ISSN 2477-1686
Vol. 10 No. 14 Juli 2024
Menjembatani Perbedaan Sejak Dini dengan Mengimplementasikan Teori Intergroup Contact
Oleh:
Made Syanesti Adishesa
Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Center for the Study of Sustainable Community, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Perbedaan sebagai katalis dari inovasi dan progres
Dalam dunia yang semakin global, keberagaman akan menjadi hal yang tak terhindarkan di berbagai konteks. Situasi ini membuat interaksi antar kelompok yang berbeda budaya, latar belakang, negara, dan keyakinan, akan menjadi bagian yang tidak dapat dilepaskan dari kegiatan sehari-hari (Armache, 2012). Tim kerja yang lebih beragam juga membawa banyak manfaat, seperti meningkatkan kreativitas, memungkinkan ide dan perspektif yang lebih beragam, serta membawa alternatif solusi yang lebih banyak. Perbedaan latar belakang antar anggota tim justru membuat tim tersebut lebih inovatif, produktif, dan efektif dalam memecahkan masalah (Adler & Gundersen, 2008). Akan tetapi, perbedaan juga dapat membawa masalah baru ke dalam sebuah tim. Interaksi antar orang dari latar belakang berbeda dapat diwarnai dengan rasa tidak percaya (mistrust), stereotip, prasangka, dan pada titik ekstrim dapat berujung pada diskriminasi (Adler & Gundersen, 2008). Dalam situasi ini, miskomunikasi dan interaksi yang diwarnai konflik rentan terjadi dalam tim tersebut. Mengingat globalisasi yang akan senantiasa terjadi di masa depan, kemampuan berinteraksi dengan orang yang berbeda-beda merupakan bekal yang krusial bagi generasi muda kita. Lantas, apa yang bisa kita lakukan untuk memupuk kemampuan tersebut?
Apakah interaksi dapat mengurangi konflik?
Bayangkan Anda memimpin sebuah tim kerja. Anda mengetahui anggota-anggota tim Anda berasal dari berbagai latar belakang budaya, keyakinan, dan memiliki idealisme yang bertentangan. Semakin sering Anda mendorong para anggota berinteraksi satu sama lain, seharusnya mereka akan saling mengenal dan semakin akrab, bukan? Teori intergroup contact yang dikembangkan oleh Gordon Allport menyatakan sebaliknya. Kadang, interaksi antar kelompok yang berbeda justru dapat memperkuat stigma negatif dan prasangka yang sudah ada. Bahkan interaksi tersebut dapat meningkatkan konflik antar kelompok serta membuat sentimen negatif yang telah ada semakin kuat (Christ & Kauff, 2019). Untuk dapat mengurangi prasangka, interaksi antar kelompok yang berbeda perlu memiliki empat syarat: adanya kesetaraan status, ada tujuan bersama yang perlu dicapai, ada dorongan untuk bekerja sama mencapai tujuan bersama, dan norma/sistem hukum yang suportif. Dengan demikian, mengajak generasi muda berinteraksi dengan kelompok yang berbeda-beda saja tidak cukup untuk mengurangi prasangka dan stigma yang telah ada.
Membangun kesadaran akan pentingnya interaksi antar kelompok yang positif
Di ruang kuliah, ada sebuah aktivitas yang sering saya gunakan untuk mengajak mahasiswa menyadari betapa mudahnya kita memecah-mecahkan diri dalam kelompok. Aktivitas ini saya sadur dari kegiatan yang dirancang oleh Jon Muller (2023), seorang profesor emeritus di bidang psikologi sosial. Saya meminta mahasiswa membagi diri menjadi dua kelompok berdasarkan alas kaki yang mereka gunakan hari itu. Satu kelompok adalah para mahasiswa yang menggunakan sepatu sneakers (sepatu olahraga) dan satu kelompok berisi para mahasiswa yang menggunakan alas kaki lain (sandal, sandal sepatu, sandal gunung, sepatu datar, sepatu bot, dan lain-lain). Kemudian, saya meminta kedua kelompok menulis di depan kelas: menurut pendapat kelompok Anda, mengapa kelompok lain menggunakan alas kaki tersebut? Biasanya, mahasiswa akan mulai menulis alasan yang bernuansa netral. Seiring berjalannya waktu, akan muncul alasan yang bernada meledek/merendahkan, seperti “mungkin mereka malas pakai sepatu yang ada talinya”, atau “mungkin mereka sombong dan ingin memamerkan sepatu olahraga mereka”. Saya kemudian mengajak mahasiswa mendiskusikan betapa mudahnya kita mengkategorisasikan diri menjadi ‘kelompok saya’ (in group) dan ‘kelompok mereka’ (out group). Dalam psikologi sosial, kecenderungan mengkategorisasi diri ini dapat berujung pada munculnya pola pikir us versus them (kita versus mereka), stigma-stigma negatif, serta prasangka antar kelompok yang berbeda. Aktivitas ini saya gunakan untuk menyorot betapa pentingnya memahami bagaimana berinteraksi dengan kelompok yang berbeda, dengan cara yang meminimalisasi stigma dan prasangka.
Program yang dirancang khusus untuk mengurangi stigma
Dalam literatur ilmiah mengenai interaksi antar kelompok juga telah dibahas berbagai program yang dirancang secara khusus untuk digunakan dalam konteks interaksi antar kelompok. Sebagai contoh, program Opening Minds through Arts (OMA) yang pernah dibahas di media ini sebelumnya (Florence, Deviarini, & Suwartono, 2023). Program ini menggunakan seni sebagai media untuk menjembatani interaksi antar anak muda dengan ODD (Orang dengan Demensia). Program ini telah terbukti secara ilmiah mengurangi stigma negatif terhadap ODD dan lansia. Ada pula program seperti ScrippsAVID (Arts-based, Virtual, Intergenerational, Dementia-friendly) yang walau dirancang untuk membangun interaksi personal antar anak muda dengan ODD, juga dapat digunakan di konteks lain. Sebagai contoh, ScrippsAVID pernah digunakan di konteks interaksi generasi Z dengan generasi lain (milenial, generasi X). Dalam program ini, dua orang dari kelompok berbeda diajak melakukan aktivitas bersama yang dirancang untuk memperdalam koneksi, mengurangi stigma, dan membangun koneksi di level personal.
Intergroup contact di ruang kelas
Keempat prinsip intergroup contact juga dapat diterapkan di kegiatan sehari-hari, seperti di ruang kelas. Metode belajar jigsaw learning merupakan salah satu contoh implementasi intergroup contact yang mendorong pelajar berinteraksi secara positif dengan kelompok yang berbeda (Nalls & Wicker, 2022). Dalam metode ini, pelajar dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang membahas topik yang berbeda-beda. Setelah itu, semua kelompok dilebur dalam kelompok baru yang mencakup perwakilan dari masing-masing kelompok topik. Dalam kelompok baru, setiap perwakilan kelompok bertanggung jawab memastikan teman-temannya memahami topik yang ia kuasai. Dengan demikian, ada kesetaraan status (setiap orang menguasai topik yang berbeda-beda), tujuan bersama dan dorongan untuk mencapainya (semua anggota kelompok harus bisa memahami semua topik), dan norma suportif (keberadaan guru yang memastikan interaksi positif).
Kesimpulan
Berinteraksi dengan kelompok yang berbeda-beda merupakan sebuah keharusan di era globalisasi. Perbedaan adalah sesuatu yang perlu disambut sebagai jalan menuju inovasi dan kreativitas. Semua orang, termasuk generasi muda yang akan segera memasuki dunia kerja, perlu memahami prinsip interaksi yang positif agar terbentuk tim kerja yang efektif.
Referensi:
Adler, N. & Gundersen, A. (2008). International dimensions of organizational behavior. (5th ed.). Thomson/South-Western.
Armache, J. (2012). Diversity in the Workplace: Benefits and Challenges. Journal of International Diversity, (1).
Christ, O. & Kauff, M. (2019). Intergroup contact theory. In K. Sassenberg, M. L. W. Vliek (eds.), Social Psychology in Action (pp. 145-158). Springer Nature Switzerland AG. https://doi.org/10.1007/978-3-030-13788-5_10
Florence, N., Deviarini, A., & Suwartono, C. (2023, October 2). Taklukkan Stigma: Program OMA Membawa Perubahan Sikap Positif Terhadap Orang dengan Demensia. Buletin KPIN, 9 (19). https://buletin.k-pin.org/index.php/daftar-artikel/1385-taklukkan-stigma-program-oma-membawa-perubahan-sikap-positif-terhadap-orang-dengan-demensia
Mueller, J. (2023, September 1). Conflict & Peacemaking: Activities and Exercises. Resources for the teaching of Social Psychology - conflict and peacemaking. https://crow.jonfmueller.com/conflict.htm
Nalls, A. J., & Wickerd, G. (2022). The Jigsaw Method: Reviving a Powerful Positive Intervention. Journal of Applied School Psychology, 39(3), 201–217. https://doi.org/10.1080/15377903.2022.2124570