ISSN 2477-1686  

 Vol. 10 No. 18 September 2024

Bencana dalam Kacamata Psikologi

Oleh:

Iqamah Dyah Mumpuni1, Eko. A Meinarno2

1Fakultas Psikologi, Universitas Tama Jagakarsa

2Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

 

Pengantar

Isu lingkungan beberapa waktu ini mulai menjadi perhatian yang cukup kuat di Indonesia. Banyak kejadian berupa bencana telah merusak banyak hal, seperti bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh pada tahun 2004, erupsi gunung berapi, atau banjir di berbagai wilayah di Indonesia. Kerugian besar dialami baik aspek materi maupun nonmateri termasuk di dalamnya korban jiwa, orang hilang, serta kerusakan tempat tinggal dan fasilitas umum pada setiap kejadian bencana (Walhi, 2020 dalam Ajisuksmo, Rosario, Yeremias, Pradipto, & Elmeresa, 2023). Dalam perkembangannya, khususnya kemajuan teknologi, bencana juga tidak hanya disebabkan oleh alam. Banyak juga bencana yang diakibatkan oleh teknologi, beberapa diantaranya adalah ledakan-ledakan reaktor nuklir di Amerika Serikat (The Three Mile Island), dan tragedi Chernobyl di Ukraina (dulu bagian dari Uni Soviet).  Bencana menurut UU No. 24 Tahun 2007 tentang bencana merujuk pada peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan atau faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Berbagai macam bentuk bencana antara lain, bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial. Dengan melihat bencana yang beragam tersebut, tentu hal ini dapat menjadi perhatian bagi manusia di masa sekarang dan masa yang akan datang.

Persepsi

Persepsi merupakan proses mengorganisasikan dan menginterpretasikan informasi sensoris (Passer & Smith, 2004; Sarwono, 2009). Proses persepsi menggambarkan bagaimana otak menerima, memproses dan menginterpretasikan berbagai informasi dari mata, telinga, hidung, dan organ tubuh lainnya (Suwartono & Eko, 2009). Sebagai contoh adanya rangsang dari luar diri individu (stimulus), dengan adanya stimulus, individu menjadi sadar akan adanya stimuli melalui sel-sel saraf reseptor yang peka terhadap bentuk-bentuk energi tertentu (cahaya, suara, suhu). Bila sumber energi itu cukup kuat untuk merangsang sel-sel reseptor maka terjadilah penginderaan. Jika sejumlah penginderaan disatukan akan dikoordinasikan dalam pusat saraf yang lebih tinggi (otak) sehingga manusia bisa mengenali dan menilai objek-objek (Sarwono, 1992).

Persepsi Kebencanaan

Bagaimana dengan bencana? Apakah satu hal yang dipersepsi manusia? Bencana yang beragam bentuknya belum tentu dialami oleh semua individu. Seperti bencana gunung meletus, ada yang merasakan rumahnya rusak, atau sebatas terkena hujan abu. Atau ketika sistem perangkat lunak rusak di banyak bandara beberapa waktu lalu, belum tentu berdampak pada diri kita, tapi dialami oleh orang lain. Ribuan penerbangan terpaksa dibatalkan dan puluhan ribu penerbangan tertunda, yang mengakibatkan antrean panjang di bandara-bandara di AS, Eropa, Asia, dan Amerika Latin (voaindonesia, 2024). Berdasar gejala dan mekanisme persepsi, bencana dapat menjadi obyek dari persepsi. Oleh karenanya psikologi dapat pula berkontribusi atau andil untuk membangun kesiapan manusia atau individu atau kelompok untuk menghadapi bencana. Persepsi merupakan dasar dari pengalaman setiap individu, begitu juga dengan persepsi terhadap bencana. Pemahaman dan pengalaman seseorang berpengaruh dalam mempersepsi risiko. Bagi sebagian orang suatu bencana dapat dianggap mengancam hidupnya, sedangkan sebagian yang lain bisa menganggap hal tersebut tidak mengancam (Suwartono & Meinarno, 2009: Sabir & Phil, 2016). Bahkan pada kasus-kasus tertentu dianggap sebagai komoditas ekonomi (Sabir & Phil, 2016). Namun apakah semua orang harus mengalami dulu bencana, baru kemudian dia belajar menghadapi bencana? Tampaknya tidak.

Pengetahuan akan kebencanaan tentunya sangat dibutuhkan guna meningkatkan kesiapsiagaan terhadap bencana (Soeparno, & Rahmawati, 2020). Bagi individu di Indonesia, pengetahuan tentang alam yang berpotensi menjadi bencana perlu diketahui misalnya gunung meletus, banjir, tanah longsor, gempa bumi dan lain-lain. Pengetahuan dasar ini didapat dengan berbagai sumber, secara fisik (mengalami) atau berupa pengetahuan tertulis (kognitif).  Bagaimana membangun pengetahuan kebencanaan? Tentu ini bukan hal yang mudah. Namun tetap ada peluang untuk membangunnya. Pertama, kita dapat mengedukasi (termasuk pelatihan) kepada generasi yang lebih muda untuk tahu bencana alam yang sering terjadi. Misalnya di Jakarta adalah bencana banjir. Kita dapat menceritakan tentang banjir, dampaknya, dan kesiapan untuk menghadapinya. Dengan kata lain, bencana justru menjadi materi pengetahuan yang perlu dimiliki oleh tiap individu.  Kedua, bencana juga menuntut adanya respon dan penanganan yang masif karena jika tidak, satu bencana dapat saja kemudian menimbulkan bencana baru dengan bentuknya yang berbeda (Ruddin, Nurhabibi, & Saputra, 2022). Kesiagaan bencana ini melibatkan pengembangan kemampuan tanggap darurat sebelum bencana terjadi. Kita juga dapat mencari tahu persepsi manusia terhadap objek bahaya tersebut, sehingga dapat melakukan penilaian terhadap kerentaannya. Hal ini diperlukan untuk melihat sejauh mana objek tersebut dipersepsikan sebagai ‘bahaya’ yang dapat mengganggu kehidupan manusia, sehingga kita dapat mengembangkan model penyesuaian diri yang relevan dengan objek bahaya tersebut. Ketiga, membangun mitigasi yang baik. Mitigasi mengacu pada kebijakan yang ditujukan untuk mengurangi kerentaan suatu wilayah terhadap kerusakan yang dapat diakibatkan oleh bencana di masa yang akan datang (Peek & Mileti, 2002). Langkah yang dapat dilakukan misalnya dengan cara membuat peraturan mengenai persebaran penduduk dan pembangunan lingkungan yang dapat mengurangi paparan terhadap kerugian akibat bencana. Misalnya sebagai warga Jakarta, banjir tidak sekedar dihadapi dengan pengungsian, tapi kesiapan warga dan pemda, sampai pembenahan lingkungan. Pada tingkat individu, perlu tahu hal-hal dasar untuk menyelamatkan diri. Perlu paham juga dengan lingkungan asli dari tempat bencana sering terjadi. Bisa jadi, area banjir adalah area tumpahan air alami yang ditinggali manusia. Bahkan jika diperlukan mengambil langkah konkrit dan pengorbanan agar banjir tidak menjadi bencana lagi.

Penutup

Pembahasan mengenai persepsi terhadap bencana mendapat perhatian khusus dalam psikologi khususnya psikologi lingkungan dan psikologi kebencanaan. Hal ini dimaksudkan agar dapat diusahakan pembentukan sikap yang positif terhadap lingkungan, sampai tingkah laku untuk menghadapi, saat bencana, dan mengatasinya. Psikologi yang mengkaji bencana perlu untuk mulai dibicarakan karena kemungkinan datangnya bencana yang tidak terduga, dapat berbentuk kekuatan besar, sehingga dapat menimbulkan korban jiwa, dan dapat berdampak jangka panjang.

Referensi:

Ajisuksmo, CRP., Rosario, TM., Yeremias, SIS., Pradipto, DS., Elmeresa, MV. Kepedulian Untuk Rumah Kita Bersama: Respon terhadap perubahan iklim dan lingkungan hidup. Buletin KPIN. Vol. 9 No. 11 Juni 2023. https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/1298-kepedulian-untuk-rumah-kita-bersama-respon-terhadap-perubahan-iklim-dan-lingkungan-hiduphttps://www.voaindonesia.com/a/pembaruan-software-kacaukan-operasi-sistem-windows-di-seluruh-dunia/7705530.html. Diunduh medio September 2024

Passer, M. W., & Smith, R. E. (2004). Psychology-the science of mind and behavior. 2nd edition. New York: McGraw Hill.

Peek. L. A., & Mileti, D. S. (2002). The history and the future of disaster research. Dalam Bechtel, R. B., & Arza, C. Handbook of environmental psychology. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Ruddin, F., Nurhabibi, P., & Saputra, B. (2022). Persepsi risiko bencana Pada mahasiswa di kota Padang ditinjau dari pengalaman dan variabel demografis. Jurnal Kawistara, 12(2), 229-242.

Sabir, A., & Phil, M. (2016). Gambaran umum persepsi masyarakat terhadap bencana di Indonesia. Jurnal Ilmu Ekonomi Dan Sosial, 5(3), 304-326.

Sarwono, S. W. (1992). Psikologi lingkungan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Sarwono, S. W. (2009). Pengantar psikologi umum. Jakarta: Rajawali Pers.

Soeparno, K., & Rahmawati, I. (2020). Persepsi, pengetahuan dan kesiapan warga terhadap bencana: Suatu pendekatan psikologi. Ragam Ulas Kebencanaan, 1. Deepublish.

Suwartono, C., & Meinarno, E. A. (2009). Gambaran persepsi risiko terhadap bencana pada remaja di wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ilmiah Psikologi MIND SET, 1(01), 86-91.

Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 24 tahun 2007. Diakses pada tanggal 8 September 2024 dari https://bnpb.go.id/definisi-bencana.