ISSN 2477-1686 

 Vol. 10 No. 13 Juli 2024

Regulasi diri: Dimulai sejak Usia Dini

 Oleh:

Sri Redatin Retno Pudjiati, Eko A Meinarno

Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

Pengantar

Ananda, anak perempuan berusia dua tahun sedang berusaha meletakkan kembali gelas plastik yang baru saja ia pakai untuk minum ke tempat cucian piring. Gelas itu beberapa kali jatuh ke lantai, namun ia berusaha menempatkannya kembali ke tempat yang seharusnya. Ibu yang ada di belakang Ananda dengan suara lembutnya mendorong sang anak untuk kembali berusaha meletakkan gelas tersebut ditempatnya. Usaha keras yang dilakukan oleh Ananda untuk meletakkan gelas kotor pada tempatnya, dengan didukung oleh dorongan ibu adalah suatu proses mengelola perilaku, usaha untuk tidak berputus asa menyelesaikan tujuan terus-menerus hingga tercapai apa yang dikehendaki adalah sebuah proses mengarahkan atau mengatur diri sendiri untuk mencapai sebuah tujuan, yang dikenal dengan istilah regulasi diri (self regulation)

Menurut Blair (2016), yang dimaksud dengan regulasi diri pada anak usia dini adalah kemampuan anak mengelola perhatian dan dorongan saat melakukan suatu perilaku yang dituju. Regulasi merupakan sebuah keterampilan yang berkembang sesuai dengan tahapan perkembangan seseorang, sehingga merupakan sebuah proses yang panjang dan memerlukan waktu bertahun-tahun. Saat seorang anak masih bayi, dia akan sulit mengalihkan perhatian dari sebuah obyek, namun ketika dia berusia sekitar enam bulan sudah dapat mengalihkan perhatian secara fleksibel untuk fokus pada orang atau benda yang berbeda. Sedangkan saat menginjak usia satu tahun ia sudah dapat mencari mainan yang disembunyikan. Contoh yang sederhana ini menggambarkan bagaimana kemampuan memusatkan perhatian pada suatu hal yang diinginkan berkembang dari waktu ke waktu. Pada usia pra sekolah keterampilan melakukan regulasi diri mengalami perkembangan yang pesat karena kemampuan ini terkait dengan aspek perkembangan lain seperti keterampilan membina hubungan dengan teman sebaya atau orang lain disekitar mereka dan mengelola emosi (Montroy et al., 2016).

Kemampuan regulasi diri menjadi lebih penting untuk dikembangkan pada tahap pekembangan usia dini karena pada usia ini anak mulai dapat mengarahkan diri dengan inisiatif dari dirinya sendiri (Kopp, 1982). Anak sudah tahu bahwa kalau haus dia akan pergi ke dapur mengambil air minum misalnya, atau dengan kata lain anak dengan kemampuan regulasi diri yang baik dapat memikirkan konsekuensi yang mungkin terjadi saat ia melakukan sesuatu, dan ia juga akan mempertimbangkan berbagai kemungkinan tindakan yang paling sesuai dengan kondisi yang dihadapi (Bodrova & Leong, 2007). Pada contoh anak yang haus tadi, jika saat pergi ke dapur ternyata tidak ada orang di sana dan ia tahu bahwa gelas untuk mengambil air tidak ada yang bersih, ia akan pergi mencari orang yang dapat membantu mencucikan gelas atau jika sudah dapat mencuci gelas sendiri, ia akan mencuci dulu gelas kotor tersebut.

Berbagai penelitian membuktikan bahwa kemampuan regulasi diri amat penting untuk dikembangkan pada usia prasekolah terutama karena secara positif dapat memprediksi keterampilan sosio-emosional. Anak akan lebih peka dalam mengenali emosi dirinya dan juga orang lain. Misalnya saat seorang anak sedang merasa bahagia karena dibawakan kue kesukaannya, tiba-tiba ia melihat teman sebangkunya sedang murung, maka ia menawarkan kue tersebut sebagai sebuah usaha menghibur (Korucu et al., 2022). Ketika seorang anak berinteraksi dengan orang lain, ia harus bisa mengenali bagaimana emosi orang lain dan intensi mereka, sehingga bisa terjalin interaksi timbal-balik, kemampuan anak melakukan dengan baik menjadi indikator kemampuan regulasi diri yang baik.

Dengan kata lain, anak-anak yang mengalami kesulitan dalam mengembangkan kemampuan regulasi diri mengalami kesulitan untuk mengontrol emosi dan tingkah lakunya sehingga menemui kesulitan dalam berinteraksi dengan teman sebaya mupun dengan orang lain disekitarnya. Hal ini yang kelak memungkinan terbentuknya kecenderungan perilaku bermasalah (Brajša-Žganec & Hanzec, 2015).

Mengembangkan Kemampuan Regulasi diri

Mengingat regulasi diri adalah sebuah keterampilan, maka diperlukan latihan agar dapat berkembang optimal sesuai dengan tahap perkembangan. Beberapa cara praktis di bawah ini dapat menjadi gambaran untuk membentuk regulasi diri pada anak usia dini. Cara tersebut adalah

  1. Penting bagi orang tua untuk menjadi teladan atau contoh yang baik. Jika orang tua ingin anak belajar mengendalikan amarah, maka orang tua harus menunjukkan cara mengekspresikan rasa marah dengan tenang dan berbicara secara positif. Misalnya ketika ayah kesal kepada ibu, akan mengatakan perasaannya “Ayah kesal rasanya karena Ibu ingkar janji untuk pulang pukul 04.00 sore”.Anak perlu mengetahui adanya batasan dan konsistensi dalam melakukan suatu hal. Contoh: Adanya aturan tentang waktu tidur yang konsisten yakni setiap malam tidur pukul 20.00 malam.
  2. Memberikan anak pilihan, namun terbatas. Anak perlu diberikan keleluasaan membuat pilihan-pilihan, namun jangan terlalu banyak alternatif yang diberikan, karena akan membuat mereka bingung. Batasi saja menjadi dua atau paling banyak tiga pilihan. Contoh: Berilah anak kesempatan untuk memilih lauk yang mereka inginkan, namun beri anak dua macam lauk yang dapat mereka pilih. Hal ini membantu membangun rasa memiliki kendali pada anak.
  3.  Mengajarkan anak bagaimana cara-cara mengendalikan diri. Anak-anak perlu diajak untuk mengembangkan kemampuan mengendalikan perilaku mereka. Di dalamnya termasuk mengatasi impuls, menunggu giliran, dan mengendalikan dorongan untuk bertindak tanpa memikirkan konsekuensinya. Contoh: latihan awal yang dapat diajarkan kepada anak misalnya bernapas dalam-dalam ketika mereka merasa marah atau frustrasi, lakukanlah hal tersebut bersama dengan mereka.
  4. Membantu anak memahami emosi. Terutama dimasa-masa awal perkembangan, anak-anak perlu belajar untuk mengenali dan memahami emosi mereka sendiri. Pengenalan ini dapat dilakukan dengan melibatkan pengenalan ekspresi wajah, kata-kata, dan gerakan tubuh yang terkait dengan berbagai emosi. Contoh: Pemahaman ini dapat dimulai dengan mengajarkan anak mengenai emosi dasar seperti senang, sedih, marah. Perlihatkan dan bicarakan tentang bagaimana perasaan tersebut dapat diungkapkan.
  5. Membantu anak mengekspresi emosi secara sehat. Anak-anak perlu diajarkan cara menyatakan emosi mereka dengan cara yang sehat dan secara sosial dapat diterima. Di dalamnya tercakup berbicara mengenai perasaan mereka, menggunakan kata-kata yang sesuai, dan mengekspresikan diri tanpa merugikan orang lain Contoh: Saat anak menangis karena sepupunya tidak mau bergantian bermain mainan yang sama, ajarkan anak untuk mengemukakan keinginan kepada sepupu dengan cara yang baik. 
  6. Memberikan Pujian dan Penguatan Positif. Setelah apa yang dilakukan oleh anak dengan baik, maka perbuatan baik mereka perlu diberi penguatan. Contoh: Ketika anak berhasil mengatasi tantangan atau mampu mengendalikan diri saat situasi sulit, maka mereka patut menerima pujian.
  7. Memberi ruang pada anak untuk membuat kesalahan. Hal ini perlu dilakukan agar anak mendapat pembelajaran dari pengalaman mereka, karena penting untuk membantu anak-anak memahami konsekuensi dari tindakan yang telah mereka lakukan. Ini dapat melibatkan refleksi bersama setelah situasi tertentu untuk membantu mereka memahami dampak dari perilaku mereka. Contoh: Jika anak membuat kesalahan, berbincanglah dengan anak untuk bersama-sama memahami apa yang terjadi dan membantu anak untuk melihat bagaimana ia bisa melakukan hal yang berbeda jika suatu waktu menemui hal yang kurang lebih sama.
  8. Merancang kegiatan yang terstruktur. Salah satu alasan mengapa anak perlu memiliki kegiatan yang terstruktur adalah juga untuk memberi kesempatan bertanggung jawab. Rutinitas yang memiliki struktur akan membuat anak merasa lebih nyaman karena dia dapat melakukan antisipasi. Contoh: Orang tua bisa membuat rutinitas harian yang terstruktur bersama-sama dengan anak, misalnya menentukan kapan waktu untuk bermain, belajar, makan, dan tidur.

Lingkungan dan interaksi anak dengan orang lain di sekitar merupakan faktor utama yang memengaruhi regulasi diri anak. Anak-anak usia dini masih memerlukan bantuan dari orang lain untuk mengembangkan keterampilan regulasi diri, terutama melalui interaksi mereka dengan orangtua. Melalui interaksi tersebut, orang tua memberikan dukungan, memberikan kesempatan kepada anak untuk berlatih, dan contoh kepada anak mengenai bagaimana cara meregulasi pikiran, perasaan, dan tingkah laku. Anak akan melakukan internalisasi berbagai strategi-strategi regulasi diri yang diajarkan oleh orangtua secara bertahap, sehingga anak mampu untuk meregulasi dirinya secara mandiri (Erdmann & Hertel, 2019)

Penutup

Pembentukan regulasi diri memerlukan waktu yang bahkan hampir sepanjang kehidupan manusia itu sendiri. Anak-anak akan sangat bergantung pada orang tua atau pengasuh mereka untuk membantu mengelola emosi dan perilaku mereka. Orang tua mengajarkan regulasi diri kepada anak melalui interaksi yang hangat dan responsif dengan anak (Murray et al., 2015).  Dengan membantu anak-anak mengembangkan regulasi diri sejak dini, kita membantu mereka membangun dasar untuk kesejahteraan psikologis, hubungan sosial yang baik, dan kesuksesan akademis di masa depan. Apalagi saat ini ketika kita semua sudah memasuki era digital, semua hal yang berkaitan dengan teknologi sudah masuk dalam ranah keluarga.

Referensi:

Blair, C. (2016). The development of executive functions and self-regulation: A bidirectional psychobiological model. In Vohs & R. F. Baumeister (Eds.), Handbook of self-regulation: Research, theory, and applications (pp. 417-439). The Guilford Press.

Bodrova, E., & Leong, D. J. (2007). Tools of the Mind: The Vygotskian approach to early childhood education (2nd Ed.). Columbus, OH; Merrill/Prentice Hall.

Brajša-Žganec, A., & Hanzec, I. (2015). Self-regulation, emotion understanding and aggressive behaviour in preschool boys. Croatian Journal of Education, 17(1), 13-24. doi: 10.15516/cje.v17i0.1493

Erdmann, K. A., & Hertel, S. (2019). Self-regulation and co-regulation in early childhood– development, assessment and supporting factors. Metacognition and Learning, 14,229-238. https://doi.org/10.1007/s11409-019-09211-w

Kopp, C. B. (1982). Antecedents of selfregulation: A developmental perspective. Developmental Psychology, 18(2), 199–214

Korucu, I., Ayturk, E., Finders, J. K., Schnur, G., Bailey, C. S., Tominey, S.L., & Schmitt, S. A. (2022). Self-regulation in preschool: Examining its factor structure and associations with pre-academic skills and social-emotional competence. Frontiers in Psychology, 12, 717317. doi: 10.3389/fpsyg.2021.717317

Papalia, D E., & Martorell, G. (2021). Experience Human Development. 14thed. McGraw-Hill.

Marots, lynn R., & Allen, K. E. (2016). Developmental Profiles Pre-Birth Through Adolescence. Cengage Learning.

Montroy, J. J., Bowles, R. P., Skibbe, L. E., McClelland, M. M., & Morrison, F. J. (2016). The development of self-regulation across early childhood. Developmental psychology, 52(11), 1744–1762. https://doi.org/10.1037/dev0000159

Murray, D., Rosenbalm, K., Christopoulos, C., & Hamoudi, A. (2015). Self-regulation and toxic stress report 1: Foundations for understanding self-regulation from an applied developmental perspective. Office of Planning, Research and Evaluation, Administration for Children and Families, US Department of Health and Human Services.