ISSN 2477-1686  

 Vol. 10 No. 14 Juli 2024

Bersakit – sakit dahulu, bersenang – senang kemudian?

 Oleh

Putri Kasih Sinaga, Fabyola Putri Bulan, & Laila Meiliyandrie Indah

Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana

 

“Tapi itu pengalaman gila sepanjang karir aku, gila, 560 epsiode, 3 tahun ga ada hidup. Pada saat itu benar – benar tidak pernah merasakan apa yang namanya istirahat.” ujar Prilly Latuconsina dalam Podcast bersama Praz Teguh.

Prilly Mahatei Latuconsina atau yang biasa dikenal sebagai Prilly Latuconsina berdarah Ambon Sunda ini memulai karirnya dalam berakting sejak berusia 12 tahun. Saat ini Prilly adalah salah satu aktris Indonesia yang banyak digemari oleh anak muda karena karakternya yang ceria dan independent.

Dalam Podcast bersama Praz Teguh, Prilly menyatakan bahwa kehidupan masa mudanya dihabiskan untuk meniti karirnya. Dalam hal ini, Prilly secara tidak langsung menerapkan delayed gratification karena dia harus menahan hasratnya untuk merasakan momen bersenang – senang selama masa muda nya dikarenakan pekerjaanya. Dia menunda untuk merasakan kesenangan seperti bersantai atau bersosialisasi dengan rekan sebaya nya pada masa itu demi berinvestasi terhadap kemajuan karir nya. Lalu, apa yang dimaksud dengan delayed gratification? Menurut website BPR lestari, Delayed Gratification atau kesenangan yang tertunda adalah aktivitas menunda hal-hal yang sifatnya kesenangan yang bersifat instan.

Bersakit – sakit dahulu, bersenang – senang kemudian

Kerap kali kalimat ini diucapkan oleh orang tua untuk memotivasi anak – anak muda supaya belajar lebih giat ketika duduk di bangku sekolah. Dengan memaksimalkan penggunaan waktu untuk menabung hal yang positif di waktu muda, niscaya dipercaya akan menuai masa tua yang lebih berkualitas. Menunda hal yang yang menjadi kenikmatan dan kesenangan bukan merupakan hal yang mudah dilakukan, apa lagi jika masih di usia yang relatif muda. Terbukti dari hasil eksperimen yang dilakukan Walter Mischel “Marshmallow Experimen”. Anak – anak yang bisa menunggu lebih lama untuk mendapatkan marshmallow lebih ternyata memiliki nilai akademis rata rata lebih tinggi di kemudian hari dibandingkan dengan anak – anak yang memilih untuk langsung memakan marshmallow yang disediakan. Sikap yang bisa menahan untuk tidak merasakan kesenangan dengan segera ini tentunya dipengaruhi oleh ekspektasi perilaku – hasil dan ekspektasi stimulus – hasil yang dikembangkan Mischel dan menyebutnya strategi regulasi diri. Sikap yang diambil oleh seseorang dipengaruhi oleh ekspektasi dan nilai yang ingin dicapai oleh individu tersebut.  Berbagai pilihan dihadapkan kepada para remaja menuju dewasa baik dalam bidang pergaulan, pertemanan, pendidikan atau kesenangan lain nya yang mereka bisa dapatkan selagi masih memiliki usia dini. Namun, individu yang bisa menjalankan self – regulator untuk menahan kesenangan itu tentunya memiliki kesempatan lebih tinggi untuk menuai hal yang lebih baik di waktu yang akan datang.

YOLO (You Only Live Once)

Lalu bagaimana dengan pemikiran You Only Live Once, yang mengajak untuk menikmati kehidupan ini dengan semaksimal mungkin karena manusia hanya punya kesempatan satu kali untuk hidup? Jika bisa ditarik secara induktif, sebagian besar generasi milenieal dan Z menerapkan hal ini di dalam kehidupan mereka. Contoh sedehana seperti tidak ingin berada dalam situasi kantor yang memiliki tekanan yang tinggi, menikmati masa muda dengan kesenangan seperti clubbing atau bepergian ke luar negeri, atau bahkan memilih untuk mengkonsumsi kopi bermerek dengan harga yang lebih tinggi karena berpikir bahwa hal itu pantas untuk membayar letih setelah bekerja. Tidak hanya berpengaruh terhadap kualitas kehidupan namun sikap ini juga tentu tidak efisien terhadap kebijakan finansial. Namun, bukan tidak mungkin pemikiran ini justru bisa disubstitusikan ke prinsip perkembangan kognitif sosial oleh Walter Mischel. Dengan menyadari bahwa kesempatan hidup tidak lebih dari satu kali maka individu yang memiliki kognitif yang sudah terpelajar menjadikan ini sebagai suatu motivasi yang kuat agar dapat menggunakan waktu sebaik – baiknya apa lagi di masa muda karena apa yang ditabur di waktu sebelumnye menjadi modal untuk apa yang dituai di waktu yang akan datang. 

Delayed Gratification, bagaimana cara meningkatkan?

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, delayed gratification adalah salah satu bentuk self – regulator untuk menunda kepuasaan sesaat demi mendapatkan hasil yang lebih baik di masa yang akan datang. Delayed gratification juga menggambarkan situasi dimana banyak orang yang cukup bekerja keras tetapi kurang sabar untuk menunda kepuasan instan. Hal ini juga mencerminkan kepada realita kehidupan bahwa seringkali kita sebagai manusia tergoda untuk menghabiskan penghasilan kita secara cepat tanpa mempertimbangkan masa depan. Kesabaran dan kemampuan dalam menunda kepuasan saat ini dapat membawa manfaat yang lebih besar untuk masa depan. Meskipun seringkali menemukan tantangan dan godaan untuk memenuhi kepuasan, melatih kesabaran dan mengembangkan kebiasaan delayed gratification dapat membantu seseorang untuk memiliki sikap bijaksana sehingga impian-impian mereka dapat tercapai. Menurut website The Start of Hapiness, beikut ini adalah beberapa cara agar dapat meningkatkan delayed gratification adalah:

  1. Melatih praktik mindfulness. Dengan melatih kesadaran diri, individu dapat lebih memahami diri sendiri termasuk apa yang menjadi ekspektasan tujuan hidup di masa yang akan datang. Dengan adanya kesadaran ini akan menjadi motivasi untuk dapat memilih sikap / perilaku yang efektif di masa muda.
  2. Menetapkan tujuan jangka panjang. Dengan menetapkan tujuan, individu dapat lebih fokus terhadap masa yang akan datang dan apa saja yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.
  3. Membuat rencana dan rutinitas. Rencana dan rutinitas dapat menjadi kontrol diri untuk memastikan apakah kegiatan dan perilaku serta sikap sudah sesuai dengan apa yang ingin di capai?
  4. Berikan hadiah kepada diri sendiri. Memberikan reward terhadap diri sendiri terhadap progress yang sudah dilakukan dapat menambah motivasi untuk tetap bisa semangat menempuh target jangka panjang.

Referensi:

Taylor, E. S., Peplau A. L (2018). Psikologi Sosial Edisi 12. Depok :Perpustakaan
          Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT).

Mulyadi, S., Lisa. W (2016). Psikologi Kepribadian. Jakarta: Gunadarma

Sri, R., Masduki A., Wakhida N., (2023), Delayed Gratification: Menahan Sedikit
          Kesenangan untuk Kebahagiaan Besar Jangka Panjang, Literaksi: Jurnal
          Manajemen Pendidikan, 1(2), 114-116

“Delayed Gratification Bisa Bikin Keuangan Membaik? Cari Tahu Di Sini Yuk!” https://bprlestari.com/berita-lestari/delayed-gratification-bisa-bikin-keuangan-membaikquestion-cari-tahu-di-sini-yuk

“5 Strategies for Delayed Gratification and Why You Should Do It” https://www.startofhappiness.com/power-delayed-gratification/