ISSN 2477-1686  

 Vol. 10 No. 18 September 2024

Kekerasan di Sekolah: Bisakah terjadi?  

Oleh:

Clara R.P. Ajisuksmo

Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya 

Berdasarkan tempat kejadian, data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan bahwa sampai Agustus 2024, ada 928 kasus kekerasan yang terjadi di sekolah. Data juga menunjukkan bahwa pelaku dari 434 kasus kekerasan (46,76%) adalah guru (https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ ringkasan). Pada 12 Agustus 2024 Kompas memberitakan bahwa pada Januari-Agustus 2024, ada 101 anak menjadi korban kekerasan seksual di sekolah, dan dari jumlah tersebut sebanyak 69 % adalah anak laki-laki (Aranditio, 2024). Kasus kekerasan di sekolah, tidak hanya menyebabkan korban luka-luka tetapi juga berakibat pada kematian (Sinombor, 2024).

Kekerasan di sekolah dapat terjadi di dalam atau di luar kelas, di sekitar sekolah, atau dalam perjalan menuju dan pulang sekolah (Ferrara, dkk. 2019). CNN Indonesia memberitakan bahwa kekerasan di sekolah dapat terjadi pada saat jam istirahat atau di kelas saat pelajaran dan mengerjakan tugas, yang dilakukan oleh siswa, guru atau tenaga kependidikan di hadapan peserta didik lain (https://www.cnnindonesia.com/ nasional/20230928221036-20-004934/kasus-kekerasan-siswa-sd-kepala-bocor-kena-kayu-mata-tertusuk-pipa).  

Kekerasan di sekolah dapat berbentuk kekerasan fisik hingga psikis, yang menciptakan rasa ketidakamanan dan ketakutan. Hal ini secara umum melanggar hak anak untuk belajar di lingkungan yang aman, tidak mengancam, dan bebas dari kekerasan. Anak yang mengalami kekerasan di sekolah akan menjadi traumatis dan menunjukkan kesejahteraan mental yang buruk (Flannery, dkk, 2004). Sementara itu, hasil penelitian Ferrara, dkk, (2019) menunjukkan bahwa anak yang mengalami kekerasan di sekolah akan mengembangkan penilaian diri yang buruk dan menghambat perkembangan aktualisasi diri yang positif. Sementara itu, Ajani, dkk., (2024) melaporkan bahwa kekerasan yang dialami anak di sekolah dapat menghambat pencapaian tujuan belajar dan menghentikan karir akademis anak. Selain itu, kekerasan yang dialami anak di sekolah berdampak pada perilaku anti sosial di masa mendatang ketika anak dewasa, termasuk konsumsi minuman keras yang berlebihan, dan penyalahgunaan zat adiktif (Ferrara, dkk, 2019; Ajani, dkk, 2024).

Hasil kajian dari Gázquez, dkk. (2015), Turanovic dan Siennick (2022), serta Kurniawansyah dan Dahlan, (2021) menunjukkan bahwa kekerasan di sekolah dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, faktor kepribadian, keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial masyarakat. Pelaku kekerasan di sekolah memiliki kepribadian dengan efikasi diri dan harga diri yang rendah, sikap dan perilaku anti sosial, sikap bermusuhan yang tinggi, kurang mampu berempati dan mengontrol diri, narsistis yang membutuhkan banyak perhatian, dll. Sementara itu anak yang menjadi korban kekerasan, pada umumnya adalah anak yang mempunyai kecemasan tinggi, tidak terbuka dan cenderung menutup diri, tidak mudah bergaul sehingga tidak disukai teman-temannya. Turanovic dan Siennick (2022) juga menunjukkan bahwa anak yang menjadi korban kekerasan di sekolah akan mengalami berbagai bentuk kekerasan, dan kekerasan yang mereka alami cenderung akan berulang.

Dalam kajian Turanovic dan Siennick (2022) juga ditunjukkan bahwa kehidupan keluarga, termasuk di dalamnya pola pengasuhan dan komunikasi orang tua dengan anak, merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku kekerasan di sekolah. Anak yang mengalami hukuman fisik dari orang tuanya, anak yang berasal dari keluarga yang penuh dengan konflik, serta komunikasi yang buruk antar anggota keluarga cenderung menjadi pelaku kekerasan di sekolah. Laporan dari Turanovic dan Siennick (2022) menunjukkan bahwa tingkat ketidakhadiran guru, ketiadaan petugas pengawas tata tertib di sekolah, serta penerapan kedisiplinan yang longgar dan tidak konsisten, ikut berperanan terhadap terjadinya kekerasan di sekolah.

Faktor yang juga sangat berperanan terhadap terjadinya kekerasan di sekolah adalah lingkungan sosial masyarakat. Anak yang dibesarkan di lingkungan sosial masyarakat yang memandang perilaku kekerasan adalah perilaku yang biasa dan tidak perlu dirisaukan, akan menggunakan pandangan tersebut sebagai referensi berperilaku (Ajisuksmo, 2021). Laporan dari Turanovic dan Siennick (2022) juga menunjukkan bahwa latar belakang sosial ekonomi, ras dan etnis anak ikut berperan sebagai prediktor dari korban kekerasan di sekolah. Perkembangan informasi dan teknologi mempunyai peran yang besar terhadap perkembangan kekerasan di sekolah.

Penting bagi sekolah, termasuk di dalamnya guru dan tenaga kependidikan untuk menyadari pentingnya menciptakan rasa aman dan bebas dari kekerasan bagi anak untuk belajar. Sekolah merupakan ligkungan kedua setelah keluarga yang harus mendukung pengembangan diri anak dalam suasana yang penuh welas asih dan damai yang menghargai seluruh keunikan karakteristik anak.

Referensi:

Ajani, B.A., Umanhonlen, S.E.,  Raji, N.A., Adegoke, S.A.,  & Adewuyi, H.O. (2024). Secondary School Violence Among Adolescents: The Contributing Factors and Way Forward. Indonesian Journal of Community and Special Needs Education 4(2). 83-94. http://ejournal.upi.edu/index.php/IJCSNE/

Ajisuksmo, C. R. P. (2021). Why Some Adolescents Engage in Risk-Taking Behavior. International Journal of Educational Psychology, 10(2), 143-171. doi: 10.17583/ijep.2021.4258

Aranditio, S. (2024). Sejak Januari, Sudah 101 Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual di Pesantren. Pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di satuan pendidikan pada Kementerian Agama harus ditegakkan. https://www.kompas.id/baca/humaniora/ %202024/08/12/101-anak-jadi-korban-kekerasan-seksual-di-pesantren?open_from=Section_Artikel_Terkait

CNN Indonesia (2023) Kasus Kekerasan Siswa SD: Kepala Bocor Kena Kayu, Mata Tertusuk Pipa. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230928221036-20-1004934/ kasus-kekerasan-siswa-sd-kepala-bocor-kena-kayu-mata-tertusuk-pipa)

Ferrara, P., Franceschini, G., Villani, A. et al. (2019). Physical, psychological and social impact of school violence on children. Italian Journal of Pediatrics, 45 (76). https://doi.org/10.1186/s13052-019-0669-z

Flannery, D.J., Wester, K. L. & Singer, M.I. (2004).  Impact of violence exposure  at school on child mental health and violent behavior. Journal of Community Psychology, 32 (5). 559–573. doi: 10.1002/jcop.20019

Gázquezm, J.J., Barragán, A.B., Pérez-Fuentesmmm M. C., del Mar Molero, M., Garzón, A. & Martos, A. (2015). Factors associated with school violence:A systematic review. British Journal of Education, Society & Behavioural Science,11(3): 1-12, DOI: 10.9734/BJESBS/2015/18084

Kurniawansyah, E. & Dahlan, D. (2021). Penyebab Terjadinya Kekerasan Terhadap Anak (Studi Kasus di Kabupaten Sumbawa). CIVICUS : Pendidikan-Penelitian-Pengabdian Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan, 9 (2). 30-35

Simfoni – PPA.(2024) https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan

Sinombor, S.H. (2024). Kematian Santri Terus Berulang, KPAI Nilai Ada Kelalaian Pengawasan. Kekerasan di dunia pendidikan hingga kini menjadi sorotan karena nyawa anak-anak terus melayang. https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/ 03/18/kematian-santri-terus-berulang-kpai-nilai-ada-kelalaian-pengawasan

Turanovic, J.J. & Siennick, S.E. (2022). The Causes and Consequences of School Violence: A Review. National Institute of Justice U.S. Department of Justice Office of Justice Programs