ISSN 2477-1686
Vol. 10 No. 13 Juli 2024
Full- Time Children: Fenomena Generasi Muda di Tiongkok
Oleh:
Puji Tania Ronauli
Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Akhir – akhir ini, kita sering mendengar sebuah fenomena yang terjadi di kalangan generasi Z terkait mudahnya berpindah – pindah kantor. Setelah diterima di sebuah kantor namun tidak merasa cocok dengan berbagai alasan, generasi Z cenderung lebih mudah mengambil langkah resign meskipun belum memiliki tempat kerja yang baru. Akhir dari masa probation atau masa kontrak dijadikan akhir dari masa kerja mereka di suatu perusahaan. Tidak jarang generasi Z mengambil gap year atau jeda/masa tenang beberapa waktu untuk memikirkan dan mencari pekerjaan nantinya. Memang, generasi Z ini sering dikenal sebagai satu Angkatan yang memiliki masa kerja mereka sangat singkat. Memiliki karyawan yang suka berpindah – pindah tidaklah harapan dari satu perusahaan karena banyak kerugian moril maupun materil yang diakibatkannya.
Gap year atau masa tenang ini agak berbeda dengan generasi sebelumnya. Kalau generasi Z memilih untuk menganggur sementara waktu sebelum menemukan pekerjaan yang baru, sedangkan generasi sebelumnya memilih menghindari situasi menganggur dan lebih bertahan pada situasi pekerjaan yang sulit sekalipun. Sedangkan bagi generasi Z, menganggur bukan sebuah hal yang buruk dan merupakan pilihan yang bijak untuk mengevaluasi diri dan menentukan langkah – langkah ke depan. Jika menganggur dijadikan sebuah masa dimana seorang karyawan perlu evaluasi dan eksplorasi diri tentu merupakan hal yang sangat baik. Tetapi, bagaimana jika hasil evaluasi tersebut berujung pada sebuah keputusan untuk tidak kembali bekerja di kantor melainkan bekerja di rumah untuk membantu orang tua menyelesaikan pekerjaan rumah tangga? Bagaimana jika gap year atau masa tenang berakhir dengan keputusan untuk tidak kembali bekerja?
Di tiongkok, rupanya fenomena ini terjadi yaitu muda – mudi memutuskan untuk bekerja penuh waktu untuk membantu keluarga mengurusi urusan rumah tangga. Fenomena ini disebut sebagai full-time children. Lebih lanjut, Full-time children adalah seorang anak laki – laki atau perempuan usia produktif yang memilih tidak bekerja di kantor melainkan di rumah dan menerima gaji dari orang tuanya (Chang & Ng, 2023). Pekerjaan yang mereka lakukan adalah menangani dan mengerjakan segalan urusan rumah tangga. Untuk pekerjaan itu, Ia menerima upah sekitar tujuh hingga sepuluh juta sebulan dari orang tuanya. Fenomena ini mengakitbatkan angka penganguran di Republik Tiongkok meningkat hingga 21,3%. Angka ini meningkat dua kali dalam lima tahun terakhir. Hal ini tentu saja mengkhawatirkan bukan karena tingginya pengangguran tetapi juga akan mempengaruhi perekonomian dan geopolitik (Yao, 2023)
Fenomena ini tentu saja memberikan berbagai macam dampak baik dari individu yang bersangkutan, lingkungan hingga kepada negara dalam jangkan pendek maupun jangka panjang. Idealnya seorang yang memiliki usia produktif pada masa dewasa diharapkan memiliki kehidupan yang mandiri, tidak bergantung pada orang tua, berkarya, meniti karir, berkeluarga hingga mengambil peran dalam kehidupan sosial (Hurlock, 2009). Namun, jika kita lihat pada apa yang tengah terjadi di Tiongkok, rasanya yang muncul malah sebaliknya yaitu hidup bergantung pada orang tua. Dari sisi psikologis, hal ini tentu saja dipandang kurang optimal dalam pemenuhan tugas perkembangan masa dewasa awal yang bisa saja memberikan dampak psikologis yang kurang baik pula di masa yang akan datang.
Gejala sosial ini cukup unik, baik dari sudut pandang orang tua maupun dari sisi putra dan putri penuh waktu. Ada sebuah istilah di Tiongkok yang mirip dengan situasi ini yaitu ‘ken lao’ (Yuan, 2023). Ken Lao dimaknai sebagai sebuah sikap atau perilaku seorang anak yang menumpang hidup dan memoroti orang tuanya. Kedua belah pihak baik orang tua maupun sang anak menentang penggunaan istilah ‘ken lao’ bagi full-time children. Dalam konsep full-time children ini, orang tua mempekerjakan anaknya untuk menangai urusan rumah tangga dan memberikan upah untuk pekerjaannya. Orang tua mampu untuk memberikan upah yang layak dan merasa terbantu untuk pekerjaan rumah tangga. Di sisi lain, anak memiliki tugas dan tanggung jawab yang harus ia penuhi sebagai seorang full-time children.
Kita telah sejak lama mengenal Tiongkok sebagai satu negara yang sangat produktif dimana masyarakatnya memiliki sikap kerja yang sangat baik seperti pekerja keras, rajin, tekun dan tidak mudah menyerah. Nilai – nilai budaya ini tertanam kuat dari sejak lama pada setiap masyarakat Tiongkok demi mencapai kehidupan yang lebih baik. Akan tetapi, situasi saat ini muncul dengan nilai yang berbeda. Alih – alih tekun, rajin, rela bekerja dengan giat generasi muda di Tiongkok memberikan perhatian dan prioritasnya pada keseimbangan hidup mereka (work-life balance). Tampaknya perubahan kehidupan kerja di Tiongkok sedang terjadi. Ada beberapa alasan mengapa seorang anak memilih menjadi full-time children beberapa diantaranya adalah:
a. Kesulitan dalam mencari pekerjaan
Sama halnya dengan negara – negara lain, anak – anak muda di Tiongkok juga mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan yang layak bagi mereka. Persaingan dengan rekan seusia mereka dalam mencari pekerjaan membuat mereka merasa tertekan karena harus memenuhi ekspektasi dari calon pemberi kerja (He & Zhu, 2023). Hal tersebut lama kelamaan dihayati sebagai hal yang menyiksa diri dan berujung memilih kerja menjadi full-time children
b. Tekanan pekerjaan yang dinilai semakin tidak masuk akal dengan upah yang kurang sebanding.
Tantangan, sistem kerja yang akan dihadapi juga dipandang sebagai sebuah hal yang tidak masuk akal, sangat menekan hingga bisa mengganggu kesehatan mental. Belum lagi pemenuhan KPI, bekerja lembur yang dilakukan tidak sebanding dengan upah yang mereka terima. Upah sebesar tujuh hingga sepuluh juta per bulan yang mereka terima dari sebuah perusahaan dinilai tidak dapat menyokong hidup mereka secara mandiri dan pada kenyataannya mereka masih harus makan dan tinggal bersama orang tua belum lagi mereka akan kehabisan waktu untuk diri sendiri dan berkumpul dengan orang – orang terdekat (Chang & Ng, 2023).
Jika kita melihat dua poin di atas juga menjadi alasan terbentuknya group di salah satu media sosial di Tiongkok yang berisi sekelompok muda mudi yang menyebut diri mereka full-time children. Tren ini juga mengkhawatirkan pemerintah Tiongkok menginat mereka adalah generasi penerus dan calon pemimpin untuk masa mendatang sehingga fenomena ini tidak bisa diabaikan lagi. Sejak lama kita mengenal Tiongkok sebagai sebuah negara yang memiliki etos kerja yang sangat baik. Pekerja keras, tidak mudah menyerah, berdaya tahan dan daya juang tinggi, tidak gampang mengeluh, hidup keras dan sederhana untuk mencapai sebuah kesuksesan. Akan tetapi, munculnya fenomena full time children menunjukkan nahwa negara Tiongkok sedang mengalami pergeseran nilai dan sudut pandang mengenai bekerja, berkarya dan produktifitas. Bagaimana dengan generasi muda kita di Indonesia? Apakah akan terjadi hal yang sama juga? Atau sebenarnya kita juga sedang mengalami fenomena yang sama? Pengalaman di Tiongkok ini perlu menjadi perhatian kita dalam mengelola generasi muda di Indonesia agar kita tidak mengalami krisis kepemimpinan di masa yang akan datang dan menyongsong Indonesi Emas 2045.
Referensi:
Chang, S. & Ng, Kelly. (2023, July 18). Burn Out or Jobless – Meet China’s ‘Full time children’. BBC News World Asia. https://www.bbc.com/news/world-asia-china-66172192
He, Laura., Zhu, C. (2023, July 27). Young Chinese are Getting paid To Be “Full – Time Children” as Jobs Become Harder To Find. CNN Business. https://edition.cnn.com/2023/07/26/economy/china-youth-unemployment-intl-hnk/index.html
Hurlock, E. B. (2009) Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga
Yao, C. (2023, October 9). China’s Youth Unemployment Problem has Become a Crisis We Can No Longer Ignore. The Coversation. https://theconversation.com/chinas-youth-unemployment-problem-has-become-a-crisis-we-can-no-longer-ignore-213751
Yuan, X. (2023, July 11). In China, The ‘Full-Time Kid’ Life Isn’t All It’s Cracked Up to be. Sixth Tone. https://www.sixthtone.com/news/1013292