ISSN 2477-1686
Vol. 10 No. 15 Agustus 2024
Perkembangan Identitas Nasional Masyarakat Taiwan
Oleh:
Immanuel Yosua
Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Taiwan merupakan salah satu negara di dunia dengan pengakuan diplomatic terbatas. Memiliki nama resmi Republik China (sebagai pembeda Republik Rakyat China yang tinggal di mainland), Taiwan dianggap China sebagai provinsi yang “membangkang.”
Sejarah lahirnya Taiwan tentunya tidak dapat dilepaskan dari peristiwa perang sipil yang melanda China daratan antara tahun 1947-1949 (US Department of State, n.d.). Pada saat itu kedua kelompok partai utama di China (Partai Komunis China/CCP dan Partai Nasionalis China/KMT) berusaha untuk saling merebut pengaruh dan daerah kekuasaan, hingga berujung kekalahan KMT. Kekalahan ini berujung pada migrasi (retreat) sejumlah pengikut KMT yang dipimpin Chiang Kai-Shek ke Taiwan (US Department of State, n.d.). Perpindahan Chiang Kai-Shek dan pengikutnya pada awalnya tidak ditujukan sebagai kepergian permanen namun sebagai tempat konsolidasi kekuatan sebelum berupaya merebut daratan China kembali.
Untuk membangun identitas masyarakat di Taiwan sebagai Nasionalis China dan menjadi representasi yang valid dari pemerintah China, KMT mendorong kebijakan untuk mempromosikan Sinofikasi Taiwan. Hal ini seperti ditunjukkan dengan penamaan jalan-jalan di Taipei dengan nilai-nilai Konfusius maupun nama-nama tempat di daratan China, menjadikan bahasa Mandarin sebagai bahasa resmi dalam pendidikan (di sisi lain membatasi program siaran radio dan televisi berbahasa non-mandarin). Seluruh siswa juga diwajibkan mempelajari sejarah dan geografi China, termasuk nama-nama stasiun maupun jalur-jalur kereta di daratan China. Langkah lainnya dijalankan melalui jalur pelestarian budaya. Ketika memutuskan mundur ke Taiwan, Nasionalis China turut membawa harta nasional yang berasal dari Kota Terlarang di Bejing termasuk skrip asli dari sejarah kekaisaran, dan meletakkannya di Taipei Palace Museum. Hal ini dilakukan sebagai bentuk klaim bahwa KMT merupakan pewaris asli dari dinasti China (Li, 2023).
Sayangnya dalam periode kepemimpinan KMT Taiwan juga mengalami sejarah kelam. Darurat militer pada waktu itu diberlakukan sebagai sarana menghadapi krisis internal dan eksternal dan konsolidasi kepemimpinan secara otoritarian (National Human Rights Museum, n.d.). Selama 38 tahun pemberlakuan ini pemerintah bertindak otoriter, penyiksaan dan pembunuhan kerap dilakukan dengan dalih mengancam keamanan nasional. Pemerintah mengontrol kebebasan berpendapat dan bahkan membatasi jumlah halaman surat kabar di bawah aturan tersebut (Harrison, 2017). Salah satu peristiwa paling berdarah dalam sejarah Taiwan adalah yang disebut sebagai Peristiwa 228, yang terjadi pada tanggal 28 Februari. Pada masa itu diperkirakan sebanyak 18000 hingga 28000 orang dibunuh atau meninggal setelah munculnya protes anti pemerintah di Taipei dan menyebar ke seluruh negeri. Para korban diambil dari rumah/tempat kerjanya dan kemudian disiksa, dilenyapkan, dipenjara, atau dieksekusi (Davidson & Lin, 2024).
Salah satu tokoh sentral yang berperan penting dalam mengakhiri era ini adalah Presiden Lee Teng-Hui. Ia memimpin Taiwan dari tahun 1988 sampai dengan 2000 dan mempromosikan demokrasi hingga dipandang masyarakat Taiwan sebagai “Bapak Demokrasi Taiwan.” Ia membuka jalan bagi terlaksananya pemilihan presiden secara langsung di Taiwan dan meletakkan dasar-dasar hak asasi manusia maupun kebebasan berpendapat. Dan bahkan pada pemilihan presiden secara langsung yang pertama pada tahun 1996 ia memenangkannya secara telak. Hal ini tentu saja menjadi suatu langkah yang sangat menimbulkan kemarahan Beijing yang memandang Taiwan sebagai provinsinya. Berbagai latihan militer digelar Beijing di dekat Taiwan untuk mengintimidasi para pemilih namun tetap tidak menyurutkan masyarakat untuk datang memilih (Chung, 2020). Warisan utama lainnya yang dihasilkan oleh Presiden Lee Teng-Hui adalah gagasan mengenai hubungan antara Taiwan dan daratan China yang perlu diberlakukan dalam konteks negara-ke-negara. Hal ini bukan berarti ia menginginkan kemerdekaan dari China namun mengharapkan Beijing mengakui Taiwan sebagai entitas yang terpisah secara setara (Bunnag, 1999). Tak heran sosok Presiden Lee Teng-Hui dianggap amat berpengaruh bagi kelompok-kelompok masyarakat Taiwan utamanya yang mendukung nasionalisme Taiwan.
Pasca mangkatnya Presiden Lee Teng-Hui dinamika politik juga cenderung menunjukkan peningkatan popularitas kelompok nasionalisme Taiwan. Dalam tiga periode terakhir Democratic Progressive Party (DPP) yang mengusung nasionalisme Taiwan secara konsisten memenangkan pemilihan presiden dibandingkan partai-partai rivalnya (seperti KMT yang lebih membuka diri berinteraksi dengan China).
Lantas bagaimana dinamika historis di atas mempengaruhi perkembangan identitas nasional masyarakat Taiwan secara umum?
Mavric (2014) menjelaskan identitas nasional sebagai suatu tipe identitas sosial yang berakar pada perasaan menjadi bagian dan mengidentifikasikan diri dengan negara tertentu. Hal ini bisa menciptakan perbedaan antara “kami” dan “mereka” secara identitas nasional. Identitas nasional juga bersifat dinamis dan dapat berubah baik secara waktu maupun konteks. Pengalaman yang dimiliki seseorang dapat membentuk kesadaran tentang apakah saya menjadi bagian dari suatu kelompok nasional tertentu atau tidak. Sebagai contoh pengalaman sebagai minoritas dapat membuat saya semakin kuat mengikatkan diri dengan kelompok minoritas saya dan menolak budaya dari kelompok dominan.
Pandangan Mavric (2014) dapat menjelaskan apa yang terjadi di Taiwan saat ini. Perkembangan identitas nasional masyarakat Taiwan sedikit banyak dipengaruhi oleh eksistensi China sebagai pihak yang lebih dominan (baik secara area geografis, populasi, pengaruh sosial politik, dsb). Perjalanan sejarah sebagai satu bangsa membuat China merasa harus memperoleh kembali Taiwan sebagai bagiannya bagaimanapun caranya. Meski di sisi lain, munculnya gerakan-gerakan nasionalisme di Taiwan mendorong aspirasi yang lebih besar untuk menjadikan Taiwan sebagai entitas otonom/mempertahankan status quo.
Riset yang dilakukan oleh National Chengchi University terkait bagaimana orang-orang di Taiwan mengidentifikasikan diri mereka (apakah sebagai orang Taiwan/China/keduanya/tidak menjawab) cenderung mengindikasikan peningkatan secara gradual dan signifikan orang-orang di Taiwan yang menganggap diri mereka sebagai orang-orang Taiwan (dari 17,6% pada tahun 1992 menjadi 61,7% pada tahun 2023). Fenomena sebaliknya terjadi pada kelompok yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai orang-orang China terjadi penurunan sekitar 21% dari tahun 1992 ke tahun 2023. Demikian pula pada kelompok yang menganggap diri keduanya juga mengindikasikan tren penurunan secara konsisten sekitar 14% dari tahun 1992 ke tahun 2023.
Retrieved from: https://esc.nccu.edu.tw/upload/44/doc/6961/People202312.jpg
Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Pew Research Center mengindikasikan adanya kecenderungan pilihan partai yang berbeda antara mereka yang mengidentifikasikan diri sebagai orang-orang Taiwan maupun orang-orang China atau keduanya. Pada kelompok yang mengidentifikasikan diri sebagai orang-orang Taiwan, mereka cenderung memilih DPP. Sebaliknya pada kelompok yang mengasosiasikan diri sebagai orang-orang China atau keduanya, mereka cenderung memilih KMT.
Retrieved from: https://www.pewresearch.org/short-reads/2024/01/16/most-people-in-taiwan-see-themselves-as-primarily-taiwanese-few-say-theyre-primarily-chinese/
Hasil penelitian di atas dengan demikian menunjukkan bagaimana identitas nasional bisa berkembang seiring perkembangan zaman sesuai pendapat Mavric (2014). Di sisi lain dapat terlihat pula bahwa bagaimana seseorang memilih suatu partai sangat tergantung pada kesesuaiannya dengan identitas nasional yang diyakini. Adapun berbagai hal yang mendorong perubahan tren tersebut, meliputi:
1. Merasa memiliki musuh yang sama
Keberadaan musuh bersama selama ini dianggap penting dalam menciptakan soliditas kelompok. Munculnya China sebagai ancaman cenderung efektif dalam memperkuat identitas kolektif masyarakat Taiwan sebagai suatu bangsa (karena merasa memiliki dan harus melawan “musuh” yang sama).
2. Perkembangan demokrasi
Transformasi Taiwan menjadi negara demokrasi membuat masyarakat Taiwan menikmati kebebasan sebagai bangsa. Hal ini tidak mereka lihat terjadi di China dan mengalami ketakutan kehilangan kebebasan ini ketika unifikasi terjadi (terlebih setelah menyaksikan perkembangan politik yang terjadi di Hong Kong).
3. Peningkatan generasi yang lahir di Taiwan
Generasi-generasi terdahulu entah yang berasal dari China atau dididik oleh orangtua/kakek-nenek yang berasal dari China cenderung membangun identitas nasional sebagai orang-orang China. Namun dengan semakin banyaknya orang-orang yang lahir dan dibesarkan di Taiwan, mereka cenderung mengidentifikasikan diri secara ekslusif sebagai orang-orang Taiwan.
4. Perubahan kurikulum (konten sejarah Taiwan)
Pada tanggal 1 September 1997 pemerintah Taiwan menerbitkan seri buku teks dengan judul Knowing Taiwan untuk memperkenalkan perspektif baru mengenai sejarah Taiwan. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa pelajar yang mempelajari buku teks ini cenderung lebih melaporkan dirinya sebagai orang-orang Taiwan dibandingkan yang membaca buku-buku teks terdahulu (Chen et al, 2023).
Sebagai kesimpulan identitas nasional orang-orang Taiwan secara konsisten mengalami perubahan. Mayoritas penduduk Taiwan pada saat ini mengidentifikasikan diri mereka sebagai orang-orang Taiwan. Identitas ini tentu saja dibentuk baik secara internal maupun eksternal. Tindakan koersif yang digunakan Beijing sejauh ini tampak belum cukup efektif alih-alih semakin memperkuat identifikasi rakyat Taiwan terhadap identitas nasionalnya. Pendekatan yang lebih akomodatif diperlukan untuk dapat membangun rasa saling percaya dan menjaga stabilitas hubungan lintas selat.
Referensi:
Bunnag, S. (July 20th, 1999). World: Asia-Pacific Understanding Taiwan’s tactics. Retrieved July 4th, 2024, from: http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/399381.stm
Chen, W., Lin, M., & Yang, T. (2023). Curriculum and national identity: Evidence from the 1997 curriculum reform in Taiwan. Journal of Development Economics, 163, June 2023, 103078
Chung, L. (July 30th, 2020). Obituary: Lee Teng-hui, a controversial figure hailed as Taiwan’s ‘father of democracy.’ Retrieved July 4th, 2024, from: https://www.scmp.com/news/china/politics/article/3095139/lee-teng-hui-controversial-figure-hailed-taiwans-father?campaign=3095139&module=perpetual_scroll_0&pgtype=article
Davidson, H. & Lin, Chi-hui. (February 28th, 2024). ‘Facing up to history’: relatives of Taiwan’s 2-28 massacre victims demand official reckoning. Retrieved July 4th, 2024, from: https://www.theguardian.com/world/2024/feb/28/taiwan-228-february-28-massacre-victims-families-anniversary
Harrison, M. (July 13th, 2017). The end or martial law: An important anniversary for Taiwan. Retrieved July 4th, 2024, from: https://www.lowyinstitute.org/the-interpreter/end-martial-law-important-anniversary-taiwan
Li, Z. (December 25th, 2023). The more and more people in Taiwan identify as “Taiwanese” and not “Chinese” is partially the result of Beijing’s own policies. Retrieved July 4th, 2024, from: https://thediplomat.com/2023/12/the-evolution-of-identity-in-taiwan/
Mavric, B. (2014). Psycho-social conception of national identity and collective self-esteem. Epiphany, 7(1), 184 – 200.
National Human Rights Museum. (n.d.). White Terror Period. Retrieved July 4th, 2024, from: https://www.nhrm.gov.tw/w/nhrmEN/White_Terror_Period#:~:text=To%20tackle%20internal%20and%20external,the%20following%20year%20in%20Taiwan.
US Department of State. (n.d.). The Chinese Revolution of 1949. Retrieved July 4th, 2024, from: https://history.state.gov/milestones/1945-1952/chinese-rev.