ISSN 2477-1686  

 Vol. 10 No. 17 September 2024

 

Melatih Kecerdasan Statis atau Dinamis pada Anak Autistik: Mana Lebih Penting?

 Oleh:

Fransisca Febriana Sidjaja

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

 

Steven Gutstein, seorang psikolog klinis yang mengembangkan program Relationship Development Intervention (RDI), mengelompokkan kecerdasan menjadi dua jenis, yaitu kecerdasan statis dan kecerdasan dinamis. Kecerdasan statis adalah kemampuan seseorang untuk memahami dan meresponi hal yang tetap, pasti, dan dapat diprediksi. Contoh kecerdasan statis meliputi kemampuan memahami konsep pasti seperti angka, warna, huruf, memahami prosedur, mengoperasikan peralatan, menghitung dengan rumus, mengikuti jadwal, mematuhi aturan, meniru gerakan, dan mengoperasikan peralatan (Gutstein, 2009). Sebaliknya, kecerdasan dinamis adalah kemampuan untuk memahami, merencanakan, dan melakukan hal-hal yang bersifat tidak pasti dan fleksibel dalam situasi yang sulit diprediksi. Contoh kecerdasan dinamis meliputi kemampuan meregulasi diri, membaca ekspresi wajah lawan bicara, memonitor dan menganalisis situasi, memahami sudut pandang orang lain, menyesuaikan sikap dan perilaku dengan lawan bicara, berefleksi, mengambil kesimpulan, dan memahami sebab akibat. Interaksi sosial juga merupakan bagian dari kecerdasan dinamis karena sifatnya yang tidak pasti dan tidak memiliki rumus baku (Gutstein, 2009).

Gutstein (2009) berpendapat bahwa kecerdasan dinamis pada anak Autistik tidak berkembang sekuat kecerdasan statis. Menurutnya, individu autistik lahir dengan otak yang mengalami underconnectivity pada area dinamis dan overconnectivity pada area statis. Itulah sebabnya sedari lahir individu Autistik memiliki perilaku statis tertentu, misalnya: suka menderetkan benda, menyukai topik atau mainan tertentu secara terus menerus, memiliki ritual tertentu, sulit berpindah kegiatan, stres berlebihan terhadap perubahan kecil, dan sebagainya. Sebaliknya, sedari kecil, individu Autistik sulit memahami hal-hal dinamis, seperti membaca ekspresi muka lawan bicara dan menilai situasi sosial. Mereka juga sulit menganalisis hal yang kompleks dan memecahkan masalah di situasi yang tidak pasti. Untuk mempersiapkan anak autistik hidup mandiri di dunia yang dinamis, melatih kecerdasan statis mereka saja tidak cukup. Kemampuan dinamis anak perlu dilatih dan dioptimalkan(Gutstein, 2009). Misalnya, melatih anak autistik untuk mengucapkan salam saat bertemu orang perlu didahului dengan membangun ketertarikan mereka untuk berelasi dengan orang lain. Mengajarkan berbagai keterampilan hidup perlu didahului dengan melatih inisiatif anak untuk memonitor dan menilai situasi. Dengan demikian, anak mampu berinisiatif menggunakan keterampilan tersebut secara tepat, tanpa diingatkan, pada situasi yang membutuhkan.

Opini Gutstein ini sejalan dengan pandangan Stanley Greenspan, seorang psikiater anak yang mengembangkan program Developmental, Individual-differences, and Relationship-based (DIR) Floortime. Greenspan mengembangkan Functional Emotional Developmental Capacities (FEDCs), sebuah model tahapan perkembangan emosi anak. FEDCs menggambarkan tahapan perkembangan yang wajib dilalui anak untuk mencapai fungsi emosional dan sosial yang sehat (Greenspan & Wieder, 2006). Dalam FEDCs, seorang anak perlu dilatih memiliki regulasi diri dan ketertarikan terhadap dunia sekitar (tahap ke-1), sebelum dilatih berinisiatif membentuk hubungan dengan orang lain dan terlibat dalam interaksi sosial sederhana (tahap ke-2). Setelah melewati tahap ke-2, anak perlu dilatih mengembangkan komunikasi dua arah (tahap ke-3), dan kemudian mengembangkan kemampuan berpikir fleksibel serta komunikasi emosi yang lebih kompleks (tahap ke-4). Pada tahap ke-5, anak dilatih untuk berpikir simbolis, bermain imajinatif, dan berimajinasi secara kreatif. Pada tahap ke-6, anak dilatih mampu memecahkan masalah dan memahami hubungan sebab akibat. Menuru Greenspan, kemampuan kognitif anak dibangun diatas dasar pengalaman sosial emosional (Greenspan & Shanker, 2004). Itulah sebabnya, setiap tahapan FEDCs berfokus melatih kecerdasan dinamis yang akan menjadi dasar membangun kemampuan statis anak. Baik Gutstein dan Greenspan percaya bahwa program intervensi yang diberikan pada anak haruslah mengutamakan relasi positif dan menempatkan orang tua sebagai guide utama anak (Gutstein, 2009; Greenspan & Wieder, 2006). Dengan kata lain, orang tua berperan penting untuk melatih dan mengoptimalkan kecerdasan dinamis anak Autistik. Hal ini didukung oleh pandangan Daniel Siegel, seorang psikiater ahli neurobiologi dari Amerika. Siegel mengemukakan bahwa relasi yang positif antara orang tua dan anak akan menstimulasi kemampuan anak dalam meregulasi diri, menyelaraskan komunikasi, mengatur emosi, berespon secara fleksibel, berempati, menghasilkan insight atau berefleksi, meredakan ketakutan, berintuisi, dan mengembangkan moralitas (Siegel, 2020). Semua kemampuan ini termasuk dalam kecerdasan dinamis yang penting untuk dikembangkan pada anak Autistik. Menjawab pertanyaan pada judul tulisan ini, melatih dan mengoptimalkan kemampuan dinamis perlu didahulukan sebelum melatih kemampuan statis anak autistik. Hal ini dikarenakan kemampuan dinamis akan menjadi dasar yang penting untuk membangun kemampuan statis anak. Dengan kombinasi yang efektif dalam melatih kecerdasan statis dan dinamis, individu autistik akan mencapai potensi maksimal mereka, hidup lebih mandiri, dan bahagia.

Referensi:

Greenspan, S. I., & Shanker, S. G. (2004). The First Idea: How symbols, language, and intelligence evolved from our primate ancestors to modern humans. Da Capo Press.

Greenspan, S. I., & Wieder, S. (2006). Engaging Autism: Using the floortime approach to help children relate, communicate, and think. Da Capo Press.

Gutstein, S. E. (2009). The RDI Book: Forging new pathways for autism, Asperger’s and PDD with the relationship development intervention ® program. Houston, TX: Connections Center.

Siegel, D. J. (2020). The Developing Mind: How relationships and the brain interact to shape who we are. Guilford Publications.