ISSN 2477-1686 

 Vol. 10 No. 12 Juni 2024

 

Because Happiness is Homemade:

Sebuah Ulasan mengenai Peran Kecerdasan Emosi dan Dukungan Keluarga dalam Mencipta Kebahagiaan

Oleh:

Caroline Mathilda V. Bolang

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

Pencarian akan kebahagiaan merupakan dorongan yang fundamental dan universal bagi manusia. Konsep kebahagiaan mengacu pada suatu keadaan internal yang merupakan hasil dari proses evaluasi individu secara menyeluruh terhadap kualitas hidupnya berdasarkan standar-standar internal yang dimilikinya yaitu kepuasan hidup dan emosi positif dan negatif (Diener et al., 2018). Permasalahan yang kerap terjadi adalah, manusia cenderung mencari kebahagiaan di tempat yang salah, dan mendefinisikan kebahagiaan sebagai kesenangan (fun) sehingga seringkali yang kita lakukan adalah mencari kesenangan yang bersifat sementara daripada kebahagiaan jangka panjang. Rasa senang biasanya diperoleh dari keluarga, teman, karir, uang, dan hobi, namun seringkali kita lupa bahwa keluarga dan teman dapat pergi atau berganti; karir dan uang dapat hilang; dan waktu kita terbatas untuk melakukan kegiatan yang kita senangi. Hal-hal tersebut bersifat eksternal, dan kebahagiaan tidak dapat ditemui pada hal-hal eksternal. Tidak jarang kita merasa hampa dan muncul emosi negatif ketika tiba di rumah selepas pulang dari perayaan suatu pencapaian, selepas bertemu sahabat-sahabat terdekat, melakukan kegiatan-kegiatan yang kita senangi, bahkan selepas bertemu dengan kekasih hati.

“Kebahagiaan tercipta di rumah” merupakan pernyataan metaforis yang berpesan bahwa kebahagiaan bersifat dan terjadi secara internal. Kebahagiaan diciptakan di dalam dan oleh diri kita. Untuk menjadi pribadi yang dapat mencipta kebahagiaan, ada beberapa kualitas baik yang perlu dimiliki, yang merupakan komponen-komponen yang terdapat di dalam kecerdasan emosi, yaitu self-awareness, self-regulation, empathy, communication and social skill (Goleman, 1999; Chen et al., 2022). Ketika kita memiliki keterampilan-keterampilan tersebut, kita lebih siap untuk mengelola apa yang terjadi di dalam diri kita, terlepas apapun stimulus yang kita peroleh dari dunia eksternal kita, terutama stimulus negatif yang kita peroleh dari perubahan, kehilangan, dan pengalaman lain yang menstimulasi munculnya emosi negatif. Keterampilan mengelola emosi ini tidak membantu kita memperoleh kebahagiaan, namun membantu kita memaknai hal-hal tidak menyenangkan yang terjadi pada diri kita secara lebih positif sehingga memampukan kita untuk mengelola rasa, pemikiran, dan menghasilkan luaran berupa pemikiran, perkataan, perasaan, dan tindakan yang lebih produktif.

Kata “rumah” dalam pernyataan “kebahagiaan tercipta di rumah” juga dimaksudkan secara literal, yaitu bangunan tempat tinggal yang di dalamnya terdapat pihak-pihak yang berperan dalam pengasuhan dan perkembangan seseorang, yang kita sebut sebagai keluarga. Keluarga sebagai lapisan pertama dalam pembentukan pribadi manusia memiliki pengaruh terbesar dalam perkembangan individu, salah satunya perkembangan kecerdasan emosi (Bronfenbrenner, 1994; De Raeymaecker & Dhar, 2022). Keluarga adalah mikrokosmos dari dunia, di mana permasalahan kekuasaan, relasi intim, otonomi, kepercayaan, dan komunikasi berawal dari keluarga. Bagaimana kita hidup dan memaknai dunia berawal dari pengalaman kita di dalam keluarga (Satir, 1967). Satir juga menyampaikan bahwa ketika terdapat peran yang tidak tepat, peraturan yang terlalu kaku, dan ekspektasi yang tidak realistis di dalam keluarga maka kebutuhan anggota keluarga tidak terpenuhi dan mengakibatkan ketidakberfungsian pada keluarga dan anggotanya. Ketidakberfungsian ini berdampak pada rendahnya self-esteem individu, padahal self-esteem adalah modalitas penting yang mempengaruhi bagaimana individu mengelola diri terutama mengelola emosi, berperilaku, dan berkomunikasi.

Kabar baiknya adalah kecerdasan emosi dan menjadi orangtua yang mentally supportive mencakup keterampilan-keterampilan yang dapat dilatih sepanjang rentang hidup kita. Kita dapat berlatih atau melatih: 1) mengenali dan menamai emosi atau perasaan; 2) empati dengan cara memberikan validasi pada perasaan kita atau anak kita; 3) mengekspresikan emosi dengan cara menggunakan kosakata emosi pada percakapan sehari-hari; 4) cara-cara mengatasi emosi negatif seperti latihan pernafasan, relaksasi atau strategi lainnya; 5) pemecahan masalah dengan memikirkan beberapa opsi solusi atau pemecahan masalah bilamana dihadapkan pada suatu masalah; serta secara konsisten menjadikan kecerdasan emosi sebagai tujuan yang sifatnya berkesinambungan (Morin, 2019; Landry, 2019). Semoga strategi-strategi tersebut dapat menginspirasi individu, orangtua, dan calon orangtua agar senantiasa belajar menciptakan “rumah yang dirindukan sebagai tempat pulang” oleh anak-anak kita, sehingga mereka mendapatkan perbekalan yang cukup dalam mencipta kebahagiaannya.

Referensi:

Bronfenbrenner, U. (1994). The ecology of human development: experiments by nature and design by urie bronfenbrenner published by harvard university press (1981). Massachusetts: Harvard University Press.

Chen X, Huang Z & Lin W. (2022) The effect of emotion regulation on happiness and resilience of university students: The chain mediating role of learning motivation and target positioning. Front. Psychol. 13:1029655. doi: 10.3389/fpsyg.2022.1029655

De Raeymaecker, K., & Dhar, M. (2022). The Influence of Parents on Emotion Regulation in Middle Childhood: A Systematic Review. Children (Basel, Switzerland), 9(8), 1200. https://doi.org/10.3390/children9081200.

Diener, E., Shigehiro, O., and Louis, T. (2018). Advances in subjective well-being research. Nat. Hum. Behav. 2, 253–260. doi: 10.1038/s41562-018-0307-6

Goleman, D. (1999). Working with emotional intelligence. New York: Bantam.

Landry, L. (2019). How to develop emotional intelligence skills: HBS Online. Business Insights Blog. https://online.hbs.edu/blog/post/emotional-intelligence-skills.

Morin, A. (2019). 6 Parenting Strategies for Raising Emotionally Intelligent Kids. VerywellFamily. https://www.verywellfamily.com/tips-for-raising-an-emotionally-intelligent-child-4157946

Satir, V. (1967). Conjoint family therapy (2nd ed.). Palo Alto: Science and Behavior Books