ISSN 2477-1686
Vol. 10 No. 14 Juli 2024
Toleransi
Oleh:
Sri Fatmawati Mashoedi, Eko A Meinarno, Khansa Nabila Anjani
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Pengantar
Saat itu, berbagai mahasiswa di sebuah universitas negeri melaksanakan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Salah satu di antara mereka ada seorang mahasiswa yang beragama Hindu. Saat makan siang, semua mengantri makan, dan mahasiswa tersebut menyadari bahwa menu makanannya adalah daging sapi. Ia pun menjadi tidak mengambilnya, sesuai dengan keyakinannya yang tidak memperkenankan mengonsumsi daging sapi.
Seorang temannya memperhatikan hal itu dan memastikan bahwa ia tidak dapat mengonsumsi daging sapi. Hal ini menjadi perhatian karena penataran akan berlangsung selama setidaknya satu minggu. Teman yang kebetulan beragama berbeda dengan mahasiswa ini mendatangi panitia dan menyampaikannya. Panitia pun memahami, sehingga pada hari-hari selanjutnya, panitia memberikan menu berbeda yang non-daging pada mahasiswa tersebut. Kejadian hangat ini merupakan bentuk dari sebuah toleransi. Mari kita membahas lebih lanjut mengenai toleransi dan juga kaitannya dengan psikologi.
Definisi Toleransi
Toleransi adalah sikap menerima, memberi izin, dan melindungi adanya perbedaan pendapat, keyakinan, atau praktik yang dilakukan oleh kelompok lain. Toleransi bukan berarti harus ikut menyetujui hal yang berbeda dari keyakinan kita. Individu yang bersikap toleran dapat tidak setuju atau memiliki pandangan yang berbeda dengan kelompok lain, tetapi juga membiarkan apa yang menjadi pandangannya tidak mencampuri pandangan orang lain yang berbeda, dan begitu juga sebaliknya. Maka itu, toleransi menjadi kunci penting dalam kehidupan sosial yang beragam, adil, dan terbuka (Verkuyten et al., 2022). Lebih lanjut, bersikap toleran berarti menerima aksi, kepercayaan, kemampuan fisik, agama, adat, etnis, kewarganegaraan, dan hal-hal lain yang berbeda dari diri kita. Sikap yang tergambar dari berperilaku toleran adalah individu dapat adil dan objektif terhadap sudut pandang yang berbeda tersebut (APA Dictionary, 2018).
Komponen-Komponen Toleransi
Verkuyten dan Yogeeswaran (2017) memaparkan bahwa terdapat tiga komponen dalam toleransi yang terkait dengan sosial-psikologi individu. Ketiga komponen tersebut adalah objection, acceptance, dan rejection.
Komponen objection pada toleransi adalah bentuk aspek afektif individu. Komponen ini tergambar dari bagaimana individu dapat menerima sesuatu yang aslinya tidak mereka setujui. Individu dapat secara objektif membedakan antara “tidak menyukai” dan “tidak menyetujui” apa yang menjadi kepercayaan orang lain. Tidak menyukai (dislike) adalah bentuk perasaan negatif, bahkan membenci, dari individu ke sekelompok orang yang berbeda pandangan. Sementara itu, tidak menyetujui (disapproval) adalah sikap tidak setuju terhadap kepercayaan tertentu dengan alasan-alasan moral. Sebagai contoh, orang dapat tidak menyetujui kepercayaan agama tertentu, tetapi tidak perlu sampai membenci para penganut agama tersebut.
Komponen acceptance pada toleransi adalah bentuk proses psikologis individu. Individu yang toleran menerima secara sukarela aturan dan praktik yang berbeda yang dilakukan oleh kelompok yang berbeda tanpa melakukan sentimen negatif, diskriminasi, dan penindasan. Perilaku menerima hal yang tidak disetujui dapat menimbulkan dissonance, maka itu mempertahankan toleransi mungkin dapat cukup menantang bagi individu. Namun, perilaku toleransi menitikberatkan kepada menerima apa yang kita tolak dan memilih untuk tidak intoleransi, atau menolak apa yang kita tolak. Dengan menerima, kita bersikap positif terhadap perbedaan yang ada, dan tidak menekan pandangan orang lain yang berbeda dari kita. Perilaku toleransi menjadi bentuk untuk menghargai hak kebebasan semua individu untuk memiliki kesempatan secara bebas mengekspresikan pendapat dan keyakinannya.
Terakhir, komponen rejection pada toleransi adalah bentuk hasil tingkah laku individu. Apabila individu memiliki tingkat toleransi yang lemah, individu dapat dengan mudah melakukan diskriminasi dan menjustifikasi tingkah laku negatif terhadap orang lain yang berbeda. Namun, toleransi tetap ada batasnya, dan apabila hal berbeda itu sudah mencapai batas untuk ditoleransi, individu tetap perlu seimbang dalam melihat alasan yang objektif mengapa hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Misalnya, jika terdapat kepercayaan atau pandangan yang memang merugikan secara moral, individu harus melihat dengan objektif dan rejection, atau memposisikan intoleransi sebagai respons yang positif demi kebaikan bersama.
Mengapa Harus Toleran?
Indonesia memiliki lebih dari seribu suku bangsa beserta keberagaman budaya dan kepercayaannya. Bayangkan jika dalam banyaknya perbedaan yang dihadapi itu, masyarakat tidak saling menoleransi, tidak saling menerima dan memahami bahwa ada perbedaan antara satu orang dengan orang lainnya. Kacau!
Kondisi di Indonesia menguntungkan untuk dapat menjalankan toleransi. Pertemuan dengan banyak individu yang beragam latar belakang “memaksa” untuk dapat memahami orang lain (Meinarno, 2023). Ketika pemahaman terhadap orang lain meningkat, kekhawatiran atau bahkan rasa takut padanya berkurang (Meinarno & Putra, 2023). Kita tidak lagi cemas terhadap orang lain yang berbeda.
Salah satu bentuk implikasi dari toleran adalah berkurangnya prasangka. Hal ini dimungkinkan karena kita bersedia untuk bertemu, berkenalan, dan menjalin relasi dengan orang-orang baru. Pertemuan ini membuka peluang belajar dari orang lain, mengetahui perbedaan, dan mengetahui persamaan walau dalam kondisi yang beragam. Kecurigaan turun, prasangka serta diskriminasi hilang, dan tumbuh rasa aman. Selain itu, tidak hanya dapat menimbulkan keamanan dan kenyamanan bersama, sikap toleransi membuat individu dapat berhubungan baik dengan orang lain yang dapat menimbulkan emosi positif dan tingkat kepuasan hidup yang tinggi bagi dirinya (Xu et al., 2016).
Pada prinsipnya, toleransi adalah dapat memahami dan menerima perbedaan yang ada di antara manusia. Dengan toleransi, berarti kita terbuka terhadap beragam perbedaan dan mampu melihat keindahan dalam keberagaman. Ingat bahwa keindahan pelangi terletak pada keberagaman warnanya (Rahmania & Meinarno, 2022).
Lalu, Bagaimana Cara untuk Bertoleransi?
Toleransi tidak terlepas dari adanya sikap saling menghargai (respect). Diketahui individu yang dapat menghargai dan menghormati orang lain dapat mengembangkan sikap toleran yang lebih baik (Simon et al., 2019).
Sikap menghargai orang lain juga perlu dimunculkan dengan cara yang baik dan tulus, bukan terlihat seperti “mendominasi” atau menjadi memberi stigma atau stereotip tertentu kepada kelompok yang berbeda. Selain itu, kita perlu menerima dan menghargai, dalam artian juga membiarkan individu yang berbeda pandangan tersebut memiliki kebebasan untuk mengontrol tindakan dan kepercayaannya, dan bukan kita yang mengontrol mereka (Verkuyten et al., 2020).
Toleransi juga harus hadir di setiap saat dan bukan sebagai “itikad baik dari kelompok mayoritas”, karena hal tersebut akan membuat toleransi tampak sebagai hal yang tidak pasti. Jadikanlah perilaku toleransi memang hadir di setiap waktu dan bukan hal yang membuat kaum minoritas harus “bergantung” pada kaum mayoritas. Dengan demikian, tiap individu dapat bebas mengekspresikan pendapat, keyakinan, dan pilihannya secara autentik dan hal ini dapat mendukung well-being individu itu sendiri (Verkuyten et al., 2020).
Penutup
Toleransi berarti kita memahami bahwa terdapat perbedaan pandangan antara diri kita dan orang lain. Kita boleh saja tidak setuju dengan perbedaan pandangan, tetapi jangan sampai menolak, membenci, bahkan mendiskriminasi orang yang berbeda dari kita tersebut. Dengan kita menerima dan memahami, kita dapat hidup selaras bersama-sama dalam perbedaan, menciptakan keharmonisan yang bagus untuk kehidupan bermasyarakat sekaligus untuk kesejahteraan diri kita sendiri. Mari buktikan bahwa Indonesia merupakan negara yang memang pantas mengenyam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yakni berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Referensi:
American Psychological Association. (2018).Tolerance.https://dictionary.apa.org/tolerance.
Meinarno, EA. (2023). Ruang Jumpa Itu Perlu Diperkenalkan Sejak Dini. Buletin KPIN. Vol. 9 No. 14 Juli. https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/1336-ruang-jumpa-itu-perlu-diperkenalkan-sejak-dini
Meinarno, EA., Putra, IE. (2023). Psikologi Sosial dalam Terapan: Turut Serta Merayakan Imlek. Buletin KPIN. Vol. 9 No. 03. https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/1216-psikologi-sosial-dalam-terapan-turut-serta-merayakan-imlek
Popov, L. K., Popov, D., & Kavelin, J. (1997). The family virtues guide: Simple ways to bring out the best in our children and ourselves. Penguin.
Rahmania, T., Meinarno, EA. (2022). Orang Tua Dan Watak Berkebhinekaan Global. Buletin KPIN. Vol. 8 No. 21. https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/1157-orang-tua-dan-watak-berkebhinekaan-global
Simon, B., Eschert, S., Schaefer, C. D., Reininger, K. M., Zitzmann, S., & Smith, H. J. (2019). Disapproved, but tolerated: The role of respect in outgroup tolerance. Personality and Social Psychology Bulletin, 45(3), 406–415. DOI: https://doi.org/10.1177/0146167218787810
Verkuyten, M., Yogeeswaran, K., & Adelman, L. (2022). The social psychology of intergroup tolerance and intolerance. European Review of Social Psychology, 34(1), 1–43. DOI: 10.1080/10463283.2022.2091326.
Verkuyten, M., Yogeeswaran, K., & Adelman, L. (2020). The negative implications of being tolerated: Tolerance from the target’s perspective. Perspectives on Psychological Science, 15(3), 544–561. DOI: https://doi.org/10.1177/1745691619897974
Verkuyten, M., & Yogeeswaran, K. (2017). The social psychology of intergroup toleration: A roadmap for theory and research. Personality and Social Psychology Review, 21(1), 72–96. DOI: https://doi.org/10.1177/1088868316640974
Xu, W., Oei, T. P., Liu, X., Wang, X., & Ding, C. (2016). The moderating and mediating roles of self-acceptance and tolerance to others in the relationship between mindfulness and subjective well-being. Journal of Health Psychology, 21(7), 1446–1456. DOI:10.1177/1359105314555170