasi dengan mudah dalam situasi di mana kedua bahasa tersebut digunakan secara bersamaan (Hanif Hukama et al., 2024). Para penutur bilingual cenderung merasa lebih nyaman saat mengekspresikan ide atau perasaan mereka menggunakan berbagai bahasa, terutama jika kosakata dalam satu bahasa dirasa lebih tepat atau efisien dibandingkan yang lain. Ini adalah bentuk adaptasi linguistik yang sangat natural, meski bagi sebagian orang mungkin terlihat seperti pencampuran bahasa yang tidak konsisten. Selain faktor kognitif, motivasi sosial juga berperan penting dalam fenomena code-switching (Wahyuni et al., 2023). Mahasiswa sering kali menggunakan bahasa Inggris sebagai simbol status, menunjukkan kemampuan mereka dalam bahasa internasional yang dianggap memiliki prestise tinggi. Dalam konteks psikologi sosial, bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga penanda identitas (Wahyuni et al., 2023). Mahasiswa yang fasih menggunakan bahasa Inggris mungkin merasa lebih percaya diri dan lebih diterima dalam kelompok sosial tertentu, terutama di lingkungan akademis yang mendorong penggunaan bahasa tersebut (Latifah, 2021). Dengan demikian, code-switching sering kali digunakan untuk membangun identitas diri yang terkait dengan modernitas, globalisasi, atau pendidikan tinggi.

Fenomena ini juga dapat dilihat sebagai cara untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma komunikasi yang berlaku dalam kelompok sosial tertentu. Dalam teori identitas sosial, manusia cenderung ingin menjadi bagian dari kelompok yang mereka nilai positif (Pertiwi & Indrawati, 2019). Penggunaan bahasa campur bisa menjadi cara mahasiswa untuk menunjukkan keanggotaan mereka dalam komunitas global yang lebih luas. Di sisi lain, mereka juga bisa menegaskan keindonesiaan mereka dengan tetap menggunakan bahasa Indonesia dalam situasi yang lebih informal atau saat berbicara dengan orang yang kurang terbiasa dengan bahasa Inggris.

Namun, dalam melakukan code-switching juga memiliki tantangan, terutama jika dilihat dari sudut pandang psikologis (Anwar, 2020). Proses ini memerlukan kemampuan mental yang signifikan. Seseorang yang melakukan code-switching dalam gaya komunikasinya harus terus menerus memilih kata dan struktur kalimat yang sesuai dari dua sistem bahasa yang berbeda. Hal ini memerlukan kontrol kognitif yang kuat, di mana otak harus menekan penggunaan bahasa yang satu saat sedang berbicara dalam bahasa yang lain (Anwar, 2020). Ketika mahasiswa sering kali menggunakan code-switching, mereka mungkin menghadapi kelelahan mental yang lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa yang monolingual, meskipun otak mereka sudah terlatih dalam pengolahan dua bahasa.

Selain itu, fenomena ini juga dapat menciptakan ambiguitas dalam pesan yang ingin disampaikan. Penelitian dalam psikologi menunjukkan bahwa penggunaan bahasa campur yang berlebihan dapat menyebabkan ketidakjelasan dalam pemahaman, terutama bagi pendengar yang tidak terbiasa dengan kedua bahasa yang digunakan (Johnson et al., 2022). Mahasiswa yang menggunakan code-switching mungkin secara tidak sadar mengecualikan individu yang tidak menguasai bahasa Inggris dengan baik, yang bisa menyebabkan kesenjangan komunikasi. Dalam situasi akademik atau sosial, hal ini dapat menimbulkan perasaan terisolasi bagi mereka yang merasa tidak mampu mengikuti percakapan.

 

Dari perspektif psikologi perkembangan, fenomena code-switching juga bisa dilihat sebagai bagian dari proses perkembangan identitas (Johnson et al., 2022). Pada masa remaja akhir hingga dewasa muda, individu sering kali mencari cara untuk mengekspresikan diri dan mengeksplorasi identitas mereka. Bahasa menjadi salah satu alat yang penting dalam proses ini. Mahasiswa yang berada di tengah-tengah pengaruh budaya lokal dan global mungkin merasa terdorong untuk menggunakan kedua bahasa secara bergantian sebagai cara untuk menjembatani dua dunia ini. Dalam konteks ini, code-switching dapat dilihat sebagai bentuk kreativitas linguistik yang membantu mereka menemukan tempat dalam komunitas global tanpa meninggalkan akar budaya lokal mereka. Meskipun demikian, tidak semua mahasiswa menggunakan code-switching dengan sengaja atau penuh kesadaran. Ada situasi di mana penggunaan bahasa campur terjadi secara otomatis tanpa pemikiran lebih lanjut. Psikolog lingustik menyebut fenomena ini sebagai "unconscious code-switching," di mana perpindahan bahasa terjadi karena kebiasaan atau karena otak merasa lebih mudah memproses informasi dalam bahasa tertentu (Ijudin et al., 2021). Dalam kasus ini, mahasiswa mungkin tidak menyadari bahwa mereka sedang menggunakan bahasa campur, karena bahasa tersebut telah menjadi bagian dari rutinitas mental mereka.

 

Di sisi lain, ada juga dimensi emosional yang perlu dipertimbangkan dalam code-switching. Bahasa sering kali membawa muatan emosional, dan mahasiswa mungkin merasa lebih nyaman atau lebih bebas mengekspresikan perasaan mereka dalam satu bahasa dibandingkan dengan yang lain (Anwar, 2020). Bahasa Indonesia mungkin dirasakan lebih hangat dan akrab, sementara bahasa Inggris memberikan rasa profesionalisme atau intelektualitas. Dalam percakapan sehari-hari, perpindahan bahasa ini bisa mencerminkan perubahan emosi atau suasana hati dari penutur, yang secara tidak sadar mencoba menyesuaikan komunikasi mereka dengan konteks emosional yang sedang dihadapi. Secara keseluruhan, fenomena code-switching di kalangan mahasiswa mencerminkan kompleksitas dari interaksi antara faktor kognitif, sosial, dan emosional (Alfarisy et al., 2023; Anwar, 2020; Ijudin et al., 2021; Johnson et al., 2022). Dari sudut pandang psikologi, penggunaan bahasa campur ini tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai sarana untuk membangun identitas, menavigasi norma sosial, dan mengekspresikan diri secara lebih luas (Johnson et al., 2022). Meskipun fenomena ini memiliki beberapa tantangan, terutama dalam hal kejelasan komunikasi dan potensi kelelahan mental, code-switching tetap menjadi salah satu bentuk adaptasi linguistik yang menarik dan relevan dalam masyarakat global saat ini.

 

Fenomena ini mengajak kita untuk melihat bahwa bahasa bukan hanya sekadar kata-kata, tetapi juga alat yang fleksibel dan dinamis dalam mencerminkan siapa kita, bagaimana kita berpikir, dan bagaimana kita berhubungan dengan dunia di sekitar kita. Code-switching, dengan segala kompleksitasnya, merupakan cerminan dari dunia yang semakin terhubung, di mana identitas dan komunikasi saling berjalin dengan bahasa-bahasa yang kita gunakan setiap hari.

 

Referensi

Anwar, B. (2020, January 29). Code Switching: Exploring the Mental Health Costs. Https://Www.Talkspace.Com. https://www.talkspace.com/blog/code-switching-what-is/

Foster, S. M., & Welsh, A. (2021). A ‘new normal’ of code-switching: Covid-19, the Indonesian media and language change. Indonesian Journal of Applied Linguistics, 11(1), 200–210. https://doi.org/10.17509/ijal.v11i1.34621

Hanif Hukama, M., Damara, I., & Fauzi Rachman, I. (2024). Pembelajaran Bilingual: Pemerolehan dan Perkembangan Bahasa Kedua Terhadap Kemampuan Kognitif Anak Bilingual. Jurnal SOSHUMDIK, 3(1), 119–131.

Ijudin, M., Irianti, L., & Rachmawati, E. (2021). THE ROLES OF CODE SWITCHING IN SPEAKING ENGLISH AS A FOREIGN LANGUAGE. JALL (Journal of Applied Linguistics and Literacy, 5(2), 2021. https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/jall/index

Johnson, D. G., Mattan, B. D., Flores, N., Lauharatanahirun, N., & Falk, E. B. (2022). Social-Cognitive and Affective Antecedents of Code Switching and the Consequences of Linguistic Racism for Black People and People of Color. Affective Science, 3(1), 5–13. https://doi.org/10.1007/s42761-021-00072-8

Latifah, L. (2021). ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM PRESENTASI MAHASISWA DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA ZOOM CLOUDS MEETING DI IKIP SILIWANGI. Semantik, 10(1), 65–76. https://doi.org/10.22460/semantik.v10i1.p65-76

Ajiza, M. (2022). PENGGUNAAN “CODE-SWITCHING” DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS UNTUK MAHASISWA TEKNIK. In Seminar Nasional. https://media.neliti.com/media/publications/77106-

Pertiwi, L. P., & Indrawati, E. S. (2019). HUBUNGAN ANTARA IDENTITAS SOSIAL DENGAN PERILAKU MEMBELI AKSESORI MOBIL PADA KOMUNITAS GREAT COROLLA DI MAGELANG. Jurnal Empati, 8(1), 238–246.

Sahrawi, Anita, F., & Rodhi. (2019). ANALISIS PENGGUNAAN CODE SWITCHING. Jurnal Pendidikan Bahasa, 8(1), 171–182. http://journal.ikippgriptk.ac.id/index.php/bahasa

Alfarisy, F., Khaifad, A. W., Hadi, N. A. M., & Adawiyah, S. R. (2023). Fenomena Campur Kode dan Alih Kode Mahasiswa Pembelajar Bahasa Jepang Sekolah Vokasi UNDIP. Kiryoku: Jurnal Studi Kejepangan, 7(1), 173–179.

Suhardianto, & Afriana. (2022). THE TYPES AND FACTORS OF CODE SWITCHING IN “ENGLISH TIME” COURSE. Jurnal Ide Bahasa, 4(1), 53–62.

Thesa, K. (2017). PENGGUNAAN ALIH KODE DALAM PERCAKAPAN PADA JARINGAN WHATSAPP OLEH MAHASISWA KNB YANG BERKULIAH DI UNIVERSITAS SEBELAS MARET. Prasasti: Journal of Linguistic, 2(1).

Wahyuni, R. D., Andayani, & Sumarwati. (2023). PENYEBAB ALIH KODE DAN CAMPUR KODE ANTARA MAHASISWA KAMPUS MENGAJAR DAN SISWA SDN 2 JENAWI. Lingua Franca: Jurnal Bahasa, Sastra, Dan Pengajarannya, 7(2), 183–192.