ISSN 2477-1686
Vol. 10 No. 16 Agustus 2024
Kenakalan Remaja: Perilaku Menyimpang atau Ekspresi Diri?
Oleh:
Rizqi Darmawan, Nicholas Simarmata
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
Seringkali kita mendengar berita mengenai tradisi tawuran yang dilakukan oleh remaja. Motivasi mereka untuk terlibat dalam tawuran sering kali timbul dari kebutuhan akan pengakuan sosial dan identitas. Mereka merasa bahwa dengan terlibat dalam tawuran, mereka dapat menegaskan keberadaan dan kekuatan mereka dalam lingkungan sosial yang lebih luas (Basri, 2015). Oleh karena itu, masyarakat seringkali menilai remaja yang melakukan tindakan tersebut sebagai "kenakalan". Bisa jadi sebenarnya pelabelan perilaku yang “nakal” adalah bentuk dari penolakan terhadap figur otoritas. Penolakan terhadap figur otoritas yang dimaksud adalah ketika remaja memiliki pendirian sendiri terhadap sesuatu hal seperti memiliki cita-cita yang ingin dicapai. Namun kemudian orang tua memiliki pandangan yang menurut mereka adalah terbaik bagi anaknya, tetapi anak tersebut menolak sehingga anak dicap sebagai anak yang nakal karena tidak menuruti perkataan orang tua. Sehingga pembahasan “kenakalan remaja” ini perlu dilihat lebih lanjut, untuk dapat membedakan perilaku kenakalan sebenarnya dan ekspresi dari diri remaja.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kenakalan didefinisikan sebagai perilaku yang melanggar norma yang berlaku dalam suatu masyarakat dengan tingkat kesalahan yang ringan. Remaja berasal dari bahasa latin “adolescence” yang berarti tumbuh ke arah kematangan. Menurut Santrock, masa remaja adalah masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Sehingga kenakalan remaja adalah perbuatan yang melanggar norma kesopanan, kesusilaan dan pelanggaran norma hukum. Tetapi anak tersebut tidak sampai dituntut oleh pihak yang berwajib (Dako, 2012). Sarwono menjelaskan bahwa ketika seorang remaja sedang dalam perjalanan mencari identitas pribadinya seringkali akan menantang pandangan orang tuanya atau orang yang lebih tua. Hal ini terjadi karena ia mulai mengembangkan pemikiran, tujuan, dan nilai yang mungkin berbeda dengan orang tuanya (Lufita, 2021).
Dalam konteks masyarakat yang memiliki keberagaman budaya, konsep "kenakalan" seringkali berbeda antara satu budaya dengan budaya lainnya. Apa yang dianggap nakal di suatu budaya, bisa jadi diterima atau bahkan dihargai di budaya lain. Hal ini menunjukkan bahwa definisi kenakalan remaja sangat dipengaruhi oleh perspektif budaya yang dianut oleh masyarakat. Contohnya adalah ketika remaja hidup dalam budaya jawa, dirinya dituntut untuk berkata lembut dan tidak menggunakan nada tinggi. Berbeda dengan beberapa budaya lain seperti budaya batak yang cenderung memiliki nada lebih tinggi dan gaya bahasa yang ceplas ceplos. Sehingga ketika remaja yang hidup di budaya jawa akan menganggap remaja yang hidup di budaya batak sebagai orang yang “keras”.
Contoh lainnya yaitu di beberapa masyarakat tradisional, remaja yang menolak mengikuti ritual adat atau berpakaian di luar norma budaya dianggap sebagai perilaku "nakal" dan menyimpang. Namun, di masyarakat yang lebih terbuka, ekspresi individualitas remaja melalui penampilan atau gaya hidup yang berbeda justru dilihat sebagai kreativitas dan upaya pencarian identitas. Vandalisme dianggap sebagai tindakan yang "nakal" padahal remaja yang melakukannya bermaksud sebagai manifestasi kreativitas dalam menyalurkan ekspresi mereka. Maka kita dapat mendorong remaja untuk menyalurkan energi mereka ke dalam bentuk kreativitas yang lebih positif seperti melalui mural atau seni publik.
Dalam konteks multikultural, memahami kenakalan remaja membutuhkan pendekatan yang lebih terbuka dan empati. Kita perlu meninggalkan definisi "kenakalan" yang kaku dan berusaha memahami perilaku remaja dalam kerangka pembentukan identitas dan ekspresi kreativitas mereka. Oleh karena itu, pandangan terhadap perilaku kenakalan yang dilakukan oleh remaja perlu diperhatikan lebih lanjut. Termasuk batasan perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat dan memberikan ruang bagi remaja untuk mengungkapkan kreativitas mereka tanpa mengganggu masyarakat sekaligus memberikan manfaat positif.
Kenakalan remaja mencakup berbagai perilaku. Mulai dari tindakan yang dianggap tidak pantas dalam lingkungan sosial seperti perilaku berlebihan di sekolah hingga pelanggaran status seperti melarikan diri bahkan tindakan kriminal seperti pencurian. Implikasinya, perilaku ini dapat menimbulkan kerugian yang nyata, baik bagi individu maupun masyarakat. Perilaku kenakalan remaja memiliki konsekuensi yang serius. Misalnya, perilaku perundungan di sekolah dapat mengganggu pembelajaran dan menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi siswa lainnya. Melarikan diri dari sekolah juga membawa risiko bagi keselamatan individu serta menimbulkan kekhawatiran bagi keluarga dan masyarakat. Tindakan kriminal seperti pencurian tidak hanya merugikan korban tetapi juga menciptakan ketidakamanan di masyarakat (Karlina, 2020).
Jika kita bandingkan dengan perilaku remaja yang menjadi perdebatan, apakah ini termasuk ke dalam perilaku “nakal” atau perilaku yang kreatif, yaitu pelukis jalanan atau para remaja yang membuat mural. Menggambar sesuatu di tembok orang lain tanpa izin termasuk ke dalam perbuatan melanggar hukum. Tetapi berbeda halnya jika sudah mendapatkan izin. Bagi sebagian masyarakat membuat mural di tembok di pinggir jalan masih dianggap sebagai perbuatan yang “nakal”. Hal ini karena stigma yang menempel pada seni tersebut karena dianggap tindakan yang salah karena seringnya mural yang tidak senonoh dan ditempat yang tidak diizinkan (Saputro, 2018).
Pada akhirnya, suatu kegiatan yang dilakukan oleh remaja dapat dikatakan sebagai kenakalan ketika melanggar aturan hukum atau merugikan hak asasi yang dimiliki oleh orang lain. Oleh karena itu, kita dapat membedakan kenakalan remaja yang sebenarnya dan “kenakalan” yang dilabelkan kepada remaja yang sedang mengungkapkan kreativitasnya. Sehingga masyarakat tidak mengorbankan bakat yang dimiliki oleh remaja yang terpaksa harus berhenti karena masyarakat menyamakan kreativitas yang remaja keluarkan dengan kenakalan yang melanggar hukum.
Referensi:
Basri, A. (2015). Fenomena tawuran antar pelajar dan intervensinya. Hisbah: Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, 12(1), 1-25.
Dako, R.T. (2012). Kenakalan remaja. Jurnal Inovasi, 9(02).
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Digital (2023).
Karlina, L. (2020). Fenomena terjadinya kenakalan remaja. Jurnal Edukasi Nonformal, 1(1), 147-158.
Lufita, S. (2021). Pengaruh Teknik Modeling Simbolik dalam Mengurangi Kenakalan Remaja Pada Siswa Kelas XI IIS di SMAN 5 Merangin (Doctoral dissertation, UNIVERSITAS JAMBI).
Saputro, K.Z. (2018). Memahami ciri dan tugas perkembangan masa remaja. Aplikasia: Jurnal Aplikasi Ilmu-Ilmu Agama, 17(1), 25-32.