ISSN 2477-1686  

 Vol. 10 No. 18 September 2024

Sosialisasi Pengelolaan Sampah Ala Mahasiswa KKNFenomena Disonansi Kognitif

Oleh:

Arundati Shinta

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

 

Beberapa saat yang lalu saya sebagai praktisi lingkungan, diundang oleh sekelompok mahasiswa KKN dari sebuah universitas untuk berceramah di depan masyarakat pada suatu desa. Topik ceramah adalah pengelolaan sampah skala rumah tangga dengan cara-cara yang ramah lingkungan. Ini adalah topik yang sangat sesuai untuk Yogyakarta dan kota-kota besar di Indonesia, karena timbulan sampah terlihat di sepanjang jalan. Sampah itu ditumpuk begitu saja dalam bungkusan plastik aneka warna, serta menguarkan bau busuk. Sungguh pemandangan yang menyedihkan.

Situasi yang terjadi di sepanjang jalan besar di kota-kota besar itu agaknya menginspirasi mahasiswa KKN untuk memunculkan program pengelolaan sampah di kalangan masyarakat di desa / kalurahan tempat mereka berkarya selama 1 bulan. Para mahasiswa itu berasumsi bahwa masyarakat tidak mengelola sampahnya secara ramah lingkungan adalah karena kurang pengetahuan. Untuk memperkenalkan dan kemudian meningkatkan pengetahuan pengelolaan sampah secara ramah lingkungan maka didatangkanlah praktisi pengelola sampah. Ketika masyarakat sudah mendapatkan pengetahuan, maka diharapkan masyarakat segera tergerak dan mampu mengelola sampahnya secara ramah lingkungan.

Pertanyaan yang mengganjal dalam tulisan ini adalah: Apakah masyarakat dijamin akan tergerak dan langsung mengolah sampahnya secara ramah lingkungan segera setelah mendapatkan arahan dari praktisi dan mahasiswa KKN? Sayangnya, harapan tersebut tidak terjadi. Masyarakat masih mengelola sampah dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan seperti membakar sampah, membuang sampah di sumber-sumber air (selokan, sungai, danau, laut), membuang di tanah-tanah kosong (halaman rumah yang terlantar, jurang, lapangan terlantar), dan menyerahkan kepada petugas sampah. Pada masyarakat perkotaan, perilaku yang paling sering muncul adalah menyerahkan sampah pada petugas sampah dengan imbalan uang, sedangkan masyarakat desa lebih memilih membakar sampah dan menguburnya. Hanya kurang dari 2% masyarakat yang bersedia mendaurulang sampah dan membuat kompos (Shinta, 2019). Mengapa terjadi kesenjangan yang lebar antara harapan (program mahasiswa KKN) dengan kenyataan yang ada?

Ada banyak alasan untuk menjawab kesenjangan tersebut. Alasan tersebut melibatkan 5 aspek pengelolaan sampah yakni peraturan (UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah), kelembagaan (TPST, sekolah, perusahaan, bank sampah, dan sebagainya), pendanaan (anggaran untuk mengelola sampah misalnya dari APBN, APBD, retribusi warga, dan sebagainya), sosial budaya (perilaku masyarakat terhadap sampah) dan teknologi (peralatan untuk mempermudah pengolahan sampah misalnya incinerator) (Hendra, 2016).

Tulisan ini lebih tertuju pada aspek keempat yakni sosial budaya. Hal ini karena aspek sosial budaya ini sering hanya berupa alasan-alasan klise sifatnya yakni ketidakpedulian masyarakat terhadap keberadaan sampah (Ibrahim, 2021). Alasan klise tersebut bersifat makro sehingga sulit untuk diatasi. Padahal sebenarnya persoalan tersebut akan lebih mudah diatasi bila mahasiswa KKN itu sendiri bisa menjadi suri tauladan dalam perilaku pengelolaan sampah yang ramah lingkungan. Ini sesuai dengan prinsip dari KKN atau Kuliah Kerja Nyata yang artinya adalah mahasiswa mampu menerapkan ilmu yang diperoleh dari bangku kuliah ke dalam kehidupan sehari-hari secara nyata. Ironinya, mahasiswa KKN tersebut hanya bisa menyerukan perilaku pro-lingkungan hidup namun perilakunya justru berkebalikan. Mereka justru membakar sampahnya. Ini adalah fenomena disonansi kognitif yang mana perkataan tidak sesuai dengan perilaku (Fisher, 1982; Franzoi, 2003). Fenomena tersebut juga lazim terjadi pada perokok. Individu mengetahui bahaya merokok namun ia tetap saja merokok.

Mengapa terjadi fenomena disonansi kognitif dalam bidang pengelolaan sampah di kalangan mahasiswa KKN? Ini adalah persoalan persepsi, yang mana sampah dipersepsikan sebagai bahan yang tidak berguna. Persepsi sebagai dasar perilaku ini, telah dipupuk semenjak kecil. Hal ini tampak dari buku-buku pelajaran untuk anak-anak yang mengajarkan tentang kebersihan dan lingkungan hidup. Kebersihan tersebut berarti sampah dimusnahkan. Buku-buku tersebut tidak mengajarkan bahwa sampah juga bisa bermanfaat, bila dikelola secara ramah lingkungan. Sekolah lebih mengajarkan tentang kegiatan upacara, berbaris, namun tidak mengajarkan tentang kegiatan membuat kompos secara nyata (Ibrahim, 2021). Selain itu, guru-guru sebagai model perilaku bagi anak-anak di sekolah, juga kurang mampu menyiapkan materi yang mudah dipahami tentang pengelolaan sampah yang ramah lingkungan (Baga, et al., 2022). Situasi ini terjadi terutama pada sekolah-sekolah non-Adiwiyata termasuk perguruan tinggi yang tidak menerapkan green curriculum (Shinta, 2019).

Penutup

Dalam situasi seperti itu, memang sulit bagi praktisi lingkungan untuk mempengaruhi masyarakat agar bersedia mengolah sampah secara ramah lingkungan. Apalagi bila kegiatan ceramah tanpa praktek nyata hanya dilakukan satu kali saja. Meskipun demikian, meniadakan kegiatan ceramah peduli pada lingkungan hidup di kalangan masyarakat harus terus dilanjutkan (Fisher et al., 1984). Ini karena kegiatan ceramah tersebut adalah seperti kegiatan promosi. Satu kali promosi memang tidak akan mendatangkan hasil sesuai harapan. Promosi yang didisain secara tepat, dilakukan berkali-kali dalam waktu yang tepat pada media yang bervariasi dan ditujukan pada orang-orang yang tepat, akan mendatangkan perilaku membeli (Karmila et al., 2023). Dengan perkataan lain, promosi tentang perilaku pro-lingkungan hidup yang tepat akan memunculkan kesediaan masyarakat untuk mengelola sampahnya secara ramah lingkungan. Kesediaan berperilaku pro-lingkungan hidup di kalangan masyarakat akan semakin cepat munculnya bila mahasiswa KKN bisa menjadi model perilaku yang baik serta melakukan pendampingan pada masyarakat dalam waktu tertentu.

Referensi:

Baga, S., Astuty, E.R., Astra, I.M., Budiman & Hasanah, U. (2022). Perilaku pro-lingkungan peserta didik berdasarkan media pembelajaran dan gender. Jurnal Basicedu. 6(5), 8368-8380. https://doi.org/10.31004/basicedu.v6i5.3809

Fisher, R. J. (1982). Social psychology: An applied approach. New York: St. Martin Press.

Fisher, J.D., Bell, P.A. & Baum, A. (1984). Environmental psychology. 2nd ed. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Franzoi, S. L. (2003). Social psychology. 3rd ed. Boston: McGraw Hill

Hendra, Y. (2016). Perbandingan sistem pengelolaan sampah di Indonesia dan Korea Selatan: Kajian 5 aspek pengelolaan sampah. Aspirasi. 7(1), Juni, 77-91

Ibrahim, I.S. (2021). Analisis budaya: Kebudayaan sampah. Kompas. 25 September, hal. 1-15.

Karmila, M.S., Lestari, S.P. & Risana, D. (2023). Pengaruh promosi dan kelengkapan produk terhadap keputusan pembelian (Survei pada konsumen Prianka.Gallery Tasikmalaya). Transformasi: Journal of Economics and Business Management. 2(3), 254-267. DOI: https://doi.org/10.56444/transformasi.v2i3

Shinta, A. (2019). Penguatan pendidikan pro-lingkungan hidup  di sekolah-sekolah untuk meningkatkan kepedulian generasi muda pada lingkungan hidup. Yogyakarta: Best Publisher.