ISSN 2477-1686 

 Vol. 10 No. 13 Juli 2024

Penelitian Interdisipliner, Sekadar Buzzword?

Oleh:

Stefani H.S. Nugroho

Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Mulai 2024, Times Higher Education mengembangkan sistem peringkat universitas berdasarkan aktivitas interdisipliner (Times Higher Education, 2023). Di antara negara-negara dengan lebih dari 100 000 publikasi ilmiah antara 2018 dan 2022, Indonesia memiliki proporsi (persentase dari total jumlah penelitian) dan kualitas penelitian interdisiplin (diukur melalui field-weighted citation impact) terendah (Times Higher Education & Schmidt Science Fellows, 2023). Dengan hadirnya sistem peringkat ini, maka universitas di Indonesia akan semakin terdorong untuk meningkatkan jumlah penelitian interdisipliner. Sayangnya, ketergesaan ini rawan membuat “interdisiplinaritas” menjadi buzzword tanpa menghasilkan perbaikan kualitas. Dalam artikel ini, kita akan bahas tiga pemahaman yang keliru tentang interdisiplinaritas supaya tidak menjadi sekadar buzzword.

Kesalahpahaman 1: Interdisipliner = Multi-disipliner = Trans-disipliner

Salah satu kesalahpahaman yang perlu dibongkar adalah anggapan bahwa interdisipliner, multidisipliner, dan transdisipliner adalah sama. Padahal, ketiga istilah ini berbeda dalam kadar integrasi disiplin-disiplin ilmu yang terlibat. Kadar integrasi ini dapat diibaratkan kontinuum. Multidisiplinaritas berada di ujung integrasi yang paling rendah, interdisiplinaritas berada di tengah, dan transdisiplinaritas berada di ujung ekstrem kanan, yaitu dengan integrasi antar ilmu yang paling tinggi (Choi & Pak, 2006; Newman, 2024).

Di ujung kiri kontinuum, dimana multidisiplinaritas berada, batas antar disiplin ilmu masih jelas. Tiap disiplin ilmu berfungsi secara paralel, menyumbangkan pengetahuan dan kekhasan metodologis untuk memecahkan masalah tertentu. Choi & Pak (2006) mengibaratkan disiplin-disiplin tersebut sebagai lingkaran-lingkaran terpisah. Contohnya adalah seorang dokter dan seorang psikolog yang bekerja sama untuk meneliti dampak penggunaan gawai pada remaja. Si dokter akan fokus pada dampak fisiknya, sementara psikolog mendalami dampak psikisnya. Hasil penelitian dari dua disiplin ini bersifat komplementer tetapi batas antara dua disiplin tersebut masih jelas.

Dalam interdisiplinaritas, berbagai disiplin ilmu lebih terintegrasi dan lebih ada interaksi dan dialog antar disiplin (inter-disiplin). Batas antar disiplin lebih kabur daripada multidisiplinaritas. Secara visual, Choi & Pak (2006) menggambarkannya sebagai dua lingkaran dengan area yang bersinggungan. Contohnya adalah penelitian mengenai bagaimana budaya lokal dapat menjadi modal untuk menangani trauma kolektif akibat perang saudara. Penelitian macam ini dapat melibatkan disiplin ilmu psikologi, antropologi, sosiologi, bahkan sejarah. Di sini perlu ada pertukaran pengetahuan yang lebih intensif di antara disiplin ilmu yang terlibat, dan hasilnya merupakan sebuah sintesis antar berbagai pengetahuan tersebut.

Di titik ekstrim kanan, ciri transdisiplinaritas adalah integrasi antar disiplin yang erat. Batas antar disiplin melebur, dan kegiatan yang dilakukan melampaui (transcend) tiap disiplin yang terlibat. Choi & Pak (2006) mengibaratkan ini sebagai tiga lingkaran dimana salah satu lingkaran menutupi dua lingkaran yang saling bersinggungan. Contohnya adalah penelitian untuk menciptakan digital mental health technology yang dapat menjangkau semua kalangan masyarakat. Penelitian macam ini dapat melibatkan setidaknya disiplin ilmu komputer, IT, psikologi dan sosiologi. Untuk dapat menyelesaikan penelitian ini, tiap-tiap disiplin ilmu harus beradaptasi dengan semua disiplin yang terlibat sehingga hasilnya bersifat holistik.

Kesalahpahaman 2: Penelitian interdisipliner harus dilakukan dalam tim

Kekeliruan kedua adalah anggapan bahwa penelitian interdisipliner harus dilakukan dalam tim yang anggota-anggotanya mewakili banyak disiplin ilmu. Ini tidak benar. Komposisi keanggotaan tim peneliti bukan menjadi patokan interdisiplinaritas sebuah penelitian. Bahkan, melakukan penelitian interdisipliner seorang diri pun dimungkinkan, asalkan peneliti tersebut mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu.

Bukti nyata untuk ini adalah bahwa indikator untuk mengukur interdisiplinaritas adalah keragaman disiplin dalam “citation network” atau bahkan “co-citation network” dari publikasi yang dihasilkan, dan bukan komposisi keanggotaan tim (cf. Hernández & Dorta-González, 2020; van Noorden, 2015). Citation network, atau jaringan sitasi, ibarat peta yang menunjukkan karya-karya apa saja yang kita sitasi, dan karya-karya apa saja yang mensitasi hasil penelitian kita. Jika jaringan sitasi kita menunjukkan keragaman disiplin ilmu, maka penelitian kita diasumsikan relevan bagi banyak disiplin sehingga dapat dikatakan bersifat interdisipliner.

Kesalahpahaman 3: Perbedaan antar disiplin dapat diatasi jika ada ketertarikan pada topik yang sama.

Baik sendiri atau dalam tim, tantangan utama dalam penelitian inter- dan transdisipliner adalah pengintegrasian ragam disiplin ilmu. Sekadar memiliki ketertarikan pada topik yang sama saja tidak cukup. Beberapa hambatan yang sering diidentifikasi  adalah perbedaan nilai yang melekat pada disiplin, penggunaan teori dan explanatory models yang berbeda, serta perbedaan epistemologi yang melandasi metodologi (Lélé & Norgaard, 2005; Litsou et al., 2020; Newman, 2024).

Untuk memudahkan integrasi, langkah pertama adalah memetakan posisi ilmiah tiap anggota tim. Beberapa pertanyaan mendasar adalah: apakah kita percaya bahwa "realitas" dapat diketahui secara obyektif? Bagaimana cara terbaik untuk mengetahui "realitas" tersebut? Apa pendapat kita tentang bias peneliti? Apa tujuan utama dari kegiatan penelitian kita? Diskusi tentang perbedaan-perbedaan mendasar ini penting untuk menghindari kebuntuan atau konflik di masa depan.

Langkah berikutnya adalah memahami teori dan terminologi dari disiplin ilmu lain, serta membandingkan dengan yang biasa kita gunakan. Misalnya, seorang di bidang psikologi menggunakan 'social support' sedangkan sosiolog menggunakan 'social capital'. Meskipun berbeda penekanannya, kedua konsep ini bisa digunakan dalam penelitian inter- dan transdisipliner jika semua pihak memahami dan sepakat mengenai penggunaannya.

Berdasarkan gambaran singkat di atas, penelitian interdisipliner membutuhkan waktu dan energi yang banyak. Maka, upaya individual saja tidak cukup. Tanpa dukungan institusional, maka akan sulit bagi peneliti untuk dapat melakukan integrasi inter- dan trans- disipliner, dan “penelitian interdisipliner” hanya akan menjadi buzzword tambahan di borang-borang kita.

Referensi:

Choi, B. C. K., & Pak, A. W. P. (2006). Multidisciplinarity Interdisciplinarity and Transdisciplinarity in Health Research, Services, Education and Policy: 1.Definitions, Objectives, and Evidence of Effectiveness. Clinical and Investigative Medicine, 29(6), 351–364.

Hernández, J. M., & Dorta-González, P. (2020). Interdisciplinarity metric based on the co-citation network. Mathematics, 8(4). https://doi.org/10.3390/math8040544

Lélé, S., & Norgaard, R. B. (2005). Practicing Interdisciplinarity. BioScience, 55(11), 967–975.

Litsou, K., Mckee, A., Byron, P., & Ingham, R. (2020). Productive Disagreement During Research in Interdisciplinary Teams: Notes from a Case Study Investigating Pornography and Healthy Sexual Development. Issues In Interdisciplinary Studies, 38(1–2), 102–125.

Newman, J. (2024). Promoting Interdisciplinary Research Collaboration: A Systematic Review, a Critical Literature Review, and a Pathway Forward. Social Epistemology, 38(2), 135–151. https://doi.org/10.1080/02691728.2023.2172694

Times Higher Education. (2023, August 16). Schmidt Science Fellows and Times Higher Education launch Interdisciplinary Science Rankings. Times Higher Education. https://www.timeshighereducation.com/press-releases/schmidt-science-fellows-and-times-higher-education-launch-interdisciplinary-science

Times Higher Education, & Schmidt Science Fellows. (2023). Executive Summary Product Development Report: Interdisciplinary Science Rankings.

van Noorden, R. (2015, August 17). Interdisciplinary Research by the Numbers. Nature, 10, 306–307.