ISSN 2477-1686  

 Vol. 10 No. 15 Agustus 2024

 

Stress Akulturatif Mahasiswa yang Merantau

 Oleh:

Clara R.P. Ajisuksmo

Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Sejalan dengan perkembangan jaman, banyak mahasiswa merantau ke daerah lain atau ke luar negeri untuk menimba ilmu. Alasan mereka merantau diantaranya adalah  banyak perguruan tinggi terkemuka yang menawarkan program akademik berkualitas tinggi. Banyak universitas dan pemerintah menyediakan beasiswa untuk mahasiswa internasional atau dari luar daerah, yang bisa mengurangi beban biaya pendidikan (Pramitha & Astuti, 2021). Mahasiswa ingin mendapatkan pendidikan terbaik yang mungkin tidak tersedia di daerah asal mereka. Beberapa program studi tertentu mungkin hanya tersedia di institusi tertentu yang berada di luar daearah asal mereka. Lulusan dari universitas ternama seringkali memiliki peluang kerja yang lebih baik dan lebih luas. Gelar dari institusi yang diakui secara internasional dapat meningkatkan prospek karier di pasar global (Oey-Gardiner,  Rahayu, Abdullah, dkk., 2017). Merantau untuk belajar memungkinkan mahasiswa membangun jaringan profesional yang luas dan bermanfaat di masa depan (Pramitha & Astuti, 2021).

Dengan berbagai alasan tersebut, mahasiswa berusaha untuk mencari dan mengejar peluang pendidikan terbaik yang bisa mereka akses, meskipun harus merantau ke daerah lain atau ke luar negeri. Program pertukaran pelajar memungkinkan mahasiswa untuk merasakan pengalaman belajar di luar negeri untuk jangka waktu tertentu tanpa harus meninggalkan institusi asal mereka. Individu dapat mengalami kebingungan, frustrasi dan konflik ketika berinteraksi dengan budaya baru (Gebregergis, 2018). Bentuk respon individu terhadap budaya baru tersebut dikatakan sebagai stress akulturatif, dan istilah ini lebih sering dikenal sebagai culture shock atau gegar budaya. Jadi stress akulturatif adalah bentuk stres yang dialami individu atau kelompok saat mereka berusaha beradaptasi dengan budaya baru yang berbeda dari budaya asal mereka (Berry, 2005). Menurut Oriza, Nuraeni dan Imran, (2016) kampus merupakan salah satu tempat terjadinya gegar budaya. Penelitian Gebregergis (2018) pada mahasiswa internasional yang belajar di Wuhan, Cina, dan penelitian Kee, Yyadav, Ngu, dkk (2022) pada mahasiswa internasional yang belajar di Malaysia melaporkan bahwa stress akulturatif terjadi karena mahasiswa rindu kampung halaman, mengalami gegar budaya dan adanya diskriminasi terhadap mereka. Demikian pula dengan penelitian Thahir dan Suryanto (2022) dan Pradana, Suryanto dan Meiyuntariningsih (2021)  yang melaporkan bahwa mahasiswa rantau yang belajar di Surabaya mengalami stress, cemas, depresi, marjinalisasi, rindu kampung halaman, dan kebingungan karena mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan masyarakat sekitar. Selain itu, mahasiswa rantau juga mengalami ketidakcocokan dengan makanan, cuaca dan iklim yang berbeda dari daerah asal mereka (Pradana, dkk., 2021).

Stress akulturatif pada mahasiswa rantau merupakan situasi psikologis dan emosional yang tidak dapat dihindari, dan akan mempengaruhi prestasi akademis mereka (Gebregergis, 2018; Pradana, dkk., 2021; Kee, dkk., 2022; Thahir & Suryanto, 2022). Mahasiswa dengan stress akulturatif yang rendah menunjukkan kinerja akademik yang lebih baik (Benita & Supriya, 2016). Cara individu mengatasi stres dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru sangat mempengaruhi tingkat stres akulturatif. Strategi koping yang kurang efektif dapat memperburuk situasi. Kesulitan dalam mempertahankan identitas budaya asal sambil mencoba berintegrasi dengan budaya baru bisa menyebabkan konflik identitas dan stres tambahan (Rahmanda & Satwika, 2023). Menurut Thahir dan Suryanto (2022) ada tiga dimensi koping kultural yang dilakukan oleh individu ketika mengalami stress akulturatif. Ketiga dimensi tersebut adalah collective coping (koping kolektif), avoidance coping (koping penghindaran), dan engagement coping (koping keterlibatan). Menurut Maryam (2017) koping merupakan respon perilaku dan fikiran yang dilakukan secara sadar oleh individu terhadap stres. Koping juga merupakan penggunaan sumber yang ada pada diri individu atau lingkungan sekitarnya, yang bertujuan untuk mengurangi dan mengatur konflik-konflik baik yang berasal dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya.

Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa merantau untuk menimba ilmu bukanlah suatu hal yang menakutkan dan perlu dihindari. Merantau memberi kesempatan untuk merasakan budaya, bahasa, dan lingkungan baru, yang dapat memperkaya pengalaman pribadi dan memperluas wawasan. Tinggal jauh dari rumah memaksa mahasiswa untuk belajar mandiri dan mengembangkan keterampilan hidup penting seperti manajemen waktu dan pengelolaan keuangan. Stress akulturatif, pasti terjadi pada semua mahasiswa yang merantau. Namun keterampilan individu untuk mengelola stress agar secara mental seseorang menjadi tetap sehat dan tidak terganggu kegiatan akademisnya adalah sangat penting.

Referensi:

Benita, M.S. & Supriya, M.V. (2016). Acculturative stress: effect on academic performance of rural migrant students.  International Journal of Business Excellence, 10 (1), 78-89.

Berry, W. J. (2005). Acculturation: living successfully in two cultures. International Journal of Intercultural Relation, 29(6), 697-712

Gebregergis, W. (2018). Major causes of acculturative stress and their relations with sociodemographic factors and depression among international students. Open Journal of Social Sciences, 6, 68-87. doi: 10.4236/jss.2018.610007.

Kee, D.M.H, Yyadav, S., Ngu, H.J., Rajogoval, N.A/P, Mohd Noor, N.N.S. & Sasitheran, N.A.V. (2022). Acculturative stress among international students: A case of Malaysian Universities. Asia Pacific Journal of Management and Education, 5(1),22-33. DOI: https://doi.org/10.32535/apjme.v4i 3.1425

Maryam, S. (2017). Strategi coping: Teori dan sumberdayanya. Jurnal Konseling Andi Matappa, 1 (2), 101-107

Oey-Gardiner, M., Rahayu, S.I.,  Abdullah, M.A., Effendi, S., Darma, Y., Dartanto, T. & Aruan, C.A. Era Disrupsi. Peluang dan Tantangan Pendidikan Tinggi Indonesia. Jakarta:Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Oriza, V.D., Nuraeni, R & Imran, A.I. (2016). Proses adaptasi dalam menghadapi komunikasi antar budaya mahasiswa rantau di Universitas Telkom. e-Proceeding of Management : 3, (2), 2377 - 2384

Pradana, H.H., Suryanto, S. & Meiyuntaringsih, T. (2021). Stres akulturatif pada mahasiswa luar Jawa yang studi di Universitas 17 Agustus 1945. Jurnal Psikologi Perseptual, 6 (1), 16-23. DOI:10.24176/perseptual.v6i1.5145

Pramitha, R. & Astuti, Y.D. (2021). Hubungan kesejahteraan psikologis dengan kesepian pada mahasiswa yang merantau di Yogyakarta. Jurnal Sosial dan Teknologi (SOSTECH), 1(10): 1.179-1.186

Rahmanda, Y.A. & Satwika, Y.W. (2023). Gambaran stres akulturatif pada mahasiswa baru yang merantau (beda budaya). Character : Jurnal Penelitian Psikologi, 10 (01). 825-844.

Thahir, A.Z. & Suryanto, S. (2022). Stress akulturatif pada individu mahasiswa rantau di Surabaya. JIIP (Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan), 5 (11), 4909-4916. DOI : https://doi.org/10.54371/jiip.v5i11.1124